
Hati-hati, Rupiah Berisiko Menuju Rp 17.000/US$
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 March 2020 14:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali merosot melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (23/3/2020), semakin mendekati level terlemah sepanjang sejarah Rp 16.800/US$.
Rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,31% di Rp 15.950/US$, tetapi berselang satu jam kemudian sudah ambles lagi. Rupiah akhirnya menyentuh level 16.550/US$, atau merosot 4,09% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Tanda-tanda akan kembali terjadi aksi jual di pasar keuangan dalam negeri sudah terlihat sejak dini hari tadi. Indeks saham berjangka (futures) Wall Street langsung ambles 5% menyentuh "batas bawah" atau "limit down" dari 5 menit setelah perdagangan di bulan pukul 05:00 WIB.
Indeks berjangka Wall Street bisa dijadikan indikator sentimen konsumen terhadap aset-aset berisiko. Ketika ambles, itu artinya sentimen sedang memburuk dan berisiko memicu aksi jual di pasar keuangan dalam negeri, baik di bursa saham maupun pasar obligasi.
Aksi jual di pasar keuangan RI semakin menjadi-jadi di bulan ini, setelah pandemi virus corona (COVID-19) masuk ke dalam negeri. Di Indonesia hingga saat ini sudah ada 514 kasus positif, dengan 48 orang meninggal dan 29 orang dilaporkan sembuh.
Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambrol lebih dari 25%, pada pekan lalu saja penurunan tercatat 14,52%, menjadi penurunan terburuk sejak krisis finansial global tahun 2008. Kala itu, pada bulan Oktober 2008, IHSG ambrol lebih dari 20% dalam sepekan.
Berdasarkan data dari RTI, investor asing melakukan aksi jual bersih secara year-to-date (YTD) hingga Jumat pekan lalu sebesar Rp 10,25 triliun.
Sementara itu di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun naik 121 basis poin (bps) sepanjang bulan ini hingga Jumat lalu. Kenaikan masih berlanjut hingga siang sebesar 4,3 bps ke 8,142%, yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2019.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Ketika harga turun, berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 18 Maret, terjadi capital outflow sebesar Rp 86,49 triliun.
Ini berarti sejak awal tahun hingga pekan lalu terjadi capital outflow nyaris Rp 100 triliun di pasar saham dan obligasi, dampaknya nilai tukar rupiah terus tertekan.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar.
Rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,31% di Rp 15.950/US$, tetapi berselang satu jam kemudian sudah ambles lagi. Rupiah akhirnya menyentuh level 16.550/US$, atau merosot 4,09% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Tanda-tanda akan kembali terjadi aksi jual di pasar keuangan dalam negeri sudah terlihat sejak dini hari tadi. Indeks saham berjangka (futures) Wall Street langsung ambles 5% menyentuh "batas bawah" atau "limit down" dari 5 menit setelah perdagangan di bulan pukul 05:00 WIB.
Aksi jual di pasar keuangan RI semakin menjadi-jadi di bulan ini, setelah pandemi virus corona (COVID-19) masuk ke dalam negeri. Di Indonesia hingga saat ini sudah ada 514 kasus positif, dengan 48 orang meninggal dan 29 orang dilaporkan sembuh.
Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambrol lebih dari 25%, pada pekan lalu saja penurunan tercatat 14,52%, menjadi penurunan terburuk sejak krisis finansial global tahun 2008. Kala itu, pada bulan Oktober 2008, IHSG ambrol lebih dari 20% dalam sepekan.
Berdasarkan data dari RTI, investor asing melakukan aksi jual bersih secara year-to-date (YTD) hingga Jumat pekan lalu sebesar Rp 10,25 triliun.
Sementara itu di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun naik 121 basis poin (bps) sepanjang bulan ini hingga Jumat lalu. Kenaikan masih berlanjut hingga siang sebesar 4,3 bps ke 8,142%, yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2019.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Ketika harga turun, berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 18 Maret, terjadi capital outflow sebesar Rp 86,49 triliun.
Ini berarti sejak awal tahun hingga pekan lalu terjadi capital outflow nyaris Rp 100 triliun di pasar saham dan obligasi, dampaknya nilai tukar rupiah terus tertekan.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar.
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular