BI Sudah Turunkan Bunga Nih, Bisa Nggak RI Lepas dari Resesi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 November 2020 15:37
Ilustrasi pecahan uang 75.000. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memutuskan menurunkan suku bunga acuan. Semoga kebijakan ini mampu melepaskan Indonesia dari jeratan resesi ekonomi.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 November 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50%. Keputusan ini mempertimbangkan prakiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga, dan sebagai langkah lanjutan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI.

Inflasi domestik memang rendah. Bahkan BI memperkirakan inflasi pada akhir 2020 akan berada di bawah kisaran 2-4%. Artinya, inflasi bisa di bawah 2%.

Sebelumnya, BI menahan suku bunga acuan selama empat bulan berturut-turut demi menjaga stabilitas rupiah. Namun saat ini sepertinya rupiah sudah kalem, BI tidak perlu khawatir berlebihan.

Sejak awal kuartal IV-2020 hingga kemarin, rupiah melesat dengan penguatan lebih dari 5% di hadapan greenback. Pencapaian ini membuat rupiah jadi mata uang terbaik di Asia.

Ke depan, ada harapan rupiah bisa terus menguat meski BI menurunkan suku bunga acuan. Sebab, imbalan berinvestasi di Indonesia masih lebih menarik dibandingkan negara-negara yang sekelompok (peers).

Saat ini imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berada di 6,196%. Dengan inflasi yang sampai Oktober sebesar 1,44% YoY, maka keuntungan riil dari instrumen ini adalah 4,756%.

Mari bandingkan dengan negara-negara lain yang juga berstatus menengah-atas (upper-middle income countries). Misalnya di Brasil, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun adalah 7,595% dan inflasi Oktober di 3,92% YoY. Jadi walau yield obligasi pemerintah Brasil lebih tinggi ketimbang Indonesia, tetapi keuntungan riilnya lebih rendah yaitu 3,675%.

Contoh lain misalnya Turki. Yield obligasi pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk tenor 10 tahun mencapai 11,82%, lagi-lagi lebih tinggi dibanding Indonesia. Namun inflasi di Turki adalah 11,89% YoY per Oktober, sehingga investor bukannya untung tetapi rugi -0,07% saat menanamkan modal di aset ini.

Oleh karena itu, investor akan tetap memburu aset-aset keuangan di Indonesia (terutama Surat Berharga Negara/SBN) karena cuan yang diperoleh masih relatif tinggi. Tingginya minat investor akan semakin mendongkrak harga SBN dan yield bergerak turun.

"Kami mengambil posisi overweight terhadap obligasi pemerintah Indonesia. Kami memperkirakan yield SBN 10 tahun akan melandai dan turn ke kisaran 5,8%," sebut riset Citi.

"Surplus neraca perdagangan yang besar pada Oktober 2020 semakin membuat kami yakin bahwa: 1) tren penguatan rupiah sepertinya akan terjaga selama bulan ke depan; 2) BI akan punya opsi untuk menurunkan suku bunga acuan," lanjut riset Citi.

Dengan rupiah yang aman terkendali, BI jadi tidak punya beban jika ingin menurunkan suku bunga acuan. Penurunan suku bunga acuan juga diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama di sisi permintaan.

Suku bunga rendah akan memancing rumah tangga untuk melakukan ekspansi. Mengutip laporan Survei Permintaan dan Penawaran Pembiayaan Perbankan edisi Oktober 2020, sebanyak 88,4% responden rumah tangga menyatakan tidak menambah utang atau kredit. Naik dibandingkan posisi bulan sebelumnya yaitu 86,9%.

Apa yang membuat rumah tangga ogah meminjam uang di bank? Jawaban paling banyak adalah tingkat suku bunga yaitu 29,6%. Naik dibandingkan posisi September yang sebesar 24,5%.

biSumber: BI

Per September 2020, rata-rata suku bunga kredit konsumsi rupiah bank komersial adalah 11,1%. Turun 33 basis poin (bps) dibandingkan posisi awal tahun. Masih jauh dari penurunan suku bunga acuan yang mencapai 100 bps dalam periode yang sama.

Andai suku bunga bisa lebih rendah lagi, maka bukan tidak mungkin rumah tangga berani untuk mengakses pembiayaan perbankan untuk menambah konsumsi. Jangan lupa, konsumsi rumah tangga adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran.

Oleh karena itu, sangat beralasan BI menurunkan suku bunga acuan. Ketika suku bunga acuan turun lebih agresif lagi, bank akan semakin terpacu untuk ikut memangkas suku bunga kredit. Konsumsi rumah tangga terdongrak, ekonomi terangkat, Indonesia bisa lepas dari resesi.

Semoga...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular