
Bukan Ngadi-ngadi, Peluang RI Kena Resesi Memang Tinggi...

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kabar baik seputar vaksin anti-virus corona. Sentimen ini terbukti berhasil mendongkrak bursa saham Eropa, dan semoga optimisme tersebut menjalar hingga ke Asia, termasuk Indonesia.
Kalau PMI Morrison mengatakan Australia butuh harapan, Indonesia juga sangat memerlukannya. Per 7 September, jumlah pasien positif corona di Tanah Air tercatat 196.989 orang. Bertambah 2.880 orang (1,48%) dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (25 Agustus-7 September), rata-rata tambahan pasien baru mencapai 2.969,79 orang per hari. Jauh lebih tinggi dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 2023,5 orang.
Sementara laju penambahan kasus dalam 14 hari terakhir adalah 1,71% per hari. Lebih tinggi dibandingkan 14 hari sebelumnya yakni 1,45%.
Tingkat kasus positif (positivity rate) di Indonesia juga cukup tinggi. Dengan jumlah pengujian terhadap 2.452.164 spesimen, ditemukan kasus positif 196.989. Artinya positivity rate Indonesia adalah 8,03%.
Di level Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi kedua, hanya lebih sedikit dari Filipina. Negara bahkan negara-negara di kawasan Indochina memiliki positivity rate kurang dari 1%.
Oleh karena itu, Indonesia memang sudah layak disebut darurat corona. Indonesia butuh solusi, Indonesia butuh harapan, Indonesia butuh penyelamatan. Datangnya vaksin anti-virus corona diharapkan mampu menjadi juru selamat.
Sentimen kedua, pelaku pasar patut mewaspada kebangkitan dolar AS. Pada pukul 00:44 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,35%.
Harap maklum, mata uang Negeri Adikuasa memang punya kans untuk mencatatkan technical rebound. Bukan apa-apa, Dollar Index sudah anjlok 3,7% dalam tiga bulan terakhir. Sejak akhir tahun lalu, indeks ini masih terkoreksi 3,47%.
Jika penguatan dolar AS terus bertahan, maka rupiah wajib mawas diri. Apalagi kemarin dolar AS begitu teraniaya di Asia, sehingga akan tiba saatnya untuk membalas dendam.
Namun ke depan, prospek dolar AS masih suram. Sebab bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) kemungkinan masih akan mempertahankan kebijakan moneter ultra-longgar demi mendukung pemulihan ekonomi.
"Kita masih membutuhkan suku bunga rendah, yang mendukung aktivitas perekonomian, sampai beberapa waktu ke depan. Mungkin dalam hitungan tahun," ungkap Jerome 'Jay' Powell, Ketua The Fed, akhir pekan lalu.
Suku bunga rendah akan membuat berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (utamanya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) akan ikut turun. Dolar AS jadi tidak seksi lagi, dan ini membuka peluang penguatan mata uang lain, tidak terkecuali rupiah.
