Newsletter

Bukan Ngadi-ngadi, Peluang RI Kena Resesi Memang Tinggi...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 September 2020 06:00
Bursa
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, tetapi nilai tukar rupiah mencatat apresiasi.

Kemarin, IHSG berakhir di 5.230,19 atau melemah 0,18% dibandingkan posisi penutupan akhir pekan lalu. Meski masih merah, tetapi koreksi IHSG lumayan jauh menipis. Sayang, tidak cukup waktu buat IHSG untuk menyeberang ke jalur hijau.

Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,07% ke Rp 14.730/US$. Rupiah relatif nyaman di zona hijau, meski penguatannya tergerus seiring perjalanan pasar.

Ada sentimen yang campur aduk. Kabar buruknya, hubungan AS-China semakin memburuk karena pemerintah Presiden Donald Trump dikabarkan akan memberi sanksi kepada SMIC, perusahaan teknologi asal Negeri Tirai Bambu. SIMC, perusahaan pembuat semikonduktor, akan dipersulit saat akan memasarkan produknya di tanah Negeri Paman Sam.

Saat ini sudah ada 275 perusahaan China yang masuk daftar hitam di AS. Tudingannya bermacam-macam, mulai dari membahayakan keamanan nasional, pelanggaran hak atas kekayaan intelektual, sampai membantu penindasan terhadap kelompok minoritas muslim di Uighur.

China tentu tidak terima. Zhao Lijian, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, menegaskan bahwa AS jelas-jelas melakukan perundungan (bullying). Beijing meminta Washington menghentikan tekanan terhadap perusahaan-perusahaan asal China.

"Tanpa alasan yang jelas, AS telah menyalahgunakan kekuatan negara untuk menindak perusahaan-perusahaan China. AS sebaiknya segera menghentikan penindasan terhadap perusahaan asing," kata Zhao dalam jumpa pers, seperti dikutip dari Reuters.

Sentimen ini membuat pelaku pasar lebih mawas diri, karena khawatir tensi AS-China akan mengganggu upaya pemulihan ekonomi yang sudah terhantam oleh pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Ini membuat arus modal agak menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk bursa saham Tanah Air. Investor asing membukukan jual bersih Rp 786,19 miliar.

Namun nilai tukar rupiah berhasil menguat, bukan karena pasokan 'darah' dari pasar saham melainkan obligasi pemerintah. Arus modal memang keluar dari pasar saham, tetapi tetap mengalir ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Ini terlihat dari imbal hasil (yield) SBN yang turun di hampir seluruh tenor. Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya minat investor.

SBN memang masih menarik di mata investor, terutama asing, karena menjanjikan imbalan tinggi. Saat ini, yield SBN seri acuan tenor 10 tahun berada di 6,91%. Instrumen serupa di AS hanya memberikan yield 0,723%.

Yield SBN juga lebih tinggi ketimbang surat utang pemerintah negara-negara tetangga. Obligasi pemerintah Malaysia tenor 10 tahun memiliki yield 2,656%, Singapura 0,968%, Filipina 2,915%, Thailand 1,44%, bahkan India 5,944%.

"Ke depan, Bank Indonesia memandang nilai tukar rupiah masih berpotensi menguat seiring levelnya yang secara fundamental masih undervalued didukung inflasi yang rendah dan terkendali, defisit transaksi berjalan yang rendah, daya tarik aset keuangan domestik yang tinggi, dan premi risiko Indonesia yang menurun," sebut keterangan tertulis BI usai Rapat Dewan Gubernur edisi Agustus 2020.

Hari ini, bursa saham AS libur memperingati Hari Buruh sehingga tidak ada sentimen dari Wall Street yang mempengaruhi pasar keuangan Asia. Namun mungkin akan menarik kalau melihat bursa saham Eropa.

Seluruh indeks saham utama Benua Biru menguat. Bahkan indeks DAX (Jerman) dan FTSE (Inggris) melesat hingga 2% lebih.

Investor semringah mendengar kabar positif soal pengembangan vaksi virus corona. CSL, perusahaan farmasi asal Australia, telah membuat kesepakatan untuk membuat dua vaksin. Pertama adalah buatan AstraZaneca dan Universitas Oxford, kedua adalah buatan mereka sendiri yang bekerja sama dengan Universitas Queensland.

Scott Morrison, Perdana Menteri Australia, memperkirakan gelombang pertama vaksin anti-virus corona akan tersedia di Negeri Kanguru pada Januari 2021. "Australia butuh harapan. Hari ini, kami membuat satu langkah penting untuk melindungi rakyat Australia dari pandemi virus corona," katanya, sebagaimana dikutip dari Reuters.

Morrison menambahkan, fasilitas milik CLS akan menghasilkan 3,8 miliar dosis vaksin AstraZaneca. Sementara vaksin yang dikembangkan CSL baru memulai uji coba klinis tahap II pada akhir 2020, sehingga baru tersedia paling cepat pertengahan 2021. CSL menargetkan produksi dua vaksin ini sebanyak hampir 85 miliar dosis.

Merespons kabar ini, harga saham AstraZaneca melonjak nyaris 4%. Sementara indeks saham kesehatan di bursa Uni Eropa melesat 2,1%. Selain itu, investor juga menyambut gembira rilis data terbaru dari China.

Pada Agustus 2020, ekspor China tumbuh 9,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Jauh lebih baik dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 7,1%.

"Data ekspor China sangat membantu kala sentimen dari AS sedang absen. Ini menghapus sentimen negatif dari akhir pekan lalu," kata Connor Campbell, Analis di Spreadex, sebagaimana dikutip dari Reuters.

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kabar baik seputar vaksin anti-virus corona. Sentimen ini terbukti berhasil mendongkrak bursa saham Eropa, dan semoga optimisme tersebut menjalar hingga ke Asia, termasuk Indonesia.

Kalau PMI Morrison mengatakan Australia butuh harapan, Indonesia juga sangat memerlukannya. Per 7 September, jumlah pasien positif corona di Tanah Air tercatat 196.989 orang. Bertambah 2.880 orang (1,48%) dibandingkan sehari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir (25 Agustus-7 September), rata-rata tambahan pasien baru mencapai 2.969,79 orang per hari. Jauh lebih tinggi dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 2023,5 orang.

Sementara laju penambahan kasus dalam 14 hari terakhir adalah 1,71% per hari. Lebih tinggi dibandingkan 14 hari sebelumnya yakni 1,45%.

Tingkat kasus positif (positivity rate) di Indonesia juga cukup tinggi. Dengan jumlah pengujian terhadap 2.452.164 spesimen, ditemukan kasus positif 196.989. Artinya positivity rate Indonesia adalah 8,03%.

Di level Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi kedua, hanya lebih sedikit dari Filipina. Negara bahkan negara-negara di kawasan Indochina memiliki positivity rate kurang dari 1%.

Oleh karena itu, Indonesia memang sudah layak disebut darurat corona. Indonesia butuh solusi, Indonesia butuh harapan, Indonesia butuh penyelamatan. Datangnya vaksin anti-virus corona diharapkan mampu menjadi juru selamat.

Sentimen kedua, pelaku pasar patut mewaspada kebangkitan dolar AS. Pada pukul 00:44 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,35%.

Harap maklum, mata uang Negeri Adikuasa memang punya kans untuk mencatatkan technical rebound. Bukan apa-apa, Dollar Index sudah anjlok 3,7% dalam tiga bulan terakhir. Sejak akhir tahun lalu, indeks ini masih terkoreksi 3,47%.

Jika penguatan dolar AS terus bertahan, maka rupiah wajib mawas diri. Apalagi kemarin dolar AS begitu teraniaya di Asia, sehingga akan tiba saatnya untuk membalas dendam.

Namun ke depan, prospek dolar AS masih suram. Sebab bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) kemungkinan masih akan mempertahankan kebijakan moneter ultra-longgar demi mendukung pemulihan ekonomi.

"Kita masih membutuhkan suku bunga rendah, yang mendukung aktivitas perekonomian, sampai beberapa waktu ke depan. Mungkin dalam hitungan tahun," ungkap Jerome 'Jay' Powell, Ketua The Fed, akhir pekan lalu.

Suku bunga rendah akan membuat berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (utamanya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) akan ikut turun. Dolar AS jadi tidak seksi lagi, dan ini membuka peluang penguatan mata uang lain, tidak terkecuali rupiah.

Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data survei konsumen periode Agustus 2020. Pada bulan sebelumnya, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) berada di 86,2. Masih di bawah 100, pertanda bahwa konsumen belum pede memandang situasi ekonomi.

Apabila IKK masih di bawah 100, kemungkinan besar seperti itu, maka akan menjadi sinyal bahwa konsumsi rumah tangga belum kuat. Lemahnya konsumsi sudah terlihat dari terjadinya deflasi pada Juli dan Agustus.

Bahkan Bank Indonesia (BI) memperkirakan deflasi masih akan terjadi pada September. Ini semakin memperkuat keyakinan bahwa konsumsi rumah tangga masih sulit diharapkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2020.

Padahal konsumsi rumah tangga begitu dominan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran. Kelesuan konsumsi rumah tangga membuat peluang terjadinya kontraksi (pertumbuhan negatif) PDB pada kuartal III-2020 semakin tinggi.

Pada kuartal sebelumnya, Indonesia sudah mencatatkan kontraksi PDB sebesar 5,32% YoY. Kalau kuartal III-2020 ada kontraksi lagi, maka Indonesia resmi masuk jurang resesi.

Oleh karena itu, rilis data survei konsumen hari ini menjadi penting. Sebab, data ini bisa memberi gambaran lebih lanjut seberapa besar peluang Indonesia mengalami resesi.

Kali terakhir Indonesia mengalami resesi adalah pada 1999, sudah lebih dari 20 tahun lalu. Tidak heran kepastian apakah Indonesia bakal resesi atau tidak menjadi sorotan publik.

Sayangnya, semakin hari tanda-tanda ke arah resesi rasanya semakin jelas. Dag-dig-dug-der boleh, tetapi jangan panik. Sebab yang penting adalah seberapa cepat kita bangkit dari resesi. Sepertinya kok tidak akan lama...

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1.      Rilis data pembacaan akhir pertumbuhan ekonomi Jepang periode kuartal II-2020 (06:50 WIB).
  2.      Rilis data survei konsumen Indonesia (10:00 WIB).
  3.      Indonesia International Geothermal Convention 2020 (12:30 WIB).
  4.      Rilis data perdagangan internasional Jerman periode Juli 2020 (13:00 WIB).
  5.      Rilis data pembacaan ketiga pertumbuhan ekonomi Zona Euro periode kuartal II-2020 (16:00 WIB).

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

 

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY)

-5,32%

Inflasi (Agustus 2020 YoY)

1,32%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2020)

4%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-6,34% PDB

Transaksi berjalan (kuartal II-2020)

-1,18% PDB

Neraca pembayaran (kuartal II-2020)

US$ 9,24 miliar

Cadangan devisa (Juli 2020)

US$ 135,08 miliar

 

Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular