Perang Harga Minyak & Adu Kuat Arab vs Rusia, Siapa Menang?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
09 March 2020 15:34
Perang Harga Minyak & Adu Kuat Arab vs Rusia, Siapa Menang?
Foto: Saudi Aramco/Handout via REUTERS
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak anjlok dalam setelah OPEC+ gagal mencapai kata sepakat terkait usulan pemangkasan produksi minyak lebih dalam pekan lalu. Harga minyak makin anjlok kala Arab menabuh genderang perang harga dengan Rusia.

Harga minyak mentah anjlok 30% dalam sehari dan merupakan yang paling besar sejak 1991. Harga minyak mentah kontrak berjangka saat ini berada di level terendah sejak pekan terakhir bulan Februari 2016.



Wabah corona yang kini menjangkiti lebih dari 100 negara di dunia dan menginfeksi lebih dari 105.000 orang membuat permintaan minyak turun. Agensi Energi Internasional (IEA) meramal permintaan minyak bisa turun lebih dari 800.000 barel per hari (bpd).

Permintaan minyak diperkirakan anjlok karena sektor transportasi yang tertekan menyusul imbauan dan larangan bepergian ke berbagai daerah terutama daerah-daerah yang terjangkit COVID-19.


S&P Global memperkirakan potensi hilangnya pendapatan industri maskapai global karena wabah ditaksir sekitar US$ 113 miliar. Kondisi ini membuat harga minyak mentah anjlok. Arab Saudi sebagai pemimpin OPEC mengusulkan untuk memangkas produksi minyak lebih dalam mulai Maret hingga akhir tahun 2020 untuk menstabilkan harga minyak yang bergejolak.

Arab Saudi mengusulkan pemangkasan produksi sebesar 1,5 juta bpd hingga akhir tahun, dengan OPEC akan berkontribusi sebesar 1 juta bpd dan non-OPEC yang dipimpin Rusia diminta berkontribusi terhadap pemangkasan produksi sebesar 500.000 bpd.

Namun diskusi berjalan alot dan akhirnya buntu. Rusia keberatan dan menolak usulan tersebut. Aliansi OPEC+ yang sudah terbangun dalam kurun waktu tiga tahun ini terancam pecah kongsi.


Rusia merasa muak dengan pemangkasan produksi minyak yang terus berlanjut sementara produksi minyak AS terutama 'shale oil' yang terus mengalami kenaikan.

"Hasil akhir dari periode pemangkasan produksi minyak OPEC+ yang terus diperpanjang, pada akhirnya cepat diganti oleh pasokan minyak dari Amerika [US Shale Oil]" kata Mikhail Leontief, seorang Sekretaris Pers Rosneft yang merupakan perusahaan migas terbesar di Rusia, mengutip Financial Times.
Amerika memang merupakan produsen minyak terbesar di dunia dengan total produksi per hari mencapai hampir 18 juta bpd disusul Arab dengan 12,42 juta bpd baru Rusia di tempat ketiga dengan total produksi 11,4 juta bpd.



Setelah mengalami kebuntuan, Arab Saudi dikabarkan menggunakan strategi perolehan pangsa pasar bukan lagi strategi menjaga kestabilan pasar. Hal ini tercermin dari manuver Arab yang mendiskon harga minyak ekspornya sebesar 10% pada Sabtu kemarin (7/3/2020).

Strategi ini juga sempat digunakan Arab Saudi pada 1986-87, 1998-99 dan terakhir 2014-15. Jika Arab memang akan menaikkan produksi minyaknya secara signifikan, maka potensi kenaikan produksi minyak OPEC akan sebesar 1,5 juta bpd.

Facts Global Energi (FGE) memperkirakan dengan kebuntuan yang terjadi dan negara-negara OPEC serta aliansinya kembali pada tingkat produksi normal maka akan ada kelebihan volume sebesar 4 juta bpd.

Arab Saudi berani mengambil langkah yang terbilang ‘gila’ dengan mengobral harga minyaknya dengan murah karena memang ongkos produksi minyak Arab sangatlah rendah. Mengacu pada data Kosatka, ongkos produksi minyak Arab Saudi sebesar US$ 3/barel dan total ongkos produksinya mencapai US$ 8,98/barel.

Dalam sebuah catatan, FGE menuliskan jika harga minyak jatuh ke level US$ 20/barel maka akan ada kompromi dalam waktu tiga bulan ke depan. Namun jika harga masih berada di level US$ 40/barel maka jalur kompromi akan berjalan lebih lama.

Rusia dapat mentolerir harga minyak jika masih berada di level US$ 40/barel. Namun jika harga minyak jatuh ke level US$ 20/barel maka Rusia tak akan mampu mentolerirnya mengingat ongkos total produksi minyak Rusia sebesar US$ 19,21/barel.



Perang harga ini merupakan strategi adu kuat kedua negara. Siapa yang ‘berkedip’ terlebih dahulu adalah yang kalah. Namun, FGE melihat perang harga ini merupakan misi bunuh diri bagi kedua belah pihak.

Perang harga ini juga akan berdampak signifikan terhadap negara-negara lain yang perekonomiannya lemah dan bertumpu pada minyak seperti Nigeria dan Angola. Jadi seperti pepatah perang selalu bilang, ‘kalah jadi abu, menang jadi arang’.






TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular