Newsletter

Menanti Keputusan Suku Bunga BI, Pasar Rawan Terguncang?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
14 January 2025 06:03
Pegawai berjalan dibawah layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (6/8/2024).
Foto: Pegawai berjalan dibawah layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (6/8/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Pasar menantikan rilis kebijakan suku bunga BI esok hari
  • Selain itu akan diumumkan inflasi AS yang menjadi indikator utama kebijakan suku bunga The Fed
  • Ramai pengumuman penting pasar bisa bergerak fluktuatif

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia tumbang karena kabar buruk dari Amerika Serikat yang membuat para pelaku pasar pesimis bank sentral Federal Reserve akan segera pangkas suku bunga.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup ambles hingga 1% pada akhir perdagangan Senin (13/1/2025), di tengah adanya kabar kurang menggembirakan dari Amerika Serikat (AS) di mana laporan pekerjaan terbaru dapat memudarkan harapan investor untuk pemangkasan suku bunga bank sentral AS dalam waktu dekat.

IHSG ditutup ambles 1,02% ke posisi 7.016,88. Sepanjang perdagangan, IHSG konsisten bergerak di zona merah. IHSG cenderung mendatar sejak sesi I. Namun menjelang penutupan IHSG justru terkoreksi parah.

Nilai transaksi indeks mencapai sekitar Rp 11,4 triliun dengan melibatkan 16,2 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,4 juta kali. Sebanyak 234 saham menguat, 383 saham melemah, dan 186 saham stagnan.

Secara sektoral, sektor industri dan keuangan menjadi penekan terbesar IHSG, yakni masing-masing mencapai 1,3% dan 1,21%.

Di sisi lain, nilai tukar rupiah bergerak merana di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (13/1/2025). 

Merujuk data Refinitiv, mata uang Garuda berakhir di posisi Rp16.270/US$, melemah 0,56% dalam sehari. Depresiasi hari ini membalikkan penguatan tipis rupiah dalam sepekan lalu sebesar 0,03%.

Gerak pasar saham dan rupiah yang melemah terdampak kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih solid. Hal ini tercermin dari data payroll akhir pekan lalu yang lebih tinggi dari perkiraan.

Laporan NFP AS yang dirilis Jumat malam menunjukkan penciptaan 256.000 lapangan kerja pada Desember, jauh di atas ekspektasi pasar sebesar 160.000 pekerjaan. Hasil tersebut mempertegas ketahanan pasar tenaga kerja AS dan memicu spekulasi bahwa The Fed akan lebih lambat dalam melonggarkan kebijakan suku bunganya.

Secara keseluruhan pada 2024, lapangan kerja meningkat sebesar 2,2 juta, dengan rata-rata peningkatan bulanan sebesar 186.000, di bawah 3,0 juta pada 2023 yang mewakili rata-rata peningkatan bulanan sebesar 251.000. Namun, angka-angka ini tetap menunjukkan pasar tenaga kerja yang kuat dan stabil.

Kuatnya data tenaga kerja di AS ini memberikan bukti bahwa DXY berpotensi masih akan melesat dan tekanan terhadap rupiah berpotensi akan terus terjadi selama DXY belum ada tanda-tanda mengalami pelemahan.

Selain itu, pelaku pasar juga sedang menunggu perihal suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang akan dirilis pada Rabu (15/1/2025).

BI akan mengumumkan suku bunga untuk Januari 2025. Kabar ini sangat dinantikan oleh pelaku pasar, karena menantikan kebijakan suku bunga BI di tengah rupiah yang melemah terhadap dolar AS, ketidakpastian politik dan geopolitik global.

Dow Jones Industrial Average naik pada hari Senin (13/1/2025), mengungguli pasar, sementara Nasdaq Composite turun karena para trader terus menjual saham teknologi besar yang sebelumnya menjadi pendorong pasar bullish.

Indeks Dow yang terdiri dari 30 saham naik 358,67 poin (0,86%) ke level penutupan 42.297,12, karena investor beralih ke saham non-teknologi seperti Caterpillar, JPMorgan, dan UnitedHealth. Sementara itu, indeks Nasdaq yang didominasi saham teknologi turun 0,38% ke 19.088,10. S&P 500 sedikit naik 0,16% ke 5.836,22. Meski begitu, ketiga indeks tersebut mencatat penurunan dalam dua minggu terakhir, dengan saham teknologi menjadi penyebab utamanya.

Saham Palantir dan Nvidia, dua pemimpin pasar bullish yang populer di kalangan investor ritel, masing-masing turun lebih dari 3% dan hampir 2%, melanjutkan penurunan mereka dari minggu lalu. Nvidia turun hampir 6% selama periode tersebut, sementara Palantir kehilangan lebih dari 15%. Saham teknologi lainnya, seperti Apple dan Micron, juga melemah pada sesi tersebut.

