Abenomics: Dibangun 8 Tahun, Roboh dalam 'Semalam'

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 August 2020 12:21
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. (AP/Franck Robichon)
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe (AP/Franck Robichon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Shinzo Abe akhirnya menyerah. Laki-laki kelahiran Tokyo 65 tahun lalu ini mundur dari posisi Perdana Menteri Jepang, jabatan yang diembannya sejak 2012.

Faktor kesehatan menjadi alasan utama Abe memutuskan untuk lengser keprabon. Penyakit radang usus (ultracerative colitis) yang diderita sejak remaja membuat Abe merasa tidak mampu lagi bekerja dalam intensitas tinggi.

Keputusan Abe untuk mundur mendapat respons dari para pemimpin dunia. Presiden AS Donald Trump menyatakan dirinya memiliki hubungan yang baik dengan Abe. Trump menyebut rasa cinta kepada negara menjadi alasan Abe mengundurkan diri.

"Saya sedih karena tentu (penyakitnya) begitu parah sehingga beliau terpaksa mundur. Abe sangat mencintai negaranya dan melihat beliau pergi, saya tidak bisa membayangkan," kata Trump, seperti dikutip dari Japan Times.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun ikut memberikan semangat. Jokowi menilai Abe memiliki peran penting dalam hubungan Indonesia-Jepang.

"PM Abe adalah salah satu pemimpin pertama yang saya temui saat menjabat sebagai presiden pada 2014. Di bawah kepemimpinan beliau, kita melihat hubungan Indonesia-Jepang yang lebh kuat. Terima kasih, Bapak PM. Selalu mendoakan kesehatan Anda," cuit Jokowi di Twitter.

Abe menjadi Perdana Menteri Jepang selama 2.883 hari. Ini membuatnya menjadi perdana menteri terlama dalam sejarah Jepang, mematahkan rekor Katsura Taro.

Nyaris delapan tahun memimpin Jepang menandakan kepercayaan rakyat. Indeks efektivitas pemerintah (Government Effectiveness Index) pada periode 2012-2018 rata-rata adalah 1,68. Lebih tinggi dibandingkan rata-rata enam tahun sebelumnya yaitu 1,49.

Di bidang ekonomi, Abe dikenal dengan jargon Abenomics. Ada tiga pilar (atau sering disebut panah) utama dalam konsep ini yaitu kebijakan moneter yang agresif, kebijakan fiskal yang fleksibel, dan reformasi struktural.

Dalam hal pertumbuhan ekonomi, hasil yang diraih Abe bukan kaleng-kaleng. Pada 2012, nilai output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Matahari Terbit adalah JPY 494,96 triliun. Tahun lalu, nilai PDB sudah berada di JPY 553,76 triliun.

Kemudian tingkat pengangguran juga bisa ditekan dari 4,3% pada 2012 menjadi 2,4% pada 2019. Ini adalah yang terendah sejak 1992.

Sedangkan laba perusahaan sebelum pajak pada 2012 adalah JPY 39,7 triliun. Pada 2018, angkanya sudah menjadi JPY 81,8 triliun.

Laba perusahaan yang meningkat otomatis berdampak ke penerimaan pajak. pada 2012, penerimaan pajak adalah JPY 43,9 triliun dan pada 2019 adalah JPY 60,2 triliun.

Jepang dikenal sebagai negara yang punya utang setinggi Gunung Fuji. Pada 2019, rasio utang pemerintah terhadap PDB mencapai 200,59%.

Namun, rasio utang pemerintah terhadap PDB pada era Abe relatif stabil, tidak menunjukkan tren kenaikan. Ini karena penerimaan pajak yang semakin membaik sehingga ketergantungan terhadap pembiayaan anggaran dari penerbitan surat utang terus berkurang.

utangjapan.go.jp

Butuh bertahun-tahun bagi Abe dan para personel di pemerintahannya untuk mencapai berbagai prestasi tersebut. Namun pencapaian itu kini seakan lenyap, hilang dalam waktu 'semalam'.

Penyebabnya apa lagi kalau bukan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Seperti di negara-negara lain, wabah virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini coba diredam dengan pembatasan sosial (social distancing).

Pada pertengahan Mei, pemerintahan Abe memberlakukan kondisi darurat nasional. Melalui kebijakan ini, pemerintah meminta masyarakat sebisa mungkin untuk #dirumahaja. Bukan apa-apa, penularan virus memang menjadi jauh lebih mudah saat terjadi peningkatan intensitas kontak dan interaksi antar manusia.

Pembatasan sosial membuat dua sisi ekonomi, produksi dan permintaan, anjlok bersamaan. Kasus corona boleh terkendali, tetapi harus dibayar dengan harga yang sangat mahal yaitu penyusutan ekonomi.

Pada kuartal II-2020, ekonomi Jepang terkontraksi -7,82% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Jauh lebih dalam ketimbang kontraksi pada kuartal sebelumnya yaitu -0,62% YoY sekaligus menjadi yang terparah sejak 1979.

Sedangkan secara kuartalan yang disetahunkan (annualized), ekonomi Jepang menyusut -27,8%. Ini menjadi kontraksi paling dalam sepanjang sejarah modern Jepang.

Ekonomi Negeri Sakura sudah berada di teritori negatif sejak kuartal IV-2019. Jadi Jepang bukan hanya resesi, tetapi terisap lebih dalam di lumpur resesi.

Angka pengangguran pun melonjak. Pada Mei 2020, tingkat pengangguran berada di 2,9%, tertinggi sejak Mei 2017.

Demi menyelamatkan rakyat dan ekonomi, pemerintah Jepang menggelontorkan stimulus fiskal dalam jumlah besar yaitu mencapai lebih dari 20% terhadap PDB. Saat penerimaan pajak lesu, tambahan belanja negara harus didanai dari utang.

Ini menyebabkan rasio utang pemerintah Jepang terhadap PDB melonjak. Per Juni 2020, angkanya mencapai 214,35%, tertinggi dalam sejarah modern Jepang.

Pagebluk virus corona membuat apa yang dibangun oleh Abe selama bertahun-tahun lenyap begitu saja. Lebih menyedihkan lagi, pasti bakal butuh waktu lama bagi Jepang untuk mencapai apa yang sudah ditorehkan Abe.

"Pandemi sepertinya akan membuat ekonomi Jepang terkontraksi lebih dalam. Dengan warisan Abenomics yang sekarang sudah hilang, tidak ada tingkat sihir yang bisa membenahi derita Jepang," kata Yoshiki Shinke, Kepala Ekonom Dai-Ichi Research Institute, seperti dikutip dari Reuters.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular