
Ekonom Soroti Dilema Bos BI, antara Ekonomi dan Jaga Rupiah

Jakarta, CNCB Indonesia - Di tengah ketidakpastian yang memicu pelemahan rupiah terhadap dolar AS, Bank Indonesia (BI) dihadapkan dalam kondisi yang dilematis.
Ekonom Senior INDEF Aviliani membenarkan kondisi bank sentral saat ini. Capital outflow atau arus modal keluar telah cukup banyak terjadi. Bahkan, kepemilikan surat berharga negara (SBN) oleh asing tinggal 14,92% dari sebelumnya 25% pada 2020.
Kondisi outflow ini menekan pergerakan rupiah, sehingga pada akhirnya korporasi atau dunia usaha yang operasinya memerlukan valas untuk impor akan terbebani.
"Jadi memang saya lihat dilema sekali buat Gubernur BI antara ingin ekonomi tumbuh dengan kredit tetapi di sisi lain ingin menjaga rupiah," ujarnya kepada CNBC Indonesia TV, Rabu (26/10/2022).
Dengan menaikkan suku bunga, BI dapat menaikkan rate differential atau perbedaan suku bunga di dalam negeri dan luar negeri sehingga pada akhirnya diharapkan kembali menarik investor masuk dan memperkuat rupiah. Di sisi lain, menaikkan suku bunga dapat menekan pertumbuhan mengingat suku bunga kredit akan meningkat.
"Tapi kan pilihannya menjaga rupiah dulu atau suku bunga dulu. Kalau kita lihat dengan rupiah yang hampir Rp15.600, saya rasa pilihannya salah satunya adalah menaikkan suku bunga," ujar Aviliani.
Kendati demikian, Aviliani melihat kenaikan suku bunga BI belum tentu langsung menarik investor masuk. Menurutnya, investor tetap akan mencari tingkat suku bunga yang menarik dan aspek keamanan dananya.
"Jadi saya melihatnya masih akan ada PR dalam nilai tukar. Jadi harus cari jalan lain, tidak sekedar menaikkan suku bunga tetapi bagaimana caranya memberikan insentif orang Indonesia agar mau menempatkan uangnya di Indonesia," paparnya.
Dalam mengajak residen memarkirkan dolarnya di bank dalam negeri, Aviliani melihat BI dan pemerintah harus bekerja sama.
"Kalau BI kerja sendiri nanti kena di fiskal. Biasanya ini perlu koordinasi yang baik dimana kalau kita ingin datangkan dolar ke dalam," tegasnya.
Senior Economist Samuel Sekuritas, Fikri C. Permana menilai pelemahan rupiah merupakan risiko global yang terjadi juga pada mata uang lain.
"Depresiasi rupiah 8,4% (ytd), artinya Indonesia lebih kuat dan persisten pada tahun ini dibanding tahun lalu, dan bahkan emerging market yang lain," katanya dalam kesempatan yang sama.
Buktinya, depresiasi euro terhadap dolar AS telah mencapai 25%.
Kendati terbilang kuat, Fikri mengungkapkan respons kebijakan tetap harus diambil, tidak hanya kebijakan moneter, tetapi juga fiskal.
Selain itu, dia melihat tidak ada salahnya eksportir dan importir Indonesia mulai melakukan diversifikasi dalam transaksi dengan mata uang lain selain dolar.
Dia pun mengingatkan dunia usaha untuk melakukan hedging guna melindungi kebutuhan risiko nilai tukar.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penyebab Cadangan Devisa RI US$155,7 M: Utang Sampai Devisa Migas