Kredit Seret Gara-gara Bunga Ketinggian? Nggak Juga Lho...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 January 2021 12:01
Ilusttrasi Uang
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Penyaluran kredit perbankan di Indonesia masih seret. Apakah gara-gara suku bunga yang ketinggian, atau tidak ada permintaan?

Mengutip laporan Uang Beredar periode November 2020 yang dirilis Bank Indonesia (BI), penyaluran kredit perbankan tumbuh -1,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Memburuk dibandingkan Oktober 2020 yang -0,9% YoY.

Artinya, penyaluran kredit perbankan mengalami kontraksi selama tiga bulan beruntun. Dalam tiga bulan tersebut, kontraksi kredit semakin dalam.

Apakah masyarakat dan dunia usaha enggan mengambil kredit karena suku bunga terlalu tinggi? Bisa jadi...

Rata-rata suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) pada November 2020 adalah 9,25%. Sementara rata-rata suku bunga Kredit Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) masing-masing 8,96% dan 11,05%.

Dibandingkan akhir 2019, suku bunga kredit memang sudah turun. KMK, KI, dan KK masing-masing turun sebanyak 78 basis poin (bps), 94 basis poin, dan 44 bps.

Dalam periode yang sama, suku bunga acuan BI sudah turun 125 bps. BI 7 Day Reverse Repo Rate dipangkas ke titik terendah sepanjang sejarah.

Oleh karena itu, sebenarnya suku bunga kredit perbankan masih punya ruang untuk turun. Sebab laju penurunan suku bunga kredit masih jauh di bawah pemotongan BI 7 Day Reverse Repo Rate.

"Sudah saatnya perbankan segera menurunkan suku bunga dan menyalurkan kredit sebagai komitmen bersama untuk pemulihan ekonomi nasional," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pertemuan Tahunan BI, awal bulan lalu.

Namun penyaluran kredit yang seret bukan semata-mata karena faktor suku bunga. Sekarang kondisinya berbeda, permintaan sedang anjlok akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini sudah menjadi pandemi global. Indonesia termasuk negara yang merasakan keganasan virus corona.

Kementerian Kesehatan melaporkan, jumlah pasien positif corona per 6 Januari 2020 adalah 788.402 orang. Bertambah 8.854 orang (1,14%) dibandingkan sehari sebelumnya. Tambahan pasien baru 8.854 orang dalam sehari adalah rekor tertinggi sejak virus corona mewabah di Tanah Air.

Dalam 14 hari terakhir (24 Desember 2020-6 Januari 2021), rata-rata pasien baru bertambah 7.340 orang per hari. Melonjak dibandingkan 14 hari sebelumnya yakni 6.624 orang setiap harinya.

Seperti negara lain, Indonesia juga memberlakukan pembatasan sosial alias social distancing. Namanya adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2020.

Pasal 3 PP tersebut menyatakan bahwa PSBB minimal meliputi:
1. Peliburan sekolah dan tempat kerja.
2. Pembatasan kegiatan keagamaan.
3. Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Salah satu sektor yang paling terpukul karena PSBB adalah Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR). Maklum, sektor yang di luar negeri disebut hospitality ini mengedepankan keramahan, kontak dan interaksi yang erat antara penjual dan pembeli jasa. Sesuatu yang sangat sulit dilakukan ketika masyarakat harus berjarak.

Ini yang membuat sektor PHR nyungsep. Kekhawatiran akan terular virus corona membuat masyarakat belum berani pelesiran. Pemerintah juga masih membatasi operasional tempat-tempat wisata.

Hasilnya, tingkat okupansi hotel anjlok. Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang turun signifikan mulai Maret 2020. Titik terendahnya adalah pada April 2020, di mana kala itu TPK tidak sampai 20%. Terendah setidaknya sejak 1988.

Dihadapkan dengan kondisi bisnis yang luluh lantak, pengusaha PHR tentu mengurungkan niat berekspansi. Untuk apa melakukan ekspansi dan meminjam uang di bank kalau PSBB masih berlaku? Untuk apa ekspansi kalau masyarakat masih takut keluar rumah?

Permintaan kredit di sektor PHR pun turun drastis. Pada November 2020, penyaluran KMK ke sektor ini terkontraksi 4,9% YoY.

"KMK tumbuh negatif terutama pada sektor Industri Pengolahan serta sektor PHR. KMK sektor PHR tumbuh negatif 4,9%, sedikit lebih dalam dibandingkan pertumbuhan Oktober 2020 sebesar -4,8%," sebut laporan BI.

Jadi, kurang adil juga kalau hanya menyalahkan tingginya suku bunga sebagai penyebab kelesuan penyaluran kredit. Walau suku bunga sudah rendah, kalau situasinya masih seperti sekarang ya sama saja bohong. Selama aktivitas dan mobilitas warga masih dibatasi, maka roda ekonomi tidak akan bergerak lancar sehingga menurunkan kebutuhan ekspansi.

Berbeda dengan krisis moneter 1998 atau krisis keuangan global 2008, krisis kali ini tidak berpusat di sektor keuangan. Ujung pangkal ekonomi yang 'mati suri' ini adalah aspek kesehatan. Kalau mau ekonomi bergairah, maka pandemi harus dijinakkan terlebih dahulu.

Oleh karena itu, vaksin memegang peranan vital. Vaksin adalah kunci, the game changer, 'senjata' untuk melawan virus corona.

Vaksin (jika efektif) akan memberi kekebalan tubuh terhadap serangan virus corona. Ketika sebagian besar penduduk sudah menerima vaksin, maka akan terbentuk kekebalan kolektif (herd immunity) sehingga rantai penularan bisa diputus. Pandemi akan selesai, selamat datang hidup normal.

Vaksin memang sudah ada, dan siap disuntikkan. Namun prosesnya tidak sebentar, butuh waktu hitungan bulan bahkan mungkin tahun. Apalagi Indonesia adalah negara yang luas dan berpulau-pulau, bukan urusan gampang untuk mendistribusikan vaksin dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.

Selagi proses vaksinasi berjalan, masyarakat dan pemerintah tidak boleh kendur dalam menjalankan kewajiban masing-masing. Masyarakat harus disiplin menegakkan 3 M (menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan) sedangkan pemerintah kudu menggenjot pelaksanaan 3 T (testing, tracing, treatment). Hanya dengan itu pandemi bisa diredam tetapi roda ekonomi tetap bisa berjalan.

TIM RSET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular