Newsletter

H-1 Rilis Transaksi Berjalan, Bagaimana Nasib Pasar Keuangan?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
08 August 2019 06:40
Wall Street Masih Dihantui Perang Mata Uang
Foto: Wall Street (AP Photo/Richard Drew)
Tiga indeks utama Wall Street ditutup bervariasi pada perdagangan Rabu (7/8/2019). Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,1%, S&P 500 naik 0,1%, sementara Nasdaq Composite menguat 0,4%.

Kondisi pada penutupan pasar Wall Street jauh membaik dibanding pada saat perdagangan berlangsung. Pasalnya, tiga indeks tersebut sempat jatuh lebih dari 1% sepanjang sesi perdagangan.

Kekhawatiran akan kondisi perekonomian global masih sangat tinggi di kalangan pelaku pasar.



Menurut data yang dipublikasikan oleh Deutsche Bank, nilai obligasi pemerintah di seluruh dunia yang memiliki imbal hasil (yield) negatif telah menyentuh rekor terbaru, yaitu sekitar US$ 15 triliun atau 25% dari total jumlah yang beredar. Nilai tersebut telah meningkat dua kali lipat sejak Oktober 2018 atau tidak sampai setahun yang lalu.

Sementara obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS), US Treasury, tenor 10 tahun berada di level 1,72% yang mana terendah sejak Oktober 2016. Adapun di Jerman, yield obligasi pemerintah tenor 30 tahun pada pekan lalu sudah menjadi negatif, yang mana merupakan pertama kali dalam sejarah.

Sejatinya, obligasi pemerintah merupakan instrumen utang yang dibeli oleh investor dengan mengharapkan keuntungan. Namun nilai yield negatif menunjukkan bahwa pemerintah malah dibayar untuk menarik utang.

Jumlah obligasi dengan yield negatif yang semakin tinggi menandakan bahwa ada banyak investor yang khawatir akan koreksi nilai aset akibat ketidakpastian kondisi ekonomi global. Pasalnya seringkali di beberapa negara, terutama negara maju seperti AS, obligasi pemerintah dianggap sebagai instrumen safe haven.

Selain itu bank sentral di beberapa negara kemarin juga telah menurunkan tingkat suku bunga acuannya. Hal itu dilakukan karena meningkatnya risiko perekonomian global.

Bank Sentral India (Reserve Bank of India/RBI) menurunkan suku bunga acuan 35 bps ke 5,4%. Lebih dalam ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yaitu penurunan 25 bps.

Kemudian Bank Sentral Thailand (BoT) memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 1,5%. Ini di luar ekspektasi, karena pelaku pasar memperkirakan suku bunga dipertahankan di 1,75%. Penurunan ini menjadi yang pertama sejak 2015. 

Bahkan Bank Sentral Selandia Baru (Reserve Bank of New Zealand/RBNZ) secara mengejutkan memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) ke rekor terendah 1%. Langkah tersebut terbilang mengejutkan, mengingat pelaku pasar memprediksi RBNZ memangkas 25 bps.


Faktor utama yang menyebabkan kenaikan risiko perekonomian global adalah perang dagang AS-China. Sudah lebih dari setahun perseteruan dagang kedua negara tersebut berlangsung. Bahkan kemungkinan untuk terus tereskalasi masih ada.

Memang, harapan untuk terciptanya kesepakatan dagang, atau damai dagang masih ada. Namun beberapa analis memperkirakan hal tersebut masih akan menempuh jalan panjang. Setidaknya hingga tahun 2020.

Selain itu, China juga disinyalir tengah dengan sengaja melemahkan nilai tukar yuan yang bisa memicu perang mata uang.

Pada hari Senin (5/8/2019) Bank Sentral China (People Bank of China/PBOC) menetapkan nilai tengah yuan sebesar CNY 6,922/US$. Setelah itu pada hari Selasa (6/8/2019) nilai tengah yuan dipatok lebih lemah yaitu di level CNY 6,9683/US$. Teranyar pada Rabu (7/8/2019) PBOC kembali melemahkan nilai tengah yuan di level CNY6,9996/US$.

Artinya sudah tiga hari berturut-turut China secara aktif membuat nilai tukar yuan berada dalam tren pelemahan.

Di China, bank sentral memang punya wewenang untuk mengatur nilai tengah mata uang, sementara batas pergerakan harian dibatasi plus-minus 2%. Artinya, pergerakan mata uang Negeri Tirai Bambu tidak murni hanya mekanisme pasar.

BELANJUT KE HALAMAN 3>>> (taa/taa)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular