Memasuki tahun 2019, tentu ada harapan baru buat IHSG. Malahan, beberapa hal berpotensi membawa IHSG membukukan imbal hasil positif sepanjang 2019. Berikut beberapa hal yang dimaksud.
Berkaca kepada sejarah, IHSG tak pernah melemah sepanjang 2 tahun berturut-turut, setidaknya dalam 15 tahun terakhir (2004-2018). Kali terakhir IHSG membukukan pelemahan secara tahunan adalah pada tahun 2015, yakni sebesar 12,13%. Pada tahun berikutnya (2016), IHSG melesat sebesar 15,32%, disusul oleh penguatan sebesar 19,99% setahun setelahnya (2017).
Jual bersih pada tahun 2018 merupakan yang terbesar dalam setidaknya 15 tahun. Selain itu, pasar saham Indonesia juga mengalami sesuatu yang sangat jarang atau mungkin belum pernah dialami sebelumnya: investor asing membukukan jual bersih selama 2 tahun berturut-turut.
Dengan melihat intensitas jual investor asing yang sudah sangat besar, sangat dimungkinkan mereka akan kembali masuk ke pasar saham tanah air pada tahun ini. Jika itu yang terjadi, kinerja IHSG tentu akan terbantu naik.
Pada tahun 2019, rupiah memiliki peluang untuk menguat. Salah satu sentimen positif bagi rupiah adalah keyakinan pelaku pasar bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS tidak akan mengerek suku bunga acuan pada tahun ini, terlepas dari proyeksi The Fed sendiri bahwa akan ada kenaikan suku bunga acuan sebanyak 2 kali (50 bps).
Berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 1 Januari 2019, probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% (tidak ada kenaikan suku bunga acuan) pada akhir tahun 2019 adalah sebesar 73,4%, lebih tinggi dibandingkan posisi 1 bulan lalu yang sebesar 25,4%.
Keraguan pelaku pasar muncul seiring dengan rilis data ekonomi di AS belakangan ini yang terus mengindikasikan adanya perlambatan ekonomi.
Dengan dampak pemotongan pajak individu dan korporasi yang masih segar terasa saja, pertumbuhan ekonomi AS tak mampu mencapai level 3% atau level yang merupakan target dari pemerintahan Donald Trump. Pelaku pasar melihat bahwa tingkat FFR di level 2,25-2,5% sudah merupakan level netral sehingga tak perlu normalisasi lanjutan.
Pada akhirnya, dolar AS bisa diterpa tekanan jual pada tahun ini dan jika rupiah berhasil memanfaatkan momentum yang ada nantinya, investor asing akan semakin tertarik untuk kembali masuk ke pasar saham tanah air.
Pada tahun 2004, IHSG melejit hingga 44,56%. Kala itu, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Muhammad Jusuf Kalla memenangkan pertarungan melawan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi.
Pada tahun 2009, IHSG meroket hingga 86,98%. Pada pertarungan tahun 2009, SBY berhasil mempertahankan posisi RI-1, namun dengan wakil yang berbeda. Ia didampingi oleh Boediono yang sebelumnya menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI). SBY-Boediono berhasil mengalahkan 2 pasangan calon yakni Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Beralih ke tahun 2014, mantan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo berhasil menempati tahta kepemimpinan tertinggi di Indonesia dengan menggandeng Jusuf Kalla sebagai wakilnya. Pada saat itu, IHSG melejit 22,29%.