
Perang Harga Minyak & Adu Kuat Arab vs Rusia, Siapa Menang?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
09 March 2020 15:34

Amerika memang merupakan produsen minyak terbesar di dunia dengan total produksi per hari mencapai hampir 18 juta bpd disusul Arab dengan 12,42 juta bpd baru Rusia di tempat ketiga dengan total produksi 11,4 juta bpd.
Setelah mengalami kebuntuan, Arab Saudi dikabarkan menggunakan strategi perolehan pangsa pasar bukan lagi strategi menjaga kestabilan pasar. Hal ini tercermin dari manuver Arab yang mendiskon harga minyak ekspornya sebesar 10% pada Sabtu kemarin (7/3/2020).
Strategi ini juga sempat digunakan Arab Saudi pada 1986-87, 1998-99 dan terakhir 2014-15. Jika Arab memang akan menaikkan produksi minyaknya secara signifikan, maka potensi kenaikan produksi minyak OPEC akan sebesar 1,5 juta bpd.
Facts Global Energi (FGE) memperkirakan dengan kebuntuan yang terjadi dan negara-negara OPEC serta aliansinya kembali pada tingkat produksi normal maka akan ada kelebihan volume sebesar 4 juta bpd.
Arab Saudi berani mengambil langkah yang terbilang ‘gila’ dengan mengobral harga minyaknya dengan murah karena memang ongkos produksi minyak Arab sangatlah rendah. Mengacu pada data Kosatka, ongkos produksi minyak Arab Saudi sebesar US$ 3/barel dan total ongkos produksinya mencapai US$ 8,98/barel.
Dalam sebuah catatan, FGE menuliskan jika harga minyak jatuh ke level US$ 20/barel maka akan ada kompromi dalam waktu tiga bulan ke depan. Namun jika harga masih berada di level US$ 40/barel maka jalur kompromi akan berjalan lebih lama.
Rusia dapat mentolerir harga minyak jika masih berada di level US$ 40/barel. Namun jika harga minyak jatuh ke level US$ 20/barel maka Rusia tak akan mampu mentolerirnya mengingat ongkos total produksi minyak Rusia sebesar US$ 19,21/barel.
Perang harga ini merupakan strategi adu kuat kedua negara. Siapa yang ‘berkedip’ terlebih dahulu adalah yang kalah. Namun, FGE melihat perang harga ini merupakan misi bunuh diri bagi kedua belah pihak.
Perang harga ini juga akan berdampak signifikan terhadap negara-negara lain yang perekonomiannya lemah dan bertumpu pada minyak seperti Nigeria dan Angola. Jadi seperti pepatah perang selalu bilang, ‘kalah jadi abu, menang jadi arang’.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/twg)
Setelah mengalami kebuntuan, Arab Saudi dikabarkan menggunakan strategi perolehan pangsa pasar bukan lagi strategi menjaga kestabilan pasar. Hal ini tercermin dari manuver Arab yang mendiskon harga minyak ekspornya sebesar 10% pada Sabtu kemarin (7/3/2020).
Facts Global Energi (FGE) memperkirakan dengan kebuntuan yang terjadi dan negara-negara OPEC serta aliansinya kembali pada tingkat produksi normal maka akan ada kelebihan volume sebesar 4 juta bpd.
Arab Saudi berani mengambil langkah yang terbilang ‘gila’ dengan mengobral harga minyaknya dengan murah karena memang ongkos produksi minyak Arab sangatlah rendah. Mengacu pada data Kosatka, ongkos produksi minyak Arab Saudi sebesar US$ 3/barel dan total ongkos produksinya mencapai US$ 8,98/barel.
Dalam sebuah catatan, FGE menuliskan jika harga minyak jatuh ke level US$ 20/barel maka akan ada kompromi dalam waktu tiga bulan ke depan. Namun jika harga masih berada di level US$ 40/barel maka jalur kompromi akan berjalan lebih lama.
Rusia dapat mentolerir harga minyak jika masih berada di level US$ 40/barel. Namun jika harga minyak jatuh ke level US$ 20/barel maka Rusia tak akan mampu mentolerirnya mengingat ongkos total produksi minyak Rusia sebesar US$ 19,21/barel.
Perang harga ini merupakan strategi adu kuat kedua negara. Siapa yang ‘berkedip’ terlebih dahulu adalah yang kalah. Namun, FGE melihat perang harga ini merupakan misi bunuh diri bagi kedua belah pihak.
Perang harga ini juga akan berdampak signifikan terhadap negara-negara lain yang perekonomiannya lemah dan bertumpu pada minyak seperti Nigeria dan Angola. Jadi seperti pepatah perang selalu bilang, ‘kalah jadi abu, menang jadi arang’.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/twg)
Pages
Most Popular