Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) benar-benar memukul mundur laju perekonomian. Saat ekonomi lesu, setoran pajak pun ikut begitu.
Pajak dibayarkan kala terjadi aktivitas ekonomi. Pajak Penghasilan (PPh) disetor saat Wajib Pajak membukukan pendapatan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang 10% itu ada saat terjadi transaksi.
Namun wabah virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu membuat aktivitas masyarakat terbatas (atau dibatasi). Untuk meredam penyebaran virus corona, pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Awalnya, sekolah diliburkan, perkantoran non-esensial ditutup, perbatasan wilayah terlarang bagi warga asing, restoran tidak boleh melayani pengunjung yang makan-minum di lokasi, pusat perbelanjaan dilarang beroperasi, tempat wisata tutup, dan sebagainya.
Mulai Juni, pemerintah sedikit mengendurkan kadar PSBB. Namun belum bisa kembali normal 100%, karena belum boleh ada kerumunan manusia yang meningkatkan risiko penularan virus corona. Di Jakarta, misalnya, perkantoran, pusat perbelanjaan, restoran, dan tempat wisata sudah boleh menerima pengunjung tetapi dibatasi maksimal 50%.
"Daya beli masyarakat sudah mentok lagi karena terkendala. Misalnya restoran hanya buka 50%, tempat wisata, okupansi hotel juga belum bisa tinggi," ungkap Presiden Joko Widodo.
Oleh karena itu, wajar jika penerimaan pajak seret. "Informasi ke Bapak-Ibu semua, penerimaan pajak di bulan Juli mulai stuck," tegas Kepala Negara.
Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, mengungkapkan bahwa penerimaan pajak per akhir Juli 2020 tercatat Rp 711 triliun. Dia mengakui bahwa penerimaan perpajakan sedang mengalami tekanan yang luar biasa keras.
"Terutama PPh Pasal 21, untuk PPN juga kontraksinya sampai 12%, karena kita lihat pergerakan nilai tambah dengan adanya Covid-19 mengalami pelemahan. Secara umum untuk penerimaan pajak terjadi kontraksi (pertumbuhan negatif) 14%," katanya.
Padahal pajak adalah tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk 2020, target penerimaan negara adalah Rp 1.699,9 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 1.404,5 triliun (82,62%) datang dari perpajakan.
Saat penerimaan seret, kebutuhan belanja naik karena penanganan dampak pagebluk virus corona, baik di aspek kesehatan maupun sosial-ekonomi. Total belanja negara tahun ini direncanakan Rp 2.739,2 triliun, naik 11,29% dibandingkan 2019.
Lonjakan belanja terjadi saat penerimaan negara lesu karena perlambatan aktivitas ekonomi. Target penerimaan 2020 mengalami penurunan 21,49%.
So, dari mana datangnya duit untuk membayari belanja yang membengkak lebih dari 11% tadi? Mau tidak mau, suka tidak suka, ya dari utang...
"Posisi utang pemerintah per akhir Juni 2020 berada di angka Rp 5.264,07 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 32,67%. Secara nominal, posisi utang Pemerintah Pusat mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, hal ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional akibat Covid-19," sebut dokumen APBN Kita edisi Juli 2020.
Sampai dengan pertengahan 2020, pemerintah telah menerbitkan berbagai jenis obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) Rp 630,5 triliun. Sedangkan dari sisi pinjaman, Pemerintah telah melakukan penarikan Pinjaman Program senilai US$ 1,84 miliar dari Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), Agence Française de Développement (AFD), Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KfW), dan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA).
Pengorbanan demi mengatasi pandemi virus corona begitu besar. Sejak era reformasi, Indonesia dikenal dunia sebagai negara dengan disiplin fiskal yang mumpuni. Dalam UU Keuangan Negara, defisit anggaran dibatasi maksimal 3% PDB untuk menjaga kesinambungan fiskal.
Namun pandemi virus corona membuat pemerintah mau tidak mau harus melupakan sejenak aturan itu. Dalam UU No 2/2020, pemerintah menetapkan defisit anggaran boleh melebihi 3% PDB sampai 2023.
Perpres No 72/2020 menyebut defisit anggaran ditargetkan sebesar Rp 1.039,2 triliun atau 6,34% PDB. Tahun depan, defisit anggaran direncanakan sebesar 5,5% PDB.
Tidak hanya Indonesia, berbagai negara pun mengalami hal serupa. Di Amerika Serikat (AS), penerimaan pajak anjlok karena karantina wilayah (lockdown) yang menyebabkan penutupan berbagai bisnis dan membuat sekitar 30 orang kehilangan pekerjaan.
Akibatnya utang pemerintah terus naik hingga menyentuh rekor tertinggi US$ 26,52 triliun per akhir Juli 2020. Pembengkakan utang terjadi karena ada kebutuhan stimulus fiskal untuk mengatasi dampak pandemi virus corona.
Pada kuartal II-2020, pemerintahan Presiden Donald Trump menambah utang sebanyak US$ 3 triliun. Ini adalah rekor tertinggi penambahan utang secara kuartalan, hampir enam kali lipat dari rekor sebelumnya yang terjadi pada 2008.
Defisit anggaran Negeri Adidaya tahun ini diperkirakan mencapai US$ 3,7 triliun (18,4% PDB), melonjak dibandingkan 2019 yang sebesar US$ 1 triliun. Ini karena pemerintah menggelontorkan paket stimulus lebih dari US$ 2 triliun. Sebagai gambaran nilai PDB Indonesia adalah sekitar US$ 1 triliun, jadi stimulus fiskal di Negeri Paman Sam adalah dua kali lipat dari total perekonomian Tanah Air.
Sejumlah pihak menilai stimulus sebesar itu pun belum cukup untuk mengatasi dampak pandemi virus corona. Riset Bank of America menyebut AS membutuhkan setidaknya US$ 3 triliun stimulus fiskal dan bahkan lebih jika ternyata resesi lebih dalam dari perkiraan.
"Stimulus fiskal dan lonjakan defisit anggaran adalah sebuah kebutuhan untuk memerangi dampak kemerosotan ekonomi. Jangan sampai kita mengalami depresi kedua," tegas Steven Oh, Global Head of Credit and Fixed Income PineBridge, seperti dikutip dari CNN.
Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) juga menegaskan bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk mencemaskan utang. Sebab, yang paling penting adalah menyelamatkan rakyat dan perekonomian.
"Kekuatan fiskal sangat penting. Idealnya, Anda harus menghadapi tekanan seperti ini dengan postur fiskal yang kuat. Ini bukan saatnya untuk khawatir, karena yang terpenting adalah kita harus menang perang," kata Jerome 'Jay' Powell, Ketua The Fed, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Tidak hanya di Indonesia dan AS, hampir seluruh negara menghadapi situasi serupa. Kebutuhan stimulus fiskal membuat defisit anggaran dan utang membengkak.
Dalam catatan McKinsey, Jerman menjadi negara dengan porsi stimulus fiskal terbesar yaitu mencapai 33% PDB. Disusul oleh Jepang (21%), Prancis (14,6%), dan Inggris (14,5%). Stimulus fiskal yang diberikan oleh pemerintahan di berbagai negara sudah jauh melebihi krisis 2008.
 Foto: McKinsey stimulus |
"Kita mungkin membuat kesalahan karena banyak berutang saat ekonomi sedang kuat. Namun bukan berarti kita tidak boleh berutang saat krisis sedang terjadi," ujar Maya MacGuiness, Presiden Committee for a Responsible Federal Budget, lembaga independen yang berbasis di Wsshington, sebagaimana diwartakan CNN.
TIM RISET CNBC INDONESIA