Newsletter

Banjir Data Genting, Pasar RI Akan Baik-Baik Saja?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
13 January 2025 06:00
Pegawai berjalan dibawah layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (6/8/2024).
Foto: Pegawai berjalan dibawah layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (6/8/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Pekan ini banjir beragam sentimen penting yang dapat menjadi penggerak pasar
  • Bank Indonesia akan mengumumkan suku bunga pada pekan ini
  • Inflasi AS juga akan memberikan pengaruh terhadap pergerakan pasar minggu ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham diperkirakan akan penuh gejolak pada perdagangan minggu ini karena ramai sentimen rilis data ekonomi penting. Mulai dari pengumuman suku bunga Bank Indonesia hingga inflasi Amerika Serikat.

Beragam sentimen penting tersebut akan diulas di halaman ketiga beserta agenda emiten di halaman empat.

Pasar keuangan Indonesia sendiri masih belum mampu keluar dari tekanan yang sudah terjadi sejak 2024. Pasar saham ditutup bergairah pada akhir perdagangan Jumat (10/1/2025), setelah beberapa hari terakhir cenderung mendatar.

Indeks Harga Saham Gabungan pun anjlok 1% sepekan. Berdasarkan Refintiv pada perdagangan Jumat (10/1/2025) IHSG ditutup di posisi 7.088,87. IHSG sempat pulih ke level psikologis 7.100. Namun pada akhir perdagangan hari ini, IHSG lagi-lagi ditutup di level psikologis 7.000, tepatnya di 7.080-an.

Sentimen pemberat IHSG sepanjang pekan kemarin datang dari eksternal. seperti negara dagang dan hasil risalah Federal Open Market Committee (FOMC) Minutes bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).

Serangkaian data ketenagakerjaan AS juga rilis pekan ini, seperti JOLs Job Openings, Job Quit, Klaim pengangguran, sampai pada akhirnya data terakhir yang dinanti Jumat ini adalah Non-Farm Payroll (NFP) dan tingkat pengangguran.

Data NFP menjadi sangat penting karena akan memberikan gambaran berapa tenaga kerja dari karyawan di perusahaan swasta dan pemerintah. Sekitar 80% tenaga kerja di AS terhitung sebagai NFP, jadi data ini cukup ideal jadi gambaran untuk employment AS terkini.

Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) stabil di level Rp16.100-an di tengah ekspektasi pasar terhadap data ketenagakerjaan AS (Non-Farm Payroll/NFP) dan prospek kebijakan moneter bank sentral AS Federal Reserve atau The Fed.

Merujuk data Refinitiv, rupiah ditutup di posisi Rp16.180/US$ pada Jumat (10/1/2025), menguat 0,09% dibandingkan hari sebelumnya, sekaligus mencatat apresiasi mingguan sebesar 0,03%.Rupiah memulai pekan ini di zona stabil, dengan fluktuasi ringan yang terlihat sejak Selasa (7/1/2025) ketika nilai tukar sempat mencapai Rp16.125/US$, level terkuat selama seminggu terakhir.

Laporan NFP AS yang dirilis Jumat malam menunjukkan penciptaan 256.000 lapangan kerja pada Desember, jauh di atas ekspektasi pasar sebesar 160.000 pekerjaan. Hasil tersebut mempertegas ketahanan pasar tenaga kerja AS dan memicu spekulasi bahwa The Fed akan lebih lambat dalam melonggarkan kebijakan suku bunganya.

Meski demikian, volatilitas pasar akibat NFP memberikan ruang bagi rupiah untuk tetap stabil. Investor tetap wait and see terhadap rencana kebijakan moneter AS, terutama di tengah potensi inflasi yang lebih tinggi akibat tekanan dari pasar tenaga kerja.Selain itu, indeks dolar AS (DXY) menunjukkan tren mendatar sepanjang pekan, berakhir di 109,28 pada Jumat, sedikit lebih tinggi dibandingkan 109,16 sehari sebelumnya. Pergerakan dolar yang stabil menjadi faktor pendukung bagi performa rupiah.

Meski apresiasi rupiah pekan ini tergolong tipis, pergerakan positif ini menandai ketahanan rupiah di tengah ketidakpastian global. Dengan rilis data NFP yang lebih kuat dari ekspektasi, perhatian pasar kini beralih.

Pasar saham AS turun pada perdagangan Jumat (10/1/2025) setelah laporan pekerjaan yang kuat menurunkan ekspektasi Wall Street untuk pemotongan suku bunga lebih lanjut dari Federal Reserve tahun ini.

Dow Jones Industrial Average kehilangan 696,75 poin, atau 1,63%, dan ditutup di 41.938,45. S&P 500 turun 1,54% menjadi 5.827,04, sementara Nasdaq Composite melemah 1,63% ke 19.161,63. Penurunan pada hari Jumat mendorong tolok ukur utama ke zona merah untuk tahun 2025.

Jumlah tenaga kerja di AS tumbuh sebesar 256.000 pada bulan Desember, sementara ekonom yang disurvei oleh Dow Jones memperkirakan kenaikan sebesar 155.000. Tingkat pengangguran, yang diproyeksikan tetap di 4,2%, turun menjadi 4,1% selama bulan tersebut. Imbal hasil obligasi Treasury 10 tahun melonjak ke level tertingginya sejak akhir 2023 setelah laporan tersebut.

"Kabar baik untuk ekonomi, tetapi tidak untuk pasar - setidaknya untuk saat ini," kata Scott Wren, ahli strategi pasar global senior di Wells Fargo Investment Institute. "Namun, lonjakan tak terduga dibandingkan proyeksi konsensus ini tidak mengubah pandangan kami bahwa pasar tenaga kerja kemungkinan akan melambat lebih lanjut dalam beberapa kuartal mendatang."

Para pedagang memperkirakan peluang 97% bahwa Fed akan mempertahankan suku bunga pada pertemuannya di akhir Januari, dan kini mereka juga berpikir bahwa bank sentral akan mempertahankan suku bunga pada pertemuan Maret, berdasarkan perdagangan kontrak berjangka Fed Funds.

Peluang pemotongan suku bunga di bulan Maret turun menjadi sekitar 25% setelah data pekerjaan, turun dari probabilitas 41% sehari sebelumnya, menurut CME FedWatch Tool. The Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar seperempat poin pada bulan Desember.

Saham-saham jatuh lebih jauh pada hari Jumat setelah indeks sentimen konsumen University of Michigan mengindikasikan kekhawatiran terhadap inflasi. Indeks keseluruhan tercatat di angka 73,2 untuk Januari, meleset dari estimasi Dow Jones sebesar 74. Sebagian dari penurunan ini disebabkan oleh ekspektasi inflasi satu tahun yang meningkat menjadi 3,3% dari 2,8%. Ekspektasi inflasi lima tahun juga naik ke level tertinggi sejak Juni 2008.

Saham-saham pertumbuhan, yang paling rentan terhadap lonjakan suku bunga karena investor menjadi lebih konservatif, memimpin kerugian pada sesi ini. Pembuat chip Nvidia kehilangan 3%, sementara AMD dan Broadcom masing-masing turun 4,8% dan 2,2%. Palantir juga turun lebih dari 1%.

Saham-saham berkapitalisasi kecil, yang juga sensitif terhadap suku bunga pinjaman, merosot dengan indeks Russell 2000 turun lebih dari 2%.

"Suku bunga bergerak sedikit terlalu cepat, dan pasar saham bereaksi dengan aksi jual," kata Adam Turnquist, kepala ahli strategi teknikal di LPL Financial, seraya menambahkan bahwa pergerakan imbal hasil baru-baru ini mengisyaratkan potensi koreksi untuk S&P 500.

"Tapi hal penting yang sering terlupakan pada hari-hari seperti ini adalah alasan di balik kenaikan suku bunga - ini karena ekonomi berjalan lebih baik dari yang diharapkan," katanya. "Pada akhirnya, ini berarti potensi pendapatan yang lebih baik, risiko resesi yang lebih kecil, dan itulah yang benar-benar akan menentukan hasil jangka panjang dibandingkan aksi jual di pasar hari ini."

Ketiga indeks utama membukukan kerugian mingguan berturut-turut, dengan S&P 500 turun 1,9% dan Nasdaq Composite turun 2,3%. Indeks Dow, yang terdiri dari 30 saham, melemah hampir 1,9% selama minggu ini.

Pasar keuangan Indonesia akan disokong oleh beragam sentimen dari rilis data-data ekonomi penting dari dalam maupun luar negeri. Sehingga pergerakan pasar saham maupun rupiah berpotensi fluktuatif.

Pada Senin (13/1/2025) datang sentimen dari China. Negeri Tirai Bambu tersebut akan merilis data ekspor, impor, serta neraca dagang.

Berdasarkan konsensus Trading Economics,ekspor China pada Desember 2024 akan bertumbuh 7,3% year-on-year (yoy), lebih cepat ketimbang bulan sebelumnya (November) sebesar 6,7% yoy.

Sementara pertumbuhan impor pada Desember 2024 diperkirakan membaik walaupun masih negatif. Konsensus Trading Economics memperkirakan impor China akan tumbuh -1,5% yoy, sementara pada November -3,9% yoy.

Pertumbuhan ekspor yang lebih agresif membuat neraca perdagangan China diperkirakan semakin tinggi yakni US$99,80 miliar, dibandingkan bulan sebelumnya US$97,44 miliar.

Neraca Dagang ChinaFoto: tradingeconomics
Neraca Dagang China

_

Selasa (14/1/2025) akan rilis data inflasi produksi Amerika Serikat. Data ini cukup penting sebagai sinyal kondisi daya beli masyarakat AS dan pertimbangan kebijakan suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve atau The Fed.

Berdasarkan konsensus Trading Economics PPI AS pada Desember 2024 akan mencapai 3,2% yoy, mendingin dibandingkan bulan sebelumnya yakni 3,4%.

Kemudian, pada Rabu (15/1/2025) Indonesia akan mengumumkan nilai neraca dagang beserta ekspor dan impor pada Desember 2024.

Trading Economics memperkirakan neraca dagang Indonesia akan surplus pada Desember 2024, namun nilainya berkurang menjadi US$4,33 miliar dibandingkan bulan sebelumnya US$4,42 miliar.

Sementara pertumbuhan ekspor diperkirakan melambat menjadi 8,5% yoy pada Desember 2024. Sementara pertumbuhan ekspor Indonesia pada November 2024 sebesar 9,14% yoy.

Sebaliknya, pertumbuhan impor Indonesia diperkirakan semakin ngegas menjadi 4% pada akhir tahun lalu, dibandingkan pertumbuhan November hanya 0,01% yoy.

Pada hari yang sama, Bank Indonesia akan mengumumkan suku bunga untuk Januari 2025. Kabar ini sangat dinantikan oleh pelaku pasar, karena menantikan kebijakan suku bunga BI di tengah rupiah yang melemah terhadap dolar AS, ketidakpastian politik dan geopolitik global.

Sebelumnya, Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) kembali memutuskan mempertahankan suku bunga acuan BI Rate di level 6% per November 2024.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Selain itu, ia menekankan, fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak makin tingginya ketidakpastian perekonomian global akibat arah kebijakan Amerika Serikat (AS) dan eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai wilayah.

Malamnya, Amerika Serikat akan mengumumkan tingkat inflasi pada Desember 2024.

Tingkat inflasi menjadi indikator penting dalam memproyeksi arah kebijakan suku bunga The Fed. Trading Economics memperkirakan tingkat inflasi AS pada periode Desember 2024 tidak berubah, tetap 3,3% yoy.

Tingkat inflasi AS memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan suku bunga The Fed. Bank sentral Amerika Serikat tersebut menutup tahun ini dengan kembali memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps). Namun, The Fed mengisyaratkan hanya akan memangkas suku bunga dua kali pada 2025.

 

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Neraca Dagang China periode Desember 2024 pukul 10.00 WIB

  • Ekspor China periode Desember 2024 pukul 10.00 WIB

  • Impor China periode Desember 2024 pukul 10.00 WIB

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  • IPO: CBDK, DGWD, OBAT

  • Dividen: BSSR, GTSI, KUAS

Berikut untuk indikator ekonomi RI :

CNBC INDONESIA RESEARCH

 

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular