Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data inflasi Juni pada 1 Juli mendatang. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan median inflasi bulanan (month-to-month/MtM) sebesar 0,025%. Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) ada di 1,805% dan inflasi inti tahunan 2,42%.
Apabila realisasinya nanti sesuai dengan ekspektasi pasar, maka terjadi perlambatan laju inflasi. Pada Mei, inflasi MtM tercatat 0,07%, kemudian YoY sebesar 2,19%, dan inflasi inti YoY adalah 2,65%.
Bank Indonesia punya proyeksi yang lebih rendah dibandingkan pasar. MH Thamrin memperkirakan terjadi deflasi -0,01% MtM sehingga inflasi tahunan menjadi 1,76%. Kali terakhir inflasi tahunan berada di bawah 2% adalah pada Mei 2000 atau lebih dari 20 tahun lalu.
Dalam kondisi normal, inflasi yang semakin rendah, apalagi buat negara berkembang seperti Indonesia, adalah pertanda baik. Negara berkembang dicirikan dengan permintaan yang masih terus tumbuh sementara kapasitas dunia usaha terbatas sehingga terjadi tekanan harga karena kurangnya pasokan. Cost push inflation.
Jadi ketika inflasi rendah, maka artinya pasokan mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan. Dunia usaha sudah mampu meningkatkan kapasitas produksi, yang berarti peningkatan produktivitas, daya saing, dan penciptaan lapangan kerja.
Itu saat kondisi normal. Pandemi virus corona menciptakan zaman edan, apa-apa menjadi tidak normal.
Demi meredam penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini, pemerintah mengedepankan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Seluruh aktivitas non-esensial ditutup sementara, bahkan kapasitas transportasi umum dikurangi. Warga diminta untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah untuk menghindari terjadinya kerumunan yang membuat virus corona lebih mudah menyebar.
Akibatnya, pabrik kekurangan karyawan karena wajib mematuhi PSBB. Banyak pabrik yang terpaksa berhenti beroperasi total, ada pula yang masih berjalan tetapi dengan penurunan kapasitas produksi.
Produksi barang pun menjadi sangat terbatas. Dalam laporan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur periode Mei, IHS Markit melaporkan hasil produsi (output) masih mengalami penurunan tajam.
Semestinya penurunan produksi membuat harga naik, bukan? Dalam kondisi normal iya, tetapi pada zaman bubrah seperti sekarang, itu tidak berlaku. Sebab PSBB tidak hanya menekan produksi tetapi juga permintaan.
Bagaimana perminyaan bisa naik, wong masyarakat #dirumahaja? Makan-tidur-makan-tidur saja, tidak jajan di luar, nge-mal, ngopi-ngopi cantik, nonton bioskop, karaoke, dan sebagainya.
"Covid-19 membuat industri manufaktur terpukul. Output memang turun drastis pada Mei, tetapi juga dibarengi oleh anjloknya permintaan baru (new order)," sebut laporan IHS Markit.
Selain aktivitas masyarakat yang sangat terbatas akibat PSBB, penurunan permintaan juga disebabkan oleh gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tidak sedikit pengusaha yang melambaikan tangan ke kamera tanda menyerah, karena keterbatasan produksi dan penurunan penjualan.
Per 27 Mei, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sudah 3.066.567 pekerja yang terdampak pandemi corona. Sebanyak 1.757.464 orang sudah melalui proses cleansing, sudah jelas siapa dan di mana tempat tinggalnya. Sedangkan sisanya masih ditelusuri.
Dari 1.757.464 pekerja tersebut, sebanyak 380.221 orang adalah korban PHK di sektor formal dan 1.058.284 dirumahkan (furlough). Sisanya adalah pekerja sektor informal.
Saat tidak ada mata pencarian, para korban PHK itu tentu tidak bisa melakukan konsumsi seperti biasanya. Harus ada bagian dana yang disimpan sampai mendapat pekerjaan lagi.
Sedangkan bagi yang belum menjadi korban PHK juga ada kekhawatiran. Amit-amit, tetapi dalam situasi seperti sekarang 'vonis' PHK bisa datang kapan saja. Oleh karena itu, lebih baik mempersiapkan diri dengan berhemat karena tidak ada yang tahu besok masih bisa bekerja atau tidak.
Kecemasan terhadap ketersediaan lapangan kerja ini tergambar dari survei konsumen BI. Pada Mei, indeks Ketersediaan Lapangan Kerja anjlok ke 28,2.
"Optimisme konsumen terhadap ketersediaan lapangan kerja saat ini semakin menurun sejalan dengan banyaknya tenaga kerja yang terkena PHK dan dirumahkan sebagai dampak pandemi Covod-19. Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja yang telah direkonsiliasi bersama BPJS Ketenagakerjaan, per 27 Mei 2020 jumlah tenaga kerja yang terdampak pandemi Covid-19, baik dirumahkan maupun terkena PHK, sebanyak 1,79 juta pekerja," papar laporan BI.
So, wajar saja inflasi domestik begitu rendah bahkan ada peluang deflasi. Alih-alih menjadi kabar baik, inflasi rendah semakin menegaskan bahwa daya beli rakyat sedang bermasalah.
TIM RISET CNBC INDONESIA