BI Sudah Tembakkan Banyak 'Peluru', Pemerintah Mana Nih?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 November 2019 10:17
BI Sudah Tembakkan Banyak 'Peluru', Pemerintah Mana Nih?
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Ada yang menarik usai Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) kemarin. Rapat yang memutuskan suku bunga acuan tetap di 5% dan Giro Wajib Minimum (GWM) turun 50 basis poin (bps).

Hasil rapat tersebut mendapat respons dari pemerintah. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah mendukung langkah BI yang akomodatif.

"BI tentunya telah mempertimbangkan berbagai faktor dalam keputusannya baik yang berasal dari faktor di dalam negeri maupun di luar negeri. Keputusan mempertahankan BI 7 Days Reverse Repo Rate yang diambil BI, saya rasa itu merupakan keputusan optimal. Meski tekanan inflasi di dalam negeri berada pada tren yang menurun dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada pada level yang relatif stabil, BI kemungkinan masih memandang risiko eksternal masih cukup tinggi" kata Airlangga dalam keterangan tertulis.

Ke depan, Airlangga memandang peluang BI untuk menurunkan suku bunga kebijakan cukup besar. Pertama, ada tren penurunan inflasi di mana pada Oktober berada di 3,13% year-on-year (YoY). Kedua, terjaganya stabilitas rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kisaran Rp 14.000/US$. Ketiga, suku bunga kebijakan BI saat ini sebesar 5% masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, misalnya Filipina 4%, Malaysia 3%, dan Thailand 1,5%.


"Tentunya berbagai program yang dijalankan oleh pemerintah saat ini dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak hanya memerlukan dukungan dari sisi fiskal tetapi juga sisi moneter dalam hal ini pihak Bank Indonesia," kata Airlangga.

Upaya mendorong pertumbuhan ekonomi tidak hanya memerlukan dukungan fiskal, tetapi juga dari sisi moneter. Bukannya terbalik, Pak...?



Mari kita lihat data terbaru, yaitu pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat realisasi belanja pemerintah pada kuartal III-2019 adalah Rp 559,98 triliun atau 22,75% dari pagu. Turun dibandingkan pencapaian periode yang sama tahun sebelumnya yaitu Rp 568,17 triliun (25,59%).

Akibatnya, pertumbuhan konsumsi pemerintah pada kuartal III-2019 hanya 0,98% YoY. Jauh melambat dibandingkan kuartal III-2018 yang mencapai 6,27% dan menjadi laju terlemah sejak kuartal II-2017.

 

Belanja modal pemerintah memang tidak tercatat di komponen tersebut, tetapi di Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB). Akan tetapi, pos ini pun mengalami perlambatan pertumbuhan dari 6,96% pada kuartal III-2018 menjadi 4,21% pada kuartal III tahun ini.

 

Mengutip dokumen APBN Kita edisi November 2019, total belanja negara sepanjang Januari-Oktober adalah Rp 1.797,97 triliun atau 73,06% dari pagu. Secara nominal memang lebih baik ketimbang Januari-Oktober 2018 yang sebesar Rp 1.720,82 triliun. Namun secara persentase lebih rendah karena tahun lalu tingkat penyerapan anggaran adalah 77,49%.


Lebih sedih lagi, belanja modal pada Januari-Oktober 2019 tercatat Rp 100,76 triliun. Jumlah ini baru 53,21% dari pagu dan turun 6,14% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pantas saja pertumbuhan PMTB melambat.

Oleh karena itu, sepertinya klaim Airlangga bahwa kebijakan fiskal berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kurang pas. Sejauh ini aktivitas fiskal belum ada percepatan, masih business as usual, bahkan terjadi perlambatan.


Justru BI yang lebih getol dalam upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi. Kemarin Gubernur Perry Warjiyo dan kolega memang menahan suku bunga acuan. Namun sebelum itu, BI 7 Days Reverse Repo Rate sudah turun empat kali.



Tidak cuma suku bunga, BI juga sudah mengeluarkan berbagai 'peluru' untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada Maret, BI menaikkan batasan Rasio Intermediasi Maroprudensial (RIM) dari 80-92% menjadi 84-94% untuk mendorong pembiayaan perbankan bagi dunia usaha.

Keputusan penurunan GWM seperti kemarin juga bukan yang pertama. Pada Juni, BI sudah menurunkan GWM sebesar 50 bps yang berlaku efektif mulai 1 Juli.

'Amunisi' lain yang sudah dimuntahkan MH Thamrin adalah pelonggaran rasio pembiayaan kredit perbankan untuk properti dan kendaraan bermotor. Pada September, BI melonggarkan rasio Loan to Value/Loan to Financing (LTV/LTF) untuk kredit properti sebesar 5%, kredit kendaraan bermotor 5-10%, serta tambahan untuk kredit properti dan kendaraan bermotor yang berwawasan lingkungan masing-masing 5%. Stimulus ini akan berlaku efektif pada 2 Desember.


Sejauh ini, harus diakui bahwa BI seakan bekerja sendiri. Pemerintah memang sudah mengeluarkan berbagai wacana kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun ya itu tadi, baru sebatas wacana.

Sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode pertama, sudah ada wacana soal penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Pada periode kedua, wacana itu kembali digaungkan. Tarif PPh Badan (katanya) akan diturunkan dari 25% menjadi 20%.


Bagaimana perkembangannya? Masih samar-samar. Apalagi pembahasannya harus melibatkan DPR karena perlu mengubah Undang-undang (UU) PPh.

Begitu pemerintah menyerahkan Naskah Akademik ke DPR, parlemen akan mulai memproses dengan menjaring pendapat masyarakat (dunia usaha, praktisi perpajakan, dan sebagainya). Dari situ akan disusun Daftar Interventarisasi Masalah (DIM), diajukan ke komisi terkait, dan pembahasan baru bisa dimulai.

Lalu ada wacana soal omnibus law. Aturan ini akan menjadi payung besar yang mencakup 74 UU. Jadi nantinya investor cukup merujuk ke omnibus law, tidak perlu repot-repot memelototi 74 UU.

Namun, nasib omnibus law setali tiga uang dengan penurunan PPh Badan. Baru wacana, dan belum sampai ke tahapan pembahasan di Senayan.

Omnibus law bahkan bisa menimbulkan komplikasi tersendiri. Kalau nantinya omnibus law mencakup 74 UU, maka pembahasan di DPR tidak hanya melibatkan satu Komisi. Harus dibentuk Panitia Kerja/Panitia Khusus lintas Komisi dengan latar belakang dan kepentingan yang tentu berbeda. Menemukan kata sepakat tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri.

So, dari sisi belanja negara belum ada terobosan dari pemerintah. Kebijakan baru pun masih sekadar wacana yang jauh di depan mata. Dorongan fiskal seperti apa yang dimaksud Airlangga?



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular