
Newsletter
Siap-siap! 'Jokowi Effect' Akan Diuji (Lagi) Hari Ini
Taufan Adharsyah, Anthony Kevin, & Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 June 2019 06:43

Jakarta, CNBC Indonesia - Rabu (26/6/2019) merupakan hari buruk di pasar keuangan dalam negeri. Mengawali perdagangan dengan penguatan 0,05%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) harus rela ditutup dengan koreksi 0,16% ke level 6.310,49.
Sama halnya dengan rupiah yang nilai tukarnya melemah 0,35% menjadi Rp 14.170/US$.
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 0,51%, indeks Shanghai turun 0,19%, dan indeks Straits Times turun 0,09%.
Masih untung ada obligasi pemerintah yang mampu menguat, dengan penurunan imbal hasil (yield) seri acuan tenor 10 tahun sebesar 0,6 basis poin menjadi 7,44%
Sebenarnya ada berita baik yang berpotensi mengangkat kinerja pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.
Negeri Adidaya dikabarkan telah bersedia menunda kenaikan tarif impor bagi produk China senilai US$ 300 miliar yang belum menjadi objek perang dagang. Tampaknya AS ingin menunjukkan itikad baik menyambut babak baru negosiasi dagang kedua negara.
Sebagai informasi, di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 akhir pekan ini Presiden AS Donald Trump akan melakukan pertemuan eksklusif dengan Presiden China Xi Jinping. Rencana tersebut sudah dikonfirmasi oleh kedua belah pihak pada pekan lalu.
Menurut sumber yang mengetahui masalah tersebut, keputusan Trump untuk menunda kenaikan bea masuk kemungkinan akan diumumkan secara resmi pasca-pertemuannya dengan Jinping, mengutip Bloomberg.
Namun sayang, sentimen tersebut bak tertelan ombak sehingga dampaknya hampir tak terasa.
Kali ini ombaknya adalah Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). Ketua The Fed, Jerome Powell mematahkan harapan pelaku pasar akan kemungkinan penurunan suku bunga acuan (Fed Funds Rate/FFR) secara besar-besaran.
Dalam sebuah acara di New York, Powell menegaskan bahwa bank sentral tidak bisa berlebihan dalam menghadapi sebuah situasi, termasuk dalam hal pelonggaran kebijakan moneter.
"Banyak peserta rapat FOMC (Federal Market Open Committee) yang menilai ada kebutuhan kebijakan moneter yang lebih akomodatif. Namun kami juga memperhatikan bahwa kebijakan moneter tidak perlu berlebihan terhadap data per data atau sentimen jangka pendek," jelas Powell, mengutip Reuters.
Di lokasi yang berbeda pada waktu yang hampir berbarengan, Presiden The Fed St. Louis James Bullard juga memperkuat pernyataan Powell.
"Saya duduk di sini hari ini, dan saya berpikir (penurunan suku bunga acuan) 50 basis poin akan terlalu banyak. Saya rasa situasi yang ada tidak sampai ke sana, saya memilih (penurunan) 25 basis poin," ungkap Bullard dalam wawancara bersama Bloomberg, seperti dikutip dari Reuters.
Alhasil pelaku pasar mau tak mau harus melakukan kalkulasi ulang. Sebab sebelumnya banyak pihak meyakini FFR bisa turun tika kali (75 basis poin) hingga akhir tahun 2019. Kini, FFR turun dua kali (50 basis poin) saja sepertinya sudah bagus.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan suku bunga acuan AS sebanyak dua kali sampai akhir tahun naik dari kemarin 25,6% menjadi 29,1%. Sementara peluang penurunan tiga kali turun dari 41,3% menjadi 41,1%.
Peta permainan investor pun berubah, dari yang tadi nya sangat agresif di instrumen berisiko, mulai ambil mode sedikit main aman. Maklum, semakin besar suku bunga dipangkas, peluang emiten untuk meningkatkan laba juga membesar. Berlaku pula sebaliknya.
Tanpa penurunan suku bunga yang terlalu besar, dolar pun memanfaatkan momentum untuk mengambil kembali keperkasaannya. Rupiah mau tak mau harus rela mengalah.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Sama halnya dengan rupiah yang nilai tukarnya melemah 0,35% menjadi Rp 14.170/US$.
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 0,51%, indeks Shanghai turun 0,19%, dan indeks Straits Times turun 0,09%.
Masih untung ada obligasi pemerintah yang mampu menguat, dengan penurunan imbal hasil (yield) seri acuan tenor 10 tahun sebesar 0,6 basis poin menjadi 7,44%
Sebenarnya ada berita baik yang berpotensi mengangkat kinerja pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.
Negeri Adidaya dikabarkan telah bersedia menunda kenaikan tarif impor bagi produk China senilai US$ 300 miliar yang belum menjadi objek perang dagang. Tampaknya AS ingin menunjukkan itikad baik menyambut babak baru negosiasi dagang kedua negara.
Sebagai informasi, di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 akhir pekan ini Presiden AS Donald Trump akan melakukan pertemuan eksklusif dengan Presiden China Xi Jinping. Rencana tersebut sudah dikonfirmasi oleh kedua belah pihak pada pekan lalu.
Menurut sumber yang mengetahui masalah tersebut, keputusan Trump untuk menunda kenaikan bea masuk kemungkinan akan diumumkan secara resmi pasca-pertemuannya dengan Jinping, mengutip Bloomberg.
Namun sayang, sentimen tersebut bak tertelan ombak sehingga dampaknya hampir tak terasa.
Kali ini ombaknya adalah Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). Ketua The Fed, Jerome Powell mematahkan harapan pelaku pasar akan kemungkinan penurunan suku bunga acuan (Fed Funds Rate/FFR) secara besar-besaran.
Dalam sebuah acara di New York, Powell menegaskan bahwa bank sentral tidak bisa berlebihan dalam menghadapi sebuah situasi, termasuk dalam hal pelonggaran kebijakan moneter.
"Banyak peserta rapat FOMC (Federal Market Open Committee) yang menilai ada kebutuhan kebijakan moneter yang lebih akomodatif. Namun kami juga memperhatikan bahwa kebijakan moneter tidak perlu berlebihan terhadap data per data atau sentimen jangka pendek," jelas Powell, mengutip Reuters.
Di lokasi yang berbeda pada waktu yang hampir berbarengan, Presiden The Fed St. Louis James Bullard juga memperkuat pernyataan Powell.
"Saya duduk di sini hari ini, dan saya berpikir (penurunan suku bunga acuan) 50 basis poin akan terlalu banyak. Saya rasa situasi yang ada tidak sampai ke sana, saya memilih (penurunan) 25 basis poin," ungkap Bullard dalam wawancara bersama Bloomberg, seperti dikutip dari Reuters.
Alhasil pelaku pasar mau tak mau harus melakukan kalkulasi ulang. Sebab sebelumnya banyak pihak meyakini FFR bisa turun tika kali (75 basis poin) hingga akhir tahun 2019. Kini, FFR turun dua kali (50 basis poin) saja sepertinya sudah bagus.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan suku bunga acuan AS sebanyak dua kali sampai akhir tahun naik dari kemarin 25,6% menjadi 29,1%. Sementara peluang penurunan tiga kali turun dari 41,3% menjadi 41,1%.
Peta permainan investor pun berubah, dari yang tadi nya sangat agresif di instrumen berisiko, mulai ambil mode sedikit main aman. Maklum, semakin besar suku bunga dipangkas, peluang emiten untuk meningkatkan laba juga membesar. Berlaku pula sebaliknya.
Tanpa penurunan suku bunga yang terlalu besar, dolar pun memanfaatkan momentum untuk mengambil kembali keperkasaannya. Rupiah mau tak mau harus rela mengalah.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular