Newsletter

H-1 Rilis Transaksi Berjalan, Bagaimana Nasib Pasar Keuangan?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
08 August 2019 06:40
H-1 Rilis Transaksi Berjalan, Bagaimana Nasib Pasar Keuangan?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri mengalami hari baik kemarin.

Di akhir sesi perdagangan hari Rabu (7/8/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat 1,38% ke level 6.204,2, rupiah menguat 0,25% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjadi Rp 14.225/US$, sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor acuan 10 tahun turun 15,6 basis poin ke posisi 7,51%.

Perlu diketahui bahwa pergerakan harga dan yield di pasar obligasi akan berbanding terbalik. Saat yield turun, maka menandakan harga sedang terangkat karena banyak peminat. Berlaku pula sebaliknya.



Ada kabar positif bagi bursa saham Benua Kuning terkait hubungan dagang AS dengan China. Ternyata harapan damai dagang masih ada.

Dalam wawancara dengan CNBC International, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow, mengatakan bahwa Presiden AS, Donald Trump, masih terbuka untuk menandatangani kesepakatan dagang dengan China.

"Beliau (Presiden Trump) ingin membuat kesepakatan dan melanjutkan negosiasi. Harus ada dua orang untuk menari tango," kata Kudlow.

Bahkan Kudlow mengungkapkan AS siap untuk mengkaji ulang kebijakan bea masuk jika dialog dagang dengan China membuahkan hasil yang memuaskan.

"Situasi bisa berubah mengenai kebijakan bea masuk. Bapak Presiden terbuka terhadap perubahan, jika pembicaraan dengan China positif," paparnya.

Sebagai latar belakang, Kamis (1/8/2019) pekan lalu Trump mengumumkan rencananya untuk mengenakan bea masuk sebesar 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang.

Kebijakan tersebut, ancam Trump, akan berlaku mulai 1 September 2019 dan masih mungkin untuk dinaikkan menjadi lebih dari 25%.

China pun membalas. Juru bicara untuk Kementerian Perdagangan China mengatakan pada Selasa (6/8/2019) bahwa perusahaan-perusahaan asal Negeri Panda telah berhenti membeli produk agrikultur asal AS sebagai respons dari rencana Trump untuk mengenakan bea masuk baru yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 300 miliar.



Kini, harapan akan terciptanya damai dagang muncul kembali. Meskipun pelaku pasar yakin hal tersebut masih jauh, setidaknya ada sinyal ke arah sana.

Sementara itu dari dalam negeri, sentimen positif datang dari Bank Indonesia (BI).

Per akhir Juli 2019, BI mencatat posisi cadangan devisa adalah senilai US$ 125,9 miliar, naik US$ 2,1 miliar dari bulan sebelumnya (Juni 2019).

Dalam siaran pers tertulis, BI menyebut bahwa posisi cadangan devisa per akhir Juli 2019 tersebut setara dengan pembiayaan 7,3 bulan impor atau 7 bulan impor ditambah pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional yang sekitar 3 bulan impor.

Kenaikan cadangan devisa berarti BI memiliki amunisi yang semakin banyak untuk menstabilkan rupiah (intervensi) kala terjadi depresiasi yang signifikan. Hal tersebut membuat pelaku pasar kembali ke pelukan rupiah dan mengapresiasi nilai tukarnya.



Sejumlah sentimen tersebut membuat investor mulai berani masuk ke instrumen berisiko.

Namun sayang, investor asing masih membukukan jual bersih senilai Rp 138,61 miliar di pasar reguler.

BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Tiga indeks utama Wall Street ditutup bervariasi pada perdagangan Rabu (7/8/2019). Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,1%, S&P 500 naik 0,1%, sementara Nasdaq Composite menguat 0,4%.

Kondisi pada penutupan pasar Wall Street jauh membaik dibanding pada saat perdagangan berlangsung. Pasalnya, tiga indeks tersebut sempat jatuh lebih dari 1% sepanjang sesi perdagangan.

Kekhawatiran akan kondisi perekonomian global masih sangat tinggi di kalangan pelaku pasar.



Menurut data yang dipublikasikan oleh Deutsche Bank, nilai obligasi pemerintah di seluruh dunia yang memiliki imbal hasil (yield) negatif telah menyentuh rekor terbaru, yaitu sekitar US$ 15 triliun atau 25% dari total jumlah yang beredar. Nilai tersebut telah meningkat dua kali lipat sejak Oktober 2018 atau tidak sampai setahun yang lalu.

Sementara obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS), US Treasury, tenor 10 tahun berada di level 1,72% yang mana terendah sejak Oktober 2016. Adapun di Jerman, yield obligasi pemerintah tenor 30 tahun pada pekan lalu sudah menjadi negatif, yang mana merupakan pertama kali dalam sejarah.

Sejatinya, obligasi pemerintah merupakan instrumen utang yang dibeli oleh investor dengan mengharapkan keuntungan. Namun nilai yield negatif menunjukkan bahwa pemerintah malah dibayar untuk menarik utang.

Jumlah obligasi dengan yield negatif yang semakin tinggi menandakan bahwa ada banyak investor yang khawatir akan koreksi nilai aset akibat ketidakpastian kondisi ekonomi global. Pasalnya seringkali di beberapa negara, terutama negara maju seperti AS, obligasi pemerintah dianggap sebagai instrumen safe haven.

Selain itu bank sentral di beberapa negara kemarin juga telah menurunkan tingkat suku bunga acuannya. Hal itu dilakukan karena meningkatnya risiko perekonomian global.

Bank Sentral India (Reserve Bank of India/RBI) menurunkan suku bunga acuan 35 bps ke 5,4%. Lebih dalam ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yaitu penurunan 25 bps.

Kemudian Bank Sentral Thailand (BoT) memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 1,5%. Ini di luar ekspektasi, karena pelaku pasar memperkirakan suku bunga dipertahankan di 1,75%. Penurunan ini menjadi yang pertama sejak 2015. 

Bahkan Bank Sentral Selandia Baru (Reserve Bank of New Zealand/RBNZ) secara mengejutkan memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) ke rekor terendah 1%. Langkah tersebut terbilang mengejutkan, mengingat pelaku pasar memprediksi RBNZ memangkas 25 bps.


Faktor utama yang menyebabkan kenaikan risiko perekonomian global adalah perang dagang AS-China. Sudah lebih dari setahun perseteruan dagang kedua negara tersebut berlangsung. Bahkan kemungkinan untuk terus tereskalasi masih ada.

Memang, harapan untuk terciptanya kesepakatan dagang, atau damai dagang masih ada. Namun beberapa analis memperkirakan hal tersebut masih akan menempuh jalan panjang. Setidaknya hingga tahun 2020.

Selain itu, China juga disinyalir tengah dengan sengaja melemahkan nilai tukar yuan yang bisa memicu perang mata uang.

Pada hari Senin (5/8/2019) Bank Sentral China (People Bank of China/PBOC) menetapkan nilai tengah yuan sebesar CNY 6,922/US$. Setelah itu pada hari Selasa (6/8/2019) nilai tengah yuan dipatok lebih lemah yaitu di level CNY 6,9683/US$. Teranyar pada Rabu (7/8/2019) PBOC kembali melemahkan nilai tengah yuan di level CNY6,9996/US$.

Artinya sudah tiga hari berturut-turut China secara aktif membuat nilai tukar yuan berada dalam tren pelemahan.

Di China, bank sentral memang punya wewenang untuk mengatur nilai tengah mata uang, sementara batas pergerakan harian dibatasi plus-minus 2%. Artinya, pergerakan mata uang Negeri Tirai Bambu tidak murni hanya mekanisme pasar.

BELANJUT KE HALAMAN 3>>> Untuk perdagangan hari Kamis (8/8/2019), ada baiknya investor menaruh perhatian pada sejumlah sentimen yang berpotensi mempengaruhi arah gerak pasar.

Pertama, perkembangan dari nasib hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dengan China. Sebagaimana yang telah diketahui, AS masih membuka ruang untuk melanjutkan dialog dagang. Penasihat Ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow juga telah menyebut bahwa pihaknya menantikan kedatangan delegasi China untuk melakukan dialog di Washington awal bulan September.

Namun hingga kini, masih belum ada tanggapan dari pihak China. Jika nantinya ada tanggapan yang positif, maka boleh jadi membuat kekhawatiran investor mereda.

Kedua, kelanjutan dari perang mata uang. Hingga hari kemarin PBOC masih terlihat aktif melemahkan nilai tukar yuan. Bahkan untuk tiga hari berturut-turut. Kementerian Keuangan AS juga telah memberi label pada China sebagai 'manipulator mata uang'.

Jika tren tersebut terus berlanjut, maka perang mata uang akan terlihat semakin nyata dan menimbulkan kekhawatiran investor global. Ditakutkan, negara-negara lain ikut melakukan langkah serupa, yaitu usaha devaluasi mata uang.

Kombinasi antara perang dagang dan perang mata uang ditakutkan memicu resesi ekonomi seperti yang terjadi di AS pada tahun 1930an.


Ketiga, harga minyak mentah yang amblas ke level terendah dalam tujuh bulan boleh jadi menjadi sentimen positif yang dapat memberi daya angkat bagi nilai tukar rupiah.

Pada pukul 05:00 Wib, harga minyak Brent kontrak pengiriman Oktober anjlok hingga 4,6% ke level US$ 56,23/barel. Sementara harga light sweet (West Texas Intermediate/WTI) runtuh 4,74% menjadi US$ 52,25/barel.

Selain dari risiko perlambatan ekonomi akibat perang dagang, kejatuhan harga minyak juga disebabkan adanya kenaikan stok minyak mentah di AS. Berdasarkan data dari Energi Information Administration (EIA), stok minyak mentah AS untuk minggu yang berakhir pada 2 Agustus melonjak 2,4 juta barel, berlawanan arah dengan konsensus yang memprediksi penurunan sebesar 2,8 juga barel.

Bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berkah. Sebagai negara net-importir minyak, harga murah berarti juga ada penurunan jumlah yang berhamburan ke luar negeri. Alhasil tekanan pada neraca transaksi berjalan Indonesia yang kerap kali mengalami defisif bisa dikurangi. Rupiah jadi punya energi lebih untuk melawan tekanan mata uang lain.

Keempat, Jerman mengumumkan tingkat produksi industrial bulan Juni terkontraksi hingga 1,5% secara bulanan (month-on-month/MoM). Angka kontraksi tersebut jauh lebih dalam ketimbang prediksi konsensus Reuters yang sebesar 0,4% MoM.

Menteri Ekonomi Jerman mengatakan bahwa sepanjang kuartal II-2019, produksi industrial telah terkontraksi 1,8%, terutama pada sektor logam, mesin, dan manufaktur otomotif.

Perang dagang AS-China disebut menjadi dalang dari buruknya performa industri Jerman. Pasalnya AS dan China merupakan negara tujuan ekspor utama bagi Negeri Panzer.



"Semakin lama ini [perang dagang] berlanjut, semakin besar pula kemungkinan perekonomian sektor lain akan terseret ke bawah. Ekspektasi pertumbuhan ekonomi Jerman kemungkinan besar akan dipangkas lagi," ujar Alexander Krueger, ekonom Bankhaus Lampe, dikutip dari Reuters.

Bahayanya, Jerman merupakan negara dengan perekonomian terbesar keempat di dunia dan nomor satu di Eropa. Jika sampai Jerman mengalami resesi, maka dampaknya juga akan meluas. Satu lagi risiko yang dapat terus memperlambat laju pertumbuhan ekonomi global.

BERLAJUT KE HALAMAN 4>>> Kelima, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) periode Juni 2019 pada hari ini. Penjualan eceran sangat penting bagi perekonomian Indonesia yang masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga.

Pada Mei 2019, penjualan eceran tumbuh 7,7% secara tahunan (year-on-year/YoY), yang mana lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 6,7%. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya momen puasa pada bulan Mei.

Sementara di bulan Juni, ada pula momen hari raya Idul Fitri yang biasanya membuat konsumsi masyarakat meningkat.Jika penjualan eceran bulan Juni 2019 kembali meningkat, atau bahkan lebih tinggi dari Mei, maka menandakan tingkat konsumsi Masyarakat yang masih terjaga. Pertumbuhan ekonomi pun juga dapat dipertahankan.

Keenam, penantian pengumuman Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) boleh jadi membuat pelaku pasar agak grogi hari ini. Pasalnya BI akan mengumumkan NPI kuartal II-2019 pada pada esok hari, Jumat (9/8/2019).

Salah satu komponen NPI yang paling dinantikan adalah pos transaksi berjaalan (current account). Transaksi berjalan menggambarkan aliran valas yang keluar masuk melalui sektor riil.

Di kuartal I-2019, transaksi berjalan sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD) sebesar US$ 6,9 miliar atau setara 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka defisit itu jauh lebih dalam ketimbang kuartal I tahun sebelumnya yang hanya US$ 5,1 miliar atau 2,01% PDB.

Sementara ada sinyal bahwa CAD akan semakin melebar di kuartal II-2019. Salah satunya adalah defisit neraca dagang yang semakin parah.Sepanjang kuartal II-2019, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 1,87 miliar. Defisit tersebut lebih dalam ketimbang kuartal II-2018 yang sebesar US$ 1,45 miliar.


Transaksi berjalan punya peran pening pada sistem keuangan di Indonesia karena mencerminkan pasokan valas di dalam negeri yang dapat bertahan lama. Berbeda dengan saudaranya, transaksi finansial, yang mana bisa berbalik arah dengan sangat cepat.

Tanpa pasokan valas yang memadai (akibat pembengkakan CAD), investor akan memandang stabilitas keuangan Indonesia sangat rentan. Kurs rupiah jadi mudah terdepresiasi akibat tekanan mata uang lain. Hal itu juga akan berdampak pada daya tarik investor di instrumen lain seperti saham. Siapa yang ingin nilai asetnya terkoreksi akibat depresiasi mata uang? Tidak ada.

BERLANJUT KE HALAMAN 5>>> Berikut beberapa peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
  • Rilis data transaksi berjalan Jepang periode Juni (06:50 WIB)
  • Rilis data ekspor-impor China periode Juli (10:00 WIB)
  • Rilis data penjualan eceran Indonesia periode Juni (tentatif)
  • Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 27 Juli (19:30 WIB)
  • Target efektif penawaran IPO PT Kencana Energi Lestari Tbk.
  • Rapat umum pemegang saham (RUPS) PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) (10.00 WIB)
  • Rapat umum pemegang saham (RUPS) PT Garuda Maintenance Facility Aeroasia Tbk (GMFI) (13.00 WIB
  • Paparan publik (public expose) PT Garuda Maintenance Facility Aeroasia Tbk (GMFI)

Berikut beberapa peristiwa yang akan terjadi pekan ini:
Jumat (9/8/2019)
  • Rilis data pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal II-2019 (06:50 WIB)
  • Rilis data tingkat inflasi China periode (08:30 WIB)
  • Rilis data Indeks Harga Produsen China periode Juli (08:30 WIB)
  • Rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 (tentatif)
  • Rilis Indeks Harga Produsen AS periode Juli (19:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY)5,05%
Inflasi (Juli 2019 YoY)3,32%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juli 2019)5,75%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (1Q-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (1Q-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Juli 2019)US$ 125,9 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini. 

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular