Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali melemah tipis 0,06% ke 7.043,939 pada perdagangan Rabu kemarin. Hari sebelumnya, IHSG juga melemah kurang dari 0,1% sekaligus mengakhiri tren penguatan dalam 6 hari beruntun.
Sementara itu rupiah sukses menguat 0,33% melawan dolar AS ke Rp 15.569/US$. Surat Berharga Negara (SBN) juga mengalami penguatan, terlihat dari imbal hasil (yield) yang mayoritas mengalami penurunan.
Rupiah meski menguat masih berada di dekat Rp 15.600/US$, dan sepanjang tahun ini melemah lebih dari 9%. Salah satu isu yang membuat rupiah sulit menguat adalah keringnya pasokan valuta asing di dalam negeri.
Keringnya pasokan valas terlihat dari cadangan devisa Indonesia yang terus menurun. Devisa merupakan alat pembayaran transaksi antar negara dan diakui dunia internasional, dalam hal ini bisa berupa valuta asing (dolar AS, euro, yen, dll), emas hingga surat berharga.
Awal bulan ini, Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2022 mencapai US$ 130,8 miliar. Realisasi ini anjlok US$ 1,4 miliar dibandingkan posisi Agustus 2022 yang sebesar US$ 132,2 miliar.
Jika melihat ke belakang, cadangan devisa Indonesia mencatat rekor tertinggi sepanjang masa US$ 146,9 miliar pada September 2021 lalu. Artinya, dalam setahun cadangan devisa sudah merosot US$ 16,1 miliar.
Yang menjadi perhatian adalah cadangan devisa yang terus menurun, sementara transaksi berjalan mencetak surplus hingga 29 bulan beruntun.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, surplus neraca perdagangan pada periode Januari - September 2022 mencapai US$ 39,87 miliar atau tumbuh sebesar 58,83%.
Besarnya nilai ekspor tersebut tidak tercermin di cadangan devisa negara. Sehingga ada indikasi dolar AS yang diterima eksportir disimpan di luar negeri.
Salah satu upaya menambah devisa di dalam negeri yakni dengan penerbitan global bond. September lalu pemerintah telah menerbitkan global bond berdenominasi dolar AS senilai US$ US$2,65 miliar.
Bahkan pemerintah harus membayar mahal guna menambah pasokan devisa.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan tingkat kupon global bond tenor 10 tahun yang diterbitkan September lalu sebesar 4,650%. Kupon tersebut lebih tinggi dua kali lipat ketimbang yang diterbitkan pada September 2021 sebesar 2,150%.
Beban pembayaran bunga pun akan membengkak sangat signifikan. Hal ini tentunya akan berdampak ke belanja pembayaran bunga utang di APBN ke depannya.
Data dari DJPPR juga menunjukkan tanggal setelmen penerbitan global bond pada 20 September.
Dengan tambahan tersebut, nyatanya cadangan devisa pada September masih juga merosot. Artinya kebutuhan BI untuk melakukan intervensi menjaga stabilitas rupiah sangat tinggi.
Jika penurunan cadangan devisa terus berlanjut, rupiah berisiko semakin tertekan, bukan tidak mungkin mendekati lagi Rp 16.000/US$.
Hal ini membuat para investor was-was sebab dampaknya bisa signifikan, baik ke pasar finansial maupun sektor riil.
Ulasan lebih lanjut mengenai tirisnya pasokan valuta asing di dalam negeri, dan beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar finansial Indonesia hari ini bisa dilihat pada halaman 3 dan 4.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Raksasa Teknologi Keok, Wall Street Anjlok
Kinerja keuangan raksasa teknologi Amerika Serikat (AS) yang mengecewakan menjadi sentimen negatif bagi pasar modal. Bursa saham AS (Wall Street) langsung merosot di awal perdagangan Rabu (26/10/2022) waktu setempat. Padahal, sebelumnya ketiga indeks utama mampu mencatat penguatan 3 hari beruntun.
Indeks Nasdaq merosot hingga 2% ke 10.970,99 dan S&P 500 minus 0,7% ke 3.830,6. Sementara indeks Dow Jones masih mendatar.
Saham perusahaan induk Google, Alphabet, merosot hingga 9,1% setelah melaporkan kinerja keuangan di bawah ekspektasi, baik dari sisi pendapatan maupun laba.
Pertumbuhan pendapatan Alphabet melambat menjadi hanya 6%, jauh dari capaian 41% pada periode yang sama tahun lalu, menyusul persaingan ketat pada perolehan iklan daring. Tanpa memperhitungkan satu periode perlambatan serupa di awal pandemi, pertumbuhan pendapatan kali ini tercatat terlemah sejak 2013.
Alphabet juga melaporkan penurunan pendapatan iklan YouTube turun 2% menjadi US$7,07 miliar, berbanding terbalik dari harapan pasar yang naik 3%.
Philipp Schindler, chief business officer Google mengungkapkan jika terdapat penurunan pengeluaran pada iklan pencarian di sejumlah segmen seperti asuransi, pinjaman, kredit kepemilikan rumah, dan pasar kripto.
Kinerja Alphabet menambah daftar kinerja mengecewakan sejumlah perusahaan besar teknologi di Amerika Serikat yang menyasar iklan digital pada kuartal III ini.
Microsoft juga melaporkan kinerja keuangan setelah perdagangan Selasa kemarin berakhir. Hasilnya sama, di bawah ekspektasi pasar, sahamnya pun merosot 7,7%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia tentunya memberikan sentimen negatif ke pasar Asia pagi ini. IHSG yang melemah tipis-tipis dalam dua hari terakhir berisiko melemah lebih dalam lagi.
Kemudian, seperti disebutkan pada halaman 1, keringnya pasokan valas di dalam negeri sedang menjadi isu karena memberikan tekanan bagi rupiah.
BI sendiri menyebut berkurangnya cadangan devisa karena kebutuhan stabilitas rupiah.
"Penurunan posisi cadangan devisa pada September 2022 antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global," tulis BI dalam siaran pers, Jumat (7/10/2022).
Guna menstabilkan rupiah, BI melakukan triple intervention, di pasar SBN, spot, dan domestic non-deliverable forward (DNDF).
Melihat kondisi saat ini, dengan The Fed yang masih agresif dalam menaikkan suku bunga, capital outflow dari pasar obligasi Indonesia yang besar, kemudian kebutuhan dolar AS di dalam negeri, tentunya membuat tekanan bagi rupiah masih akan besar.
Hal ini berisiko semakin menggerus cadangan devisa. Cadangan devisa makin tiris, kepercayaan investor akan semakin menurun, dan rupiah malah semakin tertekan.
Stabilitas nilai tukar menjadi penting bagi investor asing, sebab risiko kerugian kurs menjadi minim. Jika rupiah terus merosot, tentunya akan berdampak pada risk appetite.
Belum lagi jika melihat dampaknya ke emiten-emiten yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS yang besar, atau yang bahan bakunya harus mengimpor.
Pelemahan rupiah juga akan berkontribusi terhadap kenaikan inflasi, masalah yang dihadapi dunia saat ini. Harga tempe dan tahu misalnya, bisa menjadi lebih mahal sebab bahan bakunya kedelai merupakan komoditas impor. Harga barang-barang elektronik juga akan mengalami kenaikan.
Kemudian beban subsidi energi dan pembayaran bunga utang akan membengkak yang membebani APBN.
Perekonomian Indonesia jadi taruhannya. Berawal dari keringnya valas yang membuat nilai tukar rupiah sulit menguat.
Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro melihat banyak pendapatan ekspor Indonesia disimpan di bank-bank Singapura di tengah-tengah fenomena surplus bertubi-tubi.
Hal ini dikarenakan bank Singapura menawarkan lebih dari 3% setahun untuk dolar AS yang ditempatkan di deposito berjangka. Jauh lebih tinggi dibandingkan di dalam negeri yang hanya rata-rata 0.38%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Selain isu pelemahan rupiah, pasar juga menanti rilis data pertumbuhan Amerika Serikat malam ini. Berdasarkan hasil polling Reuters, PDB AS diprediksi akan tumbuh 2% di kuartal III-2022. Artinya, Amerika Serikat akan lepas dari resesi.
PDB Amerika Serikat sebelumnya mengalami kontraksi dua kuartal beruntun, sehingga secara teknis disebut mengalami resesi.
Pertumbuhan yang terjadi di kuartal III-2022 tidak serta merta akan disambut baik oleh pelaku pasar. Apalagi jika pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari ekspektasi. Sebab, bank sentral AS (The Fed) akan terus agresif menaikkan suku bunga.
Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 50% suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023.
 Foto: CME Group |
Hal ini masih memicu volatilitas di pasar finansial global, termasuk di dalam negeri.
Namun ada secercah harapan The Fed bakal mengurangi agresivitasnya. Bank sentral Kanada (Bank of Canada/BoC) kemarin kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 3,75% tetapi lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 75 basis poin.
BoC menjadi bank sentral yang juga agresif dalam menaikkan suku bunga. Hingga saat ini, tercatat sudah ada 6 kali kenaikan, bahkan pada Juli lalu sebesar 100 basis poin dan September 75 basis poin.
Sore nanti ada bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang akan mengumumkan suku bunga. Pasar juga melihat ECB akan menaikkan suku bunga 75 basis poin, tetapi jika di bawah ekspektasi maka harapan The Fed akan mengendur akan semakin kuat.
Sebelumnya Wall Street Journal (WSJ) melaporkan beberapa pejabat The Fed mulai mengisyaratkan keinginan mereka untuk memperlambat laju kenaikan segera.
"Artikel Wall Street Journal yang menyebutkan laju kenaikan suku bunga sedang dipertimbangkan oleh para pelaku pasar," kata Daniel Ghali, ahli strategi komoditas di TD Securities, dikutip dari Reuters Jumat lalu.
Presiden The Fed San Francisco, Mary Daly mengatakan bahwa The Fed harus menghindari menempatkan ekonomi AS ke dalam "penurunan paksa" dengan pengetatan yang berlebihan. Ia menambahkan bahwa The Fed mendekati titik di mana laju kenaikan suku bunga harus diperlambat.
Jika tanda-tanda The Fed akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya semakin banyak muncul, ada peluang rupiah akan menguat. Hal ini bisa juga berdampak positif ke IHSG dan SBN.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
Pengumuman kebijakan moneter ECB (19:15 WIB)
Rilis data PDB Amerika Serikat (19:30 WIB)
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
Public expose : OMED, CBUT, MKTR
RUPS: PKPK
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2022 YoY) | 5,44% |
Inflasi (September 2022 YoY) | 5,95% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2022) | 4,75% |
Surplus Anggaran (APBN 2022) | 3,92% PDB |
Surplus Transaksi Berjalan (Q2-2022 YoY) | 1,1% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2022 YoY) | US$ 2,4 miliar |
Cadangan Devisa (September 2022) | US$ 130,8 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA