Jakarta, CNBC Indonesia - Satu demi satu negara mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020. Namun bukan tumbuh, yang ada semakin banyak yang mengkerut.
Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat pemerintah di hampir seluruh negara menerapkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Demi menekan risiko penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini, sebisa mungkin manusia berjarak satu dengan lainnya.
Atas nama social distancing, berbagai aktivitas dan tempat yang dapat memunculkan kerumunan manusia ditutup sementara. Kantor, pabrik, sekolah, restoran, pusat perbelanjaan, tempat pariwisata, rumah ibadah, dan sebagainya tidak diizinkan untuk menampung manusia dalam jumlah seperti hari-hari biasa. Bahkan pintu masuk negara pun belum dibuka sepenuhnya, untuk menghindari risiko imported case.
Social distancing mungkin efektif untuk menekan jumlah pasien dan korban jiwa. Namun biaya yang harus dibayar sama sekali tidak murah. Roda ekonomi bergerak sangat perlahan, bahkan mungkin berhenti sama sekali.
Puncak social distancing di banyak negara terjadi pada kuartal II-2020. Kala itu, miliaran penduduk dunia terpaksa #dirumahaja. Bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.
Hasilnya jelas, output ekonomi yang dicerminkan oleh Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami pertumbuhan negatif alias kontraksi. Ukuran ekonomi menyusut.
Apabila kontraksi terjadi dalam dua kuartal beruntun, maka itu namanya resesi. Semakin banyak negara yang mengalaminya. Berdasarkan rangkuman Trading Economics, sudah ada 42 negara yang mengidap resesi.
Resesi paling parah dialami oleh Makau. Seperti Hong Kong, Makau adalah wilayah otonom yang merupakan bagian dari China. Kalau Hong Kong dulu adalah koloni Inggris, maka Makau adalah koloni Portugal.
Pada kuartal IV-2019, PDB Makau sudah terkontraksi 48,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Kuartal berikutnya, kontraksi lebih parah menjadi 67,8% YoY.
Makau dikenal sebagai Las Vegas Asia. Kasino (bukan personel Warkop DKI tetapi rumah judi) adalah kontributor terbesar bagi perekonomian.
Tahun lalu, judi dan taruhan (gaming) menyumbang MOP 293,31 miliar. Total PDB Makau adalah MOP 434,7 miliar, artinya kontribusi kegiatan toh-tohan adalah 67,47%. Wow...
Pandemi virus corona memaksa Makau untuk menutup diri. Pada Februari, pemerintah Makau menutup kasino selama dua pekan.
Namun ketika kasino sudah boleh beroperasi, pengunjung yang datang masih saja sepi. Makau bak kota mati.
"Tanpa pengunjung, tidak banyak harapan terhadap kebangkitan bisnis ini," keluh Rob Goldstein, Presiden Las Vegas Sands, perusahaan properti (termasuk kasino) di Makau, seperti dikutip dari Channel News Asia.
Resesi parah juga dialami oleh Peru. Pada kuartal II-2020, PDB negara Amerika Latin ini terkontraksi 30,2% YoY.
Bukan apa-apa, Peru adalah salah salah satu negara yang paling ketat menjalankan pembatasan sosial. Buktinya ada di Social Distancing Index keluaran Citi.
Skor Social Distancing Index yang semakin jauh dari nol menandakan masyarakat semakin berjarak. Nah, Peru seringkali menjadi negara dengan angka minus yang paling dalam.
Peru menjadi negara Amerika Latin pertama yang menerapkan karantina wilayah (lockdown) yaitu pada 16 Maret. Bahkan lebih awal ketimbang Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Peru baru melonggarkan lockdown pada Juni, membuatnya menjadi negara paling yang paling lama 'mengunci' aktivitas publik.
Oleh karena itu, tidak heran ekonomi Peru ambles. Bagaimana mau tumbuh kalau masyarakat tidak bisa beraktivitas selama berbulan-bulan?
Meski sudah lumayan ketat menjalankan social distancing, tetapi kasus corona di Peru malah semakin meningkat. Per 28 Agustus 2020, jumlah pasien positif corona di sana mencapai 613.378 orang. Peru adalah negara dengan kasus corona terbanyak kedua di Amerika Selatan, hanya lebih sedikit dari Brasil.
Mengutip BBC, setidaknya ada empat alasan mengapa kasus corona di Peru sulit ditekan. Pertama, lebih dari 40% rumah tangga di Peru tidak punya kulkas. Akibatnya, masyarakat harus terus pergi ke luar rumah untuk membeli sembako karena tidak punya tempat penyimpanan yang bisa membuat bahan makanan awet berhari-hari. Ini tentu meningkatka risiko penyebaran virus corona.
Kedua, sekitar 70% pekerja di Peru bekerja di sektor informal. Keamanan dan keselamatan kerja menjadi kurang diperhatikan, termasuk dalam hal menjaga jarak.
Ketiga, hanya sekira 38% dari orang dewasa di Peru yang memiliki rekening perbankan. Akibatnya, bantuan dari pemerintah harus diserahkan secara langsung. Lagi-lagi membuat penyebaran virus lebih mudah terjadi.
"Menjadi masalah besar ketika kami harus mendatangi masyarakat untuk mengantarkan bantuan. Akan jauh lebih mudah apabila semua orang punya rekening bank," kata Martin Vizcarra, Presiden Peru.
Keempat adalah hampir 12% rumah tangga miskin tinggal di wilayah padat penduduk. Dalam lingkungan seperti ini, social distancing amat sulit ditegakkan sehingga virus lebih gampang menyebar.
TIM RISET CNBC INDONESIA