Di sisi lain, sektor energi mengungguli pasar dengan kenaikan lebih dari 2% karena harga minyak yang naik. Sektor kesehatan dan material juga mengalami penguatan.

Kenaikan imbal hasil obligasi menjadi salah satu faktor utama di balik aksi jual saham-saham berorientasi pertumbuhan. Imbal hasil Treasury 10-tahun pada hari Senin mencapai level tertinggi sejak November 2023, ditutup di 4,79%. Imbal hasil tersebut melonjak pada hari Jumat setelah laporan pekerjaan yang lebih kuat dari perkiraan, yang memunculkan keraguan tentang pemotongan suku bunga lebih lanjut oleh Federal Reserve.

"Dengan imbal hasil 10-tahun berpotensi mencapai 5%, akan sangat sulit bagi pasar ekuitas untuk mendapatkan momentum yang berarti hingga setidaknya ada stabilitas dalam suku bunga," kata Adam Turnquist, kepala analis teknis di LPL Financial.

"Kami tidak berpikir pasar akan jatuh ke wilayah bearish, tetapi koreksi jangka pendek bisa saja terjadi," tambahnya.

Investor berharap awal musim laporan keuangan kuartal keempat dapat menstabilkan pasar. Bank-bank besar seperti Citigroup, Goldman Sachs, dan JPMorgan Chase akan melaporkan pendapatan mereka pada hari Rabu, sementara Morgan Stanley dan Bank of America akan melaporkan hasil pada hari Kamis.

Data ekonomi minggu ini mencakup indeks harga konsumen (CPI) bulan Desember pada Rabu pagi. Sebelumnya, investor akan menganalisis inflasi grosir melalui laporan indeks harga produsen (PPI) bulan Desember yang dirilis pada hari Selasa.

Para pelaku pasar menantikan beragam data penting yang akan dirilis pada esok hari (15/1/2025). Mulai dari neraca perdagangan hingga suku bunga. Hal ini bisa membuat pergerakan pasar keuangan Indonesia bergerak sarat volatilitas.

Malam nanti, ada rilis data inflasi produksi Amerika Serikat. Data ini cukup penting sebagai sinyal kondisi daya beli masyarakat AS dan pertimbangan kebijakan suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve atau The Fed.

Berdasarkan konsensus Trading Economics PPI AS pada Desember 2024 akan mencapai 3,2% yoy, mendingin dibandingkan bulan sebelumnya yakni 3,4%.

Kemudian, pada Rabu (15/1/2025) Indonesia akan mengumumkan nilai neraca dagang beserta ekspor dan impor pada Desember 2024.

Trading Economics memperkirakan neraca dagang Indonesia akan surplus pada Desember 2024, namun nilainya berkurang menjadi US$4,33 miliar dibandingkan bulan sebelumnya US$4,42 miliar.

Sementara pertumbuhan ekspor diperkirakan melambat menjadi 8,5% yoy pada Desember 2024. Sementara pertumbuhan ekspor Indonesia pada November 2024 sebesar 9,14% yoy.

Sebaliknya, pertumbuhan impor Indonesia diperkirakan semakin ngegas menjadi 4% pada akhir tahun lalu, dibandingkan pertumbuhan November hanya 0,01% yoy.

Pada hari yang sama, Bank Indonesia akan mengumumkan suku bunga untuk Januari 2025.

Kabar ini sangat dinantikan oleh pelaku pasar, karena menantikan kebijakan suku bunga BI di tengah rupiah yang melemah terhadap dolar AS, ketidakpastian politik dan geopolitik global.

Sebelumnya, Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) kembali memutuskan mempertahankan suku bunga acuan BI Rate di level 6% per November 2024.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Selain itu, ia menekankan, fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak makin tingginya ketidakpastian perekonomian global akibat arah kebijakan Amerika Serikat (AS) dan eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai wilayah.

Malam di hari yang sama, Rabu (15/12/2024), Amerika Serikat akan mengumumkan tingkat inflasi pada Desember 2024.

Tingkat inflasi menjadi indikator penting dalam memproyeksi arah kebijakan suku bunga The Fed. Trading Economics memperkirakan tingkat inflasi AS pada periode Desember 2024 tidak berubah, tetap 3,3% yoy.

Tingkat inflasi AS memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan suku bunga The Fed. Bank sentral Amerika Serikat tersebut menutup tahun ini dengan kembali memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps). Namun, The Fed mengisyaratkan hanya akan memangkas suku bunga dua kali pada 2025.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Inflasi Produksi AMerika Serikat periode Desember (pukul 20.30 WIB)

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  • RUPSLB: JAYA, UNVR

Berikut untuk indikator ekonomi RI :

 

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

 

CNBC INDONESIA RESEARCH

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular