Corona Oh Corona, Kau Bawa Manufaktur Dunia ke Nestapa

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 May 2020 06:44
Pabrik Mobil VW
Ilustrasi Pabrik Mobil (REUTERS/Fabian Bimmer)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat jutaan orang menjadi korban. Selain didera penyakit bahkan sampai kehilangan nyawa, virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini juga membuat pabrik-pabrik di berbagai negara mati suri.

Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per 4 Mei 2020, jumlah pasien positif corona di seluruh dunia adalah 3.435.894 orang. Dari jumlah tersebut, 239.604 orang meninggal dunia (tingkat kematian/mortality rate 6,97%).

Dalam waktu kurang dari lima bulan, virus corona telah menjangkiti lebih dari 200 negara dan teritori. Hampir tidak ada tempat yang aman.

coronaWHO


Begitu cepat dan luasnya penyebaran virus corona membuat pemerintah di hampir seluruh negara memberlakukan kebijakan pembatasan sosial (social distancing) sampai karantina wilayah (lockdown). Intinya, warga dianjurkan (atau bahkan dilarang) keluar rumah untuk mencegah penularan virus lebih lanjut.

Apalagi kalau sampai menciptakan kerumunan, bisa berabe, karena virus akan sangat mudah menular seiring tingginya kontak dan interaksi antar-manusia. Bekerja, belajar, dan beribadah di rumah menjadi norma baru.

Salah satu akibatnya adalah banyak pabrik yang ditutup sementara untuk mencegah virus menular lebih jauh. Contohnya di Indonesia, pabrik rokok PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) ditutup karena beberapa orang karyawannya positif mengidap virus corona. Pabrik lain yang masih steril pun mengurangi intensitas produksi dan utilisasi karyawan agar tidak terjadi penyebaran virus.


Situasi ini membuat sektor manufaktur lesu. Kelesuan sektor manufaktur digambarkan oleh angka Purchasing Managers' Index (PMI), yang pada periode April 2020 boleh dikata hancur-lebur.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Di atas 50 berarti industriawan melakukan ekspansi dan kalau di bawah 50 berarti sebaliknya, yang terjadi adalah kontraksi.

[Gambas:Video CNBC]





IHS Markit melaporkan PMI manufaktur global pada April 2020 berada di 39,8. Turun drastis dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 47,3 dan menjadi yang terendah sejak Maret 2009.



PMI terdiri dari tujuh subi-indeks yaitu produksi (output), pemesanan baru (new orders), pemesanan ekspor (new export orders), proyeksi produksi (future output), utilisasi pekerja (employment), harga bahan baku (input prices), dan harga produk jadi (output prices). Pada April, seluruh sub-indeks itu turun dibandingkan Maret.

pmiIHS Markit


Keterangan tertulis IHS Markit menyebutkan, gangguan ekonomi yang terjadi akibat wabah virus corona terus memukul industri manufaktur dunia. Laju kontraksi output dan pemesanan baru bahkan mencapai titik terendah dalam 22 tahun. Keyakinan dunia usaha terpukul dahsyat ke titik terendah.

"Hanya waktu yang bisa menjawab seberapa parah dan dalam kerusakan rantai pasok global. Namun pelonggaran lockdown di sejumlah negara mungkin memberi harapan untuk bulan-bulan ke depan," kata Olya Borichevska, Ekonom JPMorgan.


Di Indonesia, IHS Markit melaporkan PMI manufaktur Indonesia di angka 27,5. Jauh menurun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 43,5 dan menjadi yang terendah sepanjang pencatatan PMI pada April 2011.

 

Keterangan tertulis IHS Markit menyebutkan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan di Indonesia dalam rangka memerangi penyebaran virus corona membuat produksi manufaktur anjlok karena pabrik-pabrik tutup sementara. Akibatnya, output manufaktur berada di titik terlemah sepanjang sejarah pencatatan PMI.

Tidak hanya produksi, permintaan juga lesu terutama untuk keperluan ekspor. Maklum, social distancing tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Kala masyarakat dunia #dirumahaja, maka permintaan sudah pasti turun drastis.

Produksi dan permintaan yang lemas membuat penciptaan lapangan kerja menjadi terbatas. PMI mencatat sudah banyak perusahaan yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).


Pabrik juga lebih memilih untuk menjual stok yang sudah ada ketimbang membuat yang baru. Hasilnya, pembelian bahan baku (input) untuk proses produksi pun berkurang drastis.

Sementara di Jepang, PMI manufaktur pada April berada di 41,9. Turun dibandingkan Maret yang sebesar 44,8 dan menjadi yang terendah dalam 11 tahun terakhir.



"Sektor manufaktur Jepang anjlok lebih dalam pada April seiring kelumpuhan permintaan global. Penutupan pabrik dan kapasitas produksi yang tidak penuh di berbagai negara sangat mempengaruhi produksi manufaktur di Jepang. Penurunan produksi dan pemesanan baru tidak pernah separah ini sehak krisis keuangan global pada awal 2008.

"Ke depan, nasib produksi manufaktur Jepang akan sangat tergantung kepada pemulihan ekonomi dunia. Sampai kita melewati masa puncak pandemi virus corona, sebagian besar industri manufaktur Jepang masih akan mati," tegas Jow Hayes, Ekonom IHS Markit.


Di Eropa, situasinya tidak lebih baik. Pada April, PMI manufaktur Zona Euro berada di 33,4. Turun drastis dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 44,5 dan menjadi catatan terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI di Benua Biru pada Juni 1997.

 

"Sektor manufaktur Eropa terpukul ke posisi yang belum pernah kita lihat sepanjang hampir 23 tahun sejarah pencatatan PMI. Ini merupakan kombinasi dari penutupan pabrik yang terjadi di mana-mana, anjloknya permintaan, dan terbatasnya pasokan bahan baku. Seluruhnya akibat pandemi Covid-19.

"Dengan laju penyebaran virus yang melambat dan saat ini sudah ada rencana untuk mencabut berbagai larangan, semoga April adalah mata badai, titik terdalam dari penurunan aktivitas ekonomi. Ke depan ada harapan laju kontraksi PMI akan berkurang seiring orang-orang yang kembali bekerja.

"Namun perlu dicatat, PMI mengindikasikan kondisi industri dalam tempo satu kuartal. Jika terjadi koreksi sampai dua digit, maka sepertinya pemulihan akan berjalan lambat. Bisa dipahami karena masih ada kekhawatiran penyebaran virus sehingga walau pekerja sudah mulai beraktivitas tetapi mungkin masih terbatas sehingga produksi belum optimal. Jadi tidak hanya dunia usaha, konsumsi rumah tangga juga akan bertahan rendah dalam beberapa waktu ke depan," papar Chris Williamson, Kepala Ekonom Bisnis IHS Markit.

'Kekacauan' juga terjadi di sektor manufaktur Amerika Serikat (AS), di mana angka PMI pada April adalah 36,1. Ini menjadi pencapaian terendah dalam lebih dari 11 tahun terakhir.

 

Keterangan tertulis IHS Markit menyebutkan, begitu banyak pabrik di Negeri Paman Sam yang ditutup atas nama social distancing. Produksi dan penciptaan lapangan kerja menurun tajam.

Namun dengan mulai dilonggarkannya social distancing di beberapa negara bagian, ada harapan aktivitas industri akan kembali pulih. April adalah titik nadir, dan setelah itu semoga mulai ada perbaikan.

"Akan tetapi, tetap ada kekhawatiran terjadi gelombang pandemi kedua (second outbreak) sehingga membuat pengambilan kebijakan menjadi sangat menatang. Ada trade off antara mencegah second outbreak dengan membangkitkan kembali perekonomian. Proses ini sepertinya akan dijalani dengan penuh kehati-hatian, sehingga waktu pemulihan akan lumayan lama," kata Williamson.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular