Newsletter

Mayday, Mayday! Wall Street Karam, Ambles 7%...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 March 2020 06:03
Mayday, Mayday! Wall Street Karam, Ambles 7%...
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia 'cedera parah' pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi pemerintah terkoreksi dalam.

Kemarin, IHSG ditutup dengan pelemahan 6,58%. Ini merupakan koreksi harian terdalam sejak 2011.

Tidak hanya IHSG, seluruh bursa saham utama Asia juga melemah. Bahkan pelemahan IHSG yang begitu dalam bukanlah yang terparah di Asia.




Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi 1,16% di perdagangan pasar spot. Mata uang utama Asia lainnya juga mayoritas melemah, tetapi pelemahan rupiah jadi salah satu yang terdalam.

 


Kemudian di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) bergerak naik di hampir seluruh tenor. Kenaikan yield mencerminkan harga Surat Berharga Negara (SBN) sedang turun karena tekanan jual.




Pelaku pasar dibuat cemas oleh penyebaran virus corona yang semakin masif. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Senin (9/3/2020) per pukul 21:43 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 111.362. Sedangkan korban jiwa tercatat 3.892 orang.

Kasus baru di China (episentrum penyebaran virus) memang terus melambat. Akhir pekan lalu, kasus corona baru di China adalah 44 pada Sabtu dan 40 pada Minggu. Sementara kasus baru di Provinsi Hubei terus turun ke bawah 100 per hari.

Rasio pasien yang sembuh di China saat ini adalah 72,6%. Bahkan di luar Hubei rasionya mencapai 93,6%. Namun, kini yang menjadi kecemasan adalah penyebaran di luar China. Saat ini sudah lebih dari 100 negara (di luar China) yang terpapar virus corona.

"Pada akhir pekan, penambahan kasus baru banyak terjadi di Italia, Iran, Amerika Serikat (AS), Jerman, Prancis, Spanyol, Jepang, dan Mesir. Di AS, jumlah kasus kini mencapai 521. Sementara di Italia, korban meninggal bertambah menjadi 366. Beredar kabar bahwa di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte sudah setuju untuk memberlakukan keadaan darurat," papar riset Citi.


Pemerintahan di berbagai negara tentu memprioritaskan perlindungan terhadap warganya. Tujuan utamanya adalah bagaimana penyebaran virus corona bisa diredam. Salah satunya adalah dengan membatasi aktivitas masyarakat.

Contoh, Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn meminta masyarakat untuk menghindari kerumunan. Acara-acara yang melibatkan lebih dari 1.000 orang pun dibatalkan.

"Prioritas kami adalah menahan laju penyebaran (virus corona). Semakin lambat virus menyebar, maka sistem layanan kesehatan bisa bekerja lebih baik," cuit Spahn di Twitter.

Di negara lain, pembatasan aktivitas publik bahkan lebih ekstrem. Diawali oleh China yang 'mengunci' Kota Wuhan (ground zero penyebaran virus corona), Italia pun melakukan hal yang sama dengan menutup akses dari dan ke daerah Lombardy dan 14 provinsi lainnya.

Kebijakan seperti ini tidak salah, karena pemerintah tentu wajib melindungi warga negaranya. Namun membatasi aktivitas masyarakat sama dengan menahan laju perekonomian, bahkan mungkin membuatnya berhenti total.

Oleh karena itu, perlambatan ekonomi global sepertinya sudah menjadi keniscayaan. Bahkan risiko resesi pun tidak bisa dikesampingkan.


Riset Oxford Economics menyebutkan, ancaman virus corona bagi perekonomian bukan dari jumlah korban meninggal melainkan gangguan terhadap kehidupan sehari-hari. Lembaga ini memperkirakan risiko resesi di AS tahun ini adalah 35%, naik dibandingkan perkiraan pada Januari yaitu 25%.

 

[Gambas:Video CNBC]



Beralih ke Wall Street, situasinya setali tiga uang dengan bursa saham Asia. Tiga indeks utama di bursa saham New York terkoreksi amat dalam di mana Dow Jones Industrial Average (DJIA) ambles 7,79%, S&P 500 anjlok 7,59%, dan Nasdaq Composite jatuh 7,29%. Ini adalah koreksi harian terdalam sejak Desember 2008.


Investor memang panik. Selain kecemasan terhadap penyebaran virus corona, muncul ketidakpastian baru yaitu fluktuasi harga minyak. Penurunan harga minyak begitu tajam, hingga mencapai titik terendah sejak 2016.



Harga si emas hitam ambrol setelah Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) dan Rusia gagal menyepakati tambahan pemangkasan produksi. Saat ini sudah ada kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak sebanyak 2,1 juta barel/hari. OPEC, dengan Arab Saudi sebagai pemimpin de facto, ingin ada tambahan pemotongan 1,5 juta barel/hari sehingga totalnya menjadi 3,6 juta barel/hari.

Rusia menolak rencana tambahan tersebut. Langkah ini sepertinya membuat OPEC (baca: Arab Saudi) ngambek, sehingga ogah memperpanjang pemangkasan produksi 2,1 juta barel/hari yang akan berakhir bulan ini.

Tidak hanya itu, Arab Saudi juga menaikkan produksi minyak plus memberi harga diskon. Sepertinya Riyadh sedang menantang para rivalnya, siapa yang paling kuat bertahan dengan harga minyak rendah. Terjadilah apa yang disebut perang harga minyak.


"Dengan penurunan harga minyak, mengingat AS adalah negara net eksportir, investor bertanya-tanya. Apakah AS bisa masuk ke jurang resesi pada kuartal II?" kata Oliver Pursche, Chief Market Strategist di Bruderman Asset Management yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.



"Penurunan harga minyak menciptakan disrupsi di pasar, yang sudah rapuh akibat virus corona. Sepertinya pekan ini kita akan melihat kepanikan pasar dalam skala besar," kata Paul O'Connor, Head of Multi-Asset di Janus Henderson, seperti dikutip dari Reuters.

Anjloknya harga minyak plus penyebaran virus corona yang semakin luas diperkirakan membuat pasar saham AS terkoreksi lebih dalam. Saat ini, DJIA terkoreksi 16,42% secara year-to-date. Selama periode yang sama, S&P 500 ambruk 14,8% dan Nasdaq minus 11,18%.

"Kami memperkirakan koreksi sekitar 20% di pasar saham tahun ini. Kita sedang terjun bebas dari gedung 20 lantai, sekarang baru sampai lantai 10," kata John Lekas, CEO di Leader Capital, seperti dikutip dari Reuters.

 

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang sangat memprihatinkan. Melihat Wall Street yang terkoreksi dalam, bisa-bisa investor di pasar keuangan Asia kalah sebelum bertanding.

Sentimen kedua adalah masih seputar penyebaran virus corona. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menyatakan ancaman pandemi virus corona adalah sesuatu yang sangat nyata.

"Sekarang dengan semakin banyaknya negara yang terjangkit virus ini, maka ancaman pandemi menjadi sangat nyata. Namun ini adalah pandemi yang bisa dikendalikan. Intinya adalah, kita tidak akan kalah," tegasnya, seperti diwartakan Reuters.

Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa penyebaran virus corona membuat risiko resesi menjadi semakin tinggi. Hal ini tergambar dari riset Moody's Analytics.

"Risiko ekonomi global meningkat seiring dengan jumlah negara dan penderita virus corona yang terus bertambah. Sentimen yang ada saat ini sangat rentan, baik bagi dunia usaha maupun konsumen.

"Ekonomi global sebelumnya masih lemah, belum tumbuh sesuai potensinya, membuat COVID-19 menjadi pukulan keras. Rumah tangga sudah merasakan dampaknya, panic buying membuat daya beli malah menurun," papar riset Moody's Analytics.

Di Indonesia, sayangnya, perkembangan terbaru tidak membantu. Pemerintah mengumumkan saat ini sudah ada 19 orang yang positif mengidap virus corona. Jumlah penderita corona di Ibu Pertiwi bertambah dengan cepat.


Oleh karena itu, sepertinya kepanikan investor akibat virus corona masih akan menghantui IHSG, rupiah, dan pasar SBN. Semoga tidak terjadi, tetapi pelemahan lebih dalam adalah risiko yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

 

Sentimen ketiga adalah koreksi harga minyak yang terus berlanjut. Harga minyak yang turun sangat tajam menambah ketidakpastian di pasar.

"Semakin turun, maka orang-orang akan semakin panik. Psikologis yang terbentuk adalah investor bergerak dalam kawanan, tidak ada yang ingin tertinggal di belakang," kata Rick Meckler, Partner di Cherry Lane Investment yang berbasis di New Jersey, seperti diberitakan Reuters.

Harga minyak yang ambles juga meningkatkan risiko resesi. Sebab, negara-negara yang punya ketergantungan tinggi terhadap minyak pasti akan kesulitan.

CNBC International


'Kehancuran' di pasar saham dan valas membuat investor mencari perlindungan di aset-aset yang dianggap aman. Pilihannya ada emas, yen Jepang, dan obligasi pemerintah AS.

Pada Selasa (10/3/2020) pukul 00:43 WIB, harga emas naik 0,09% ke US$ 1.675,55/troy ons. Dalam sepekan terakhir, harga komoditas ini sudah melonjak 5,12%.

Sementara pada pukul 00:44 WIB, yen menguat 3,17% terhadap dolar AS. Selama seminggu terakhir, mata uang Negeri Matahari Terbit terapresiasi 5,81% di hadapan greenback.

Lalu pada pukul 00:46 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 0,5161%. Ini adalah yang terendah setidaknya sejak 1953.



Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data penjualan ritel periode Januari 2020 oleh Bank Indonesia (BI). Pada Desember 2019, penjualan ritel terkontraksi -0,5% year-on-year. Ini adalah catatan terendah sejak Juni 2019.

Kalau melihat Desember saja, hampir tidak pernah penjualan ritel terkontraksi (tumbuh negatif). Sejak 2004, kontraksi penjualan ritel hanya terjadi pada 2005, 2008, dan 2019.



Baca: Fakta Terbaru Ekonomi RI Loyo: Penjualan Ritel Desember Turun

Untuk Januari 2020, BI memperkirakan penjualan ritel akan turun lebih dalam yaitu -3,1%. "Penurunan penjualan eceran disebabkan terutama oleh penjualan kelompok barang budaya dan rekreasi, serta kelompok sandang. Penurunan tersebut sejalan dengan pola konsumsi masyarakat yang kembali normal setelah perayaan terkait Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN)," sebut keterangan tertulis BI.

Jika realisasi penjualan ritel sesuai ekspektasi, maka akan sejalan dengan data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang juga kurang ciamik. Kemarin, BI melaporkan IKK periode Februari 2020 sebesar 117,7. Angka yang masih di atas 100 menandakan konsumen masih optimistis mengarungi bahtera ekonomi saat ini dan masa mendatang.

Walau begitu, optimisme konsumen terlihat tergerus. Sebab pada bulan sebelumnya, IKK masih berada di 121,7. Tidak hanya itu, IKK Februari menjadi yang terendah sejak Maret 2017.




Penjualan ritel yang diramal turun bisa menambah sentimen negatif di pasar keuangan domestik. Data tersebut menjadi bukti bahwa konsumen sudah merasakan 'cubitan' perlambatan ekonomi global.

Well, sepertinya hari ini masih akan berat. Semoga ada kejutan yang bisa membuat segalanya berubah 180 derajat. Misalnya tiba-tiba hari ini ada pengumuman bahwa vaksin virus corona sudah ditemukan dan siap diproduksi massal. Amin...


Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data inflasi China periode Februari 2020 (08:30 WIB).
2. Rilis data penjualan ritel Indonesia periode Januari 2020 (10:00 WIB).
3. Konferensi pers perkembangan terkini kasus corona di Indonesia (11:00 WIB dan 17:00 WIB).
4. Rilis data pembacaan ketiga pertumbuhan ekonomi Zona Euro periode kuartal IV-2019 (17:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:


Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Februari 2020 YoY)

2,68%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2020)

4,75%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Februari 2020)

US$ 130,44 miliar

 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular