
Mengenal Ngerinya Depresi Ekonomi, Apa Beda dari Resesi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) kabarnya tak hanya memicu terjadinya resesi global bahkan beberapa negara terancam jatuh lebih dalam hingga menyebabkan terjadinya depresi ekonomi. Hal tersebut diungkapkan oleh bos Bank Dunia David Malpass.
Sebenarnya dalam ekonomi tidak ada patokan yang pasti dalam pendefinisian resesi maupun depresi. Indikator resesi yang paling umum dipakai sampai saat ini adalah kontraksi PDB riil dua kuartal berturut-turut yang diajukan oleh ekonom Julius Shiskin pada 1974 silam.
National Bureaus of Economic Research (NBER) AS memiliki definisi lain yang lebih komprehensif dalam memandang resesi. Versi NBER resesi adalah penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh ekonomi, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran.
Depresi sendiri dilihat sebagai suatu bentuk kontraksi yang parah dari resesi. Penyusutan output yang terjadi biasanya lebih dalam dan kontraksinya berlangsung lama. Salah satu depresi ekonomi hebat yang tercatat dalam sejarah terjadi pada 1929 di AS.
Kala itu perekonomian Paman Sam mengalami fenomena yang dikenal dengan 'the great depression'. Berdasarkan catatan Federal Reserves Bank of San Fransisco (FRBSF), dengan menggunakan definisi NBER, depresi di AS mulai terjadi pada Agustus 1929.
Depresi besar tersebut berlangsung sangat lama hingga 43 bulan sampai tahun 1933. Lebih lama dari kontraksi yang pernah tercatat di abad kedua puluh ini. Salah satu indikator resesi adalah angka pengangguran yang meroket.
Indikator ini sering dijadikan sebagai anekdot oleh para ekonom untuk membedakan antara resesi dan depresi. Dalam serial edukasi situs resmi FRBSF, 'resesi terjadi ketika tetanggamu kehilangan pekerjaan, tetapi apabila yang kehilangan pekerjaan adalah kita, maka itulah depresi'.
Outlook perekonomian global memang benar-benar gloomy di tahun ini. Dua lembaga keuangan yang bermarkas di Washington DC yakni Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan output perekonomian global bisa terkontraksi 4,9% - 5,2% dibanding tahun 2019.
Lockdown yang masif di berbagai belahan dunia pada akhirnya membuat miliaran penduduk bumi terkurung di dalam rumahnya terutama pada periode Maret-Mei lalu. Fenomena yang dinamai the great lockdown oleh IMF ini menyebabkan pukulan ganda bagi ekonomi global.
Disrupsi rantai pasok dan anjloknya permintaan adalah konsekuensi yang tak bisa dihindari. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan volume perdagangan bisa terkontraksi dobel digit tahun ini.
Dalam skenario yang masih optimis volume perdagangan diramal turun 13%, sementara dengan skenario yang lebih pesimis volume perdagangan bisa anjlok hingga 32% tahun ini.
"Ini lebih buruk daripada krisis keuangan tahun 2008 dan untuk Amerika Latin lebih buruk daripada krisis utang tahun 1980-an," kata Malpass.
"Masalah langsungnya adalah salah satunya kemiskinan. Ada orang di ambang jurang. Kami telah membuat kemajuan dalam 20 tahun terakhir. Seluruh populasi telah keluar dari kemiskinan ekstrim. Risiko krisis ekonomi adalah bahwa orang-orang jatuh kembali ke dalam kemiskinan ekstrim."
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan bakal ada ratusan juta pengangguran akibat merebaknya pandemi Covid-19, banyak usia produktif yang harus kehilangan pekerjaannya. Sebagai konsekuensi kemiskinan pun merajalela. Angka kemiskinan global tahun ini bahkan diramal kembali menyentuh sembilan digit.
Jadi kalau ekonomi global masih jadi bulan-bulanan Covid-19 bukan tak mungkin akan ada negara yang benar-benar jatuh ke jurang depresi.
(twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ancaman RI, Bukan Hanya Resesi Ekonomi Tapi Bisa Depresi?