Penyelamatan Jiwasraya
Dari APBN hingga Holding Asuransi, Jiwasraya Masih Boncos!
tahir saleh, CNBC Indonesia
18 December 2019 15:54

Jakarta, CNBC Indonesia- Persoalan gagal bayar polis produk asuransi JS Saving Plan milik nasabah PT Asuransi Jiwasraya (Persero) senilai Rp 12,4 triliun terus mengemukadan mendapat sorotan publik. Polis ini sedianya jatuh tempo mulai Oktober-Desember 2019 tapi manajemen mengungkapkan belum bisa melakukan pembayaran.
Berdasarkan dokumen Periode Penyehatan Jiwasraya, yang diperoleh CNBC Indonesia, disebutkan periode penyehatan Jiwasraya ini terbagi dalam lima periode yakni Periode I 2006-2008, Periode II 2009-2010, Periode III 2011-2012, Periode IV 2013-2017, dan Periode V 2018-sekarang.
Dalam setiap periode tersebut, opsi penyelamatan Jiwasraya pun beragam, dari periode masih di bawah regulator Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) Kementerian Keuangan, hingga peralihan menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2011.
Pada Periode I, terungkap defisit pertama kali terjadi per 31 Desember 2006 adalah sebesar Rp 3,29 triliun.
"Isu utama perusahaan adalah adanya defisit yang disebabkan jumlah aset perusahaan yang jauh lebih rendah dari kewajibannya. Pada 2006, diketahui defisit perusahaan menembus Rp 3,29 triliun," tulis dokumen tersebut, dikutip Rabu (18/12/2019).
Adapun defisit Jiwasraya ini semakin membengkak setiap tahun. Pada 2008, dua tahun kemudian, defisit secara internal dihitung mencapai Rp 5,7 triliun, ini di bawah angka yang diberikan aktuaris independen yang memperkirakan defisit pada 2008 mencapai Rp 8-10 triliun.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lalu melakukan audit kepada Jiwasraya untuk laporan keuangan 2006 dan 2007, dengan pendapat Disclaimer. Hal ini karena akuntansi Jiwasraya tidak dapat diandalkan untuk mendukung kewajiban manfaat polis (cadangan). Artinya penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya.
Defiist perusahaan utamanya disebabkan penjualan produk-produk yang merugikan perusahaan. Regulator saat itu memberikan rekomendasi untuk menangani defisit, di antaranya dengan melakukan evaluasi dan penghentian produk yang merugikan (negative spread) dan mengurangi produk yang memberikan garansi tinggi.
Berdasarkan dokumen Periode Penyehatan Jiwasraya, yang diperoleh CNBC Indonesia, disebutkan periode penyehatan Jiwasraya ini terbagi dalam lima periode yakni Periode I 2006-2008, Periode II 2009-2010, Periode III 2011-2012, Periode IV 2013-2017, dan Periode V 2018-sekarang.
Dalam setiap periode tersebut, opsi penyelamatan Jiwasraya pun beragam, dari periode masih di bawah regulator Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) Kementerian Keuangan, hingga peralihan menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2011.
Pada Periode I, terungkap defisit pertama kali terjadi per 31 Desember 2006 adalah sebesar Rp 3,29 triliun.
"Isu utama perusahaan adalah adanya defisit yang disebabkan jumlah aset perusahaan yang jauh lebih rendah dari kewajibannya. Pada 2006, diketahui defisit perusahaan menembus Rp 3,29 triliun," tulis dokumen tersebut, dikutip Rabu (18/12/2019).
Adapun defisit Jiwasraya ini semakin membengkak setiap tahun. Pada 2008, dua tahun kemudian, defisit secara internal dihitung mencapai Rp 5,7 triliun, ini di bawah angka yang diberikan aktuaris independen yang memperkirakan defisit pada 2008 mencapai Rp 8-10 triliun.
Defiist perusahaan utamanya disebabkan penjualan produk-produk yang merugikan perusahaan. Regulator saat itu memberikan rekomendasi untuk menangani defisit, di antaranya dengan melakukan evaluasi dan penghentian produk yang merugikan (negative spread) dan mengurangi produk yang memberikan garansi tinggi.
Ketika itu, sebelum terbentuk OJK pada 2011, otoritas perasuransian ada di bawah kendali Bapepam-LK yang saat itu dipimpin oleh Ahmad Fuad Rahmany, periode 2006-2011, yang kemudian menjadi Dirjen Pajak periode 2011-2014.
Regulator juga meminta Jiwasraya untuk memperbaiki tata kelola internal dan melakukan upgrade terhadap sistem informasi IT.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular