Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah sempat ada harapan, ternyata aura kelesuan ekonomi kembali merebak di Asia. Berbagai data terbaru menunjukkan sepertinya resesi di Benua Kuning belum akan pergi dalam waktu dekat.
Pagi ini, sejumlah data ekonomi terbaru di sejumlah negara menggambarkan keprihatinan. Dari Korea Selatan, produksi industri pada Juli 2020 terkontraksi atau tumbuh negatif 2,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Memburuk dibandingkan bulan sebelumnya yang minus 0,5% YoY.
Kontraksi produksi industrial Korea Selatan pada Juni adalah pencapaian terbaik sejak Maret. Awalnya sempat ada harapan produksi industri naik terus, tetapi ternyata situasi memburuk lagi.
Masih dari Negeri K-Pop, penjualan ritel pada Juli tumbuh 0,5% YoY. Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya naik naik 6,3% YoY. Pertumbuhan 0,5% YoY adalah yang terlemah dalam tiga bulan terakhir.
Seperti halnya produksi industri, penjualan ritel sempat naik dalam dua bulan beruntun setelah kontraksi terakhir terjadi pada Mei. Namun pada Juli pertumbuhannya melambat lagi.
Beralih ke China, Biro Statistik Nasional melaporkan aktivitas manufaktur yang dicerminkan dari Purchasing Managers' Index (PMI) pada Agustus sebesar 51. Sedikit turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 51,1.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula, kalau di atas 50 berarti industriawan melakukan ekspansi. Betul bahwa PMI manufaktur China terus di atas 50 dalam enam bulan berturut-turut, tetapi angkanya cenderung menurun. Artinya, laju ekspansi manufaktur di Negeri Tirai Bambu melambat.
Kemudian di Jepang, penjualan ritel pada Juli mengalami kontraksi 2,8% YoY. Padahal bulan sebelumnya masih mencatatkan pertumbuhan 3,9% YoY.
Pada Mei dan Juni, penjualan ritel di Negeri Matahari Terbit membaik. Namun seperti yang terjadi di negara lain, terjadi pemburukan pada Juli.
Harapan kebangkitan ekonomi pada Juni terjadi setelah pemerintahan di berbagai negara mengendurkan pembatasan sosial (social distancing). Dunia memasuki era baru, yaitu new normal. Masyarakat diizinkan kembali beraktivitas di luar rumah, dengan batasan protokol kesehatan.
Namun new normal membawa komplikasi. Peningkatan intensitas kontak dan interaksi antar-manusia membuat virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) kembali menyebar dengan cepat. Dunia pun menghadapi apa yang menjadi ketakutan, yakni gelombang serangan kedua (second wave outbreak).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, jumlah pasien corona di seluruh negara per 30 Agustus adalah 24.854.140 orang. Bertambah 265.888 orang (1,08%) per hari.
Pada 1-30 Agustus, rata-rata pasien baru bertambah 258.163 orang per hari. Naik dibandingkan rata-rata bulan sebelumnya yaitu 223.657 orang. Apalagi dibandingkan Juni yang sebesar 141.166 orang.
New normal ditandai dengan pembukaan kembali aktivitas publik alias reopening. Namun lonjakan kasus corona membuat reopening berubah menjadi reclosing.
Ya, berbagai negara kembali memperketat social distancing meski dalam 'dosis' yang tidak sebesar sebelumnya. Di AS, sejumlah negara bagian kembali menutup melarang restoran melayani pembeli di lokasi, menutup pusat kebugaran, dan menunda pembukaan taman hiburan.
Sementara pemerintah Filipina lagi-lagi memberlakukan karantina wilayah (lockdown) di wilayah metropolitan Manila. Di Malaysia, pemerintah memperpanjang pemberlakuan Movement Control Order (MCO) hingga 31 Desember.
Hasilnya, warga dunia kembali berjarak. Ini terlihat dari peningkatan skor Social Distancing Index keluaran Citi. Semakin angkanya jauh dari nol, artinya masyarakat kian berjarak alias patuh social distancing.
Per 21 Agustus, rata-rata angka Social Distancing Index di 34 negara adalah -18,2 sementara posisi akhir Juli adalah 18,12. Artinya, warga semakin berjarak.
Kepatuhan menjaga jarak adalah salah satu kunci untuk meredam penyebaran virus corona. Namun ini sama saja dengan menahan laju roda perekonomian. Saat orang-orang memilih (atau diperintahkan) untuk #dirumahaja, maka dua sisi ekonomi yaitu produksi dan permintaan terpukul sekaligus.
Oleh karena itu, sepertinya tekanan ekonomi belum akan reda sepanjang virus corona masih ada. Resesi menjadi sebuah keniscayaan, dan rasanya bakal lumayan panjang.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah aura resesi juga terlihat?
Sejauh ini Indonesia memang belum resesi. Pada kuartal II-2020 output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) Tanah Air terkontraksi 5,32% YoY. Namun karena kuartal sebelumnya PDB masih tumbuh 2,97% maka Indonesia belum sah masuk zona resesi.
Nah, penentuannya ada pada kuartal III-2020. Kalau kontraksi kembali terulang, maka Indonesia sudah secara sah dan meyakinkan masuk jurang resesi.
Tidak sedikit negara yang sudah mengalami resesi. Setidaknya ada lebih dari 40 negara yang membukukan kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun, definisi inti dari resesi.
Memang amit-amit kalau Indonesia juga ikut resesi, tetapi peluang untuk menuju ke sana tidak bisa dibilang kecil. Sebab, rumah tangga dan dunia usaha Ibu Pertiwi masih dalam mode defensif.
Andai resesi adalah sebuah keniscayaan, ya biarlah begitu. It is what it is, memang jalannya sudah seperti itu. Sekarang yang penting adalah seberapa lama dan seberapa dalam resesi itu? Sebab kalau resesi berlangsung lama dan dalam, itu namanya sudah depresi. Krisis ekonomi...
Kalau mengacu ke proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF), PDB Indonesia diramal mengalami kontraksi 0,3% pada 2020. Indonesia mungkin resesi, tetapi tidak terlalu parah.
Kontraksi ekonomi Indonesia bahkan adalah yang terendah dari 12 negara Asia yang dipantau oleh IMF. Walau ekonomi Indonesia minus 0,3%, tetapi mampu menjadi yang terbaik kedua di Asia, hanya kalah dari China yang diperkirakan mampu mencatat pertumbuhan ekonomi 1% tahun ini.
Ramalan dari Bank Dunia malah lebih optimistis. Lembaga tempat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah berkarier ini memperkirakan PDB Indonesia stagnan tahun ini alias 0%. Tidak tumbuh, tetapi setidaknya tidak negatif.
Bank Dunia membikin proyeksi pertumbuhan ekonomi di 31 negara Asia. Indonesia menempati urutan ke-9. Not bad lah...
Oke, dari sini bisa dilihat bahwa meski Indonesia mungkin resesi tetapi sepertinya tidak terlalu dalam. Ibarat kena banjir, sampai mengenai mata kaki pun tidak.
Lalu seberapa lama resesi itu terjadi. Kabar baiknya, mungkin tidak terlalu lama. IMF memperkirakan ekonomi Indonesia bisa tumbuh 6,1% pada 2021 sementara proyeksi Bank Dunia ada di 4,8%. Tidak butuh waktu lama buat Indonesia untuk bisa bangkit.
Kesimpulannya, Indonesia mungkin agak sulit untuk menghindari resesi. Namun kalau pun itu terjadi, sepertinya tidak akan dalam dan lama. Jadi yang namanya depresi atau krisis ekonomi sepertinya masih jauh. Semoga...
TIM RISET CNBC INDONESIA