
Internasional
Babak Belur di 2018, Bagaimana Kinerja Wall Street di 2019?
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
01 January 2019 11:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja pasar saham di Amerika Serikat (AS), Wall Street, terlihat akan berakhir dengan indah hingga 3 Oktober 2018 lalu. Namun tanpa disangka-sangka, semua berubah jelang penutupan tahun.
Pada saat itu, Dow Jones Industrial Average naik sekitar 8%, kenaikan yang cukup solid dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan tersebut ditopang dengan fundamentalnya kuat. Dimana ekonomi AS tumbuh pada tingkat yang lebih baik di atas 3%, laba perusahaan berada di kisaran level tertingginya dalam delapan tahun, dan Federal Reserve (The Fed) mampu mengendalikan kebijakan moneter dan suku bunga.
Setelah itu, kinerja Wall Street cenderung flat, dan muncul indikasi mengenai adanya hambatan untuk mencapai kenaikan kuat hingga akhir tahun. Nah, inilah yang kemudian yang menjadi kenyataan, dimana hingga akhir tahun kinerja Dow Jones Industrial Indeks tercatat turun 5,63%, S&P 500 Index turun 6,24% dan Nasdaq Index turun 3,88%.
Dalam komentar yang kelihatannya tidak masuk akal dalam wawancara PBS setelah pasar ditutup, Gubernur Fed Jerome Powell mengatakan suku bunga "jauh" dari tingkat yang dia anggap bukan sesuatu yang stimulatif atau restriktif, yang merupakan level "netral" untuk tidak menaikkan suku bunga dalam jangka menengah.
Komentar itu menjadi berita utama tetapi tampaknya tidak menyita banyak perhatian.
Indeks Dow turun sekitar 157 poin pada hari berikutnya, penurunan yang signifikan tetapi tidak terlalu menakutkan untuk rata-rata saham blue-chip yang berada di level 27.000.
Tapi kemudian di hari berikutnya Dow terus mencatatkan kejatuhan, lagi, dan lagi.
Hingga pada akhirnya Dow Jones secara singkat masuk ke pasar bearish dengan mencatatkan penurunan sebanyak 20%. Bahkan, ketakutan terburuk pasar muncul, yaitu bahwa Fed yang telah begitu murah hati dalam menopang pasar bullish dengan meluncurkan serangkaian likuiditas dan suku bunga rendah yang sekarang siap untuk mengubah arah pergerakan harga saham.
"Kami percaya Fed memicu kepanikan pasar pada tahun 2018," tulis Tom Lee, managing partner di Fundstrat Global Advisors, melansir CNBC International.
Beberapa minggu setelahnya, Wall Street dihadapkan pada kenyataan terburuk. Wall Street yang selama ini dianggap bursa kuat, sekarang rentan terhadap berbagai macam kekhawatiran. Keuntungan yang telah diterimanya begitu saja selama sembilan tahun terakhir berada dalam bahaya.
Ekonomi yang goyah, masa depan yang tidak pasti dengan suku bunga dan presiden yang tidak akan berhenti berbicara tentang pasar saham telah menimbulkan bahaya besar.
Jadi Kenyataan
Lee menyebut aksi jual yang terjadi sebagai "krisis paruh baya" untuk pasar dan bukan sebuah resesi. Pasar memiliki banyak hal untuk diatasi, untuk membuatnya benar.
Meski pernyataan Powell itu sendiri sudah cukup untuk memicu gelombang pasang kecil dalam penjualan, The Fed justru merilis sumber kekhawatiran lain yang sebelumnya diabaikan investor dan tidak dapat diatasi bahkan setelah Powell mencoba untuk menjauhkan suku bunga dari level netral.
Lalu perang dagang antara AS-China, yang selama ini disebut Wall Street hanya akan memberikan dampak kecil pada pasar keuangan global, justru muncul sebagai bahaya besar. Selanjutnya ada kekacauan Brexit dan masalah umum lainnya yang telah merasuki Washington sejak pemilihan Presiden Donald Trump, membuat perlambatan global semakin nyata.
Sementara itu, Trump tidak bisa membantu apapun.
Ketika Wall Street goyah, Trump justru semakin memperburuk hubungan Powell dan rekan-rekannya. Trump menghidupkan kembali kritik yang telah mencuat sejak awal tahun ini, dengan secara terang-terangan mempertanyakan apakah dia membuat pilihan yang tepat dalam mengganti mantan Ketua Fed Janet Yellen dengan Powell. Trump juga berulang kali mengatakan bahwa kenaikan suku bunga bank sentral adalah ancaman terbesar bagi ekonomi AS.
Pada 24 Desember, ia kembali menyalahkan keputusan Fed sebagai penyebab banyaknya aksi jual yang terjadi saat itu.
Strategi Trump mengaitkan kinerja pasar saham dengan ekonomi di bawah pengawasannya selalu menjadi risiko, dan dengan pasar yang semakin bearish, itu menjadi lebih berisiko.
Bahkan semakin dia berbicara tentang pasar, semakin buruk keadaannya, dan investor semakin khawatir kejatuhan ke posisi terendah akan terjadi.
Optimistis dan Harapan
Namun, masih ada alasan untuk optimis. Salah satu alasannya, ekonomi tetap kuat, meskipun ada konsensus Wall Street yang menyebut bahwa laju pertumbuhan akan melambat.
Tingkat pengangguran berada di level terendah dalam 50 tahun dan pertumbuhan pekerjaan terus berlanjut, meskipun ada kebijakan konvensional yang secara terus-menerus menyebut tidak ada lebih banyak ruang untuk berkembang, dan memburuknya kondisi tenaga kerja juga bisa terjadi.
Keuntungan perusahaan, setelah tumbuh di atas 20% untuk 2018, mungkin akan melambat juga, meskipun resesi pendapatan tampaknya hampir tidak mungkin terjadi seperti yang terjadi pada ekonomi konvensional. FactSet memperkirakan pendapatan akan tumbuh 8% sepanjang tahun 2019, yang meski merupakan penurunan yang substansial tetapi masih tumbuh. Sentimen konsumen dan bisnis sedikit lebih rendah tetapi masih jauh di atas norma historis.
Selain itu, tidak ada ahli strategi tunggal dari perusahaan Wall Street utama yang berpikir bahwa pasar akan ditutup lebih rendah pada 2019 daripada saat pembukaannya.
Masalah The Fed pun bisa menghilang dari pandangan. Harga saham berjangka saat ini mengantisipasi kenaikan suku bunga nol, dan bank sentral secara historis enggan mengejutkan pasar, meskipun pejabat Fed saat ini memproyeksikan akan ada dua kenaikan suku bunga sebelum 2019 berakhir.
"Dengan keputusan Fed terakhir tahun ini di belakang kami dan pasar telah mengalami kemunduran yang dramatis sejak itu, kami percaya bahwa melarang penampilan acara 'angsa hitam', atau goncangan besar, yang terburuk dari penurunan yang dialami oleh saham pada 2018 ada di belakang kita," kata John Stoltzfus, kepala strategi pasar di Oppenheimer, dalam sebuah catatan.
Stoltzfus menegaskan posisi Gedung Putih, seperti yang diungkapkan melalui Menteri Keuangan Steven Mnuchin, menyalahkan perdagangan terprogram dan "faktor teknis" dan bukannya "memburuknya fundamental ekonomi dan perusahaan" sebagai alasan terjadinya penjualan di kuartal keempat.
Dalam gambaran besar, Stoltzfus memproyeksikan S&P 500 menutup 2019 di 2.960. Berita baiknya adalah itu berarti melonjak 19% dari penutupan hari Jumat (28/12/2018). Berita buruknya adalah itu sedikit di bawah target akhir tahun 3.000 yang ia proyeksikan untuk indeks utama besar tersebut pada awal 2018.
"Kami percaya investor harus melihat ini sebagai kesempatan untuk mendapatkan eksposur ekuitas pada penilaian yang menarik untuk segmen pasar yang tampak oversold," katanya.
Memang, investor dapat sedikit lega karena kinerja di akhir tahun ini tercatat naik tipis di Wall Street, meskipun dalam kondisi volatile.
Keuntungan itu membuat rata-rata saham utama naik lebih dari 6% masing-masing setelah pada malam natal terkoreksi parah.
Namun, Stoltzfus, seperti banyak rekan Wall Street-nya, percaya bahwa pasar pada tahun 2019 akan mengalami lebih banyak kejatuhan dan volatilitas sebelum akhirnya rebound dan naik lebih tinggi.
(hps/hps) Next Article Bursa AS Anjlok, Menanti Rilis Laba Perusahaan Raksasa Tech
Pada saat itu, Dow Jones Industrial Average naik sekitar 8%, kenaikan yang cukup solid dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan tersebut ditopang dengan fundamentalnya kuat. Dimana ekonomi AS tumbuh pada tingkat yang lebih baik di atas 3%, laba perusahaan berada di kisaran level tertingginya dalam delapan tahun, dan Federal Reserve (The Fed) mampu mengendalikan kebijakan moneter dan suku bunga.
Setelah itu, kinerja Wall Street cenderung flat, dan muncul indikasi mengenai adanya hambatan untuk mencapai kenaikan kuat hingga akhir tahun. Nah, inilah yang kemudian yang menjadi kenyataan, dimana hingga akhir tahun kinerja Dow Jones Industrial Indeks tercatat turun 5,63%, S&P 500 Index turun 6,24% dan Nasdaq Index turun 3,88%.
Komentar itu menjadi berita utama tetapi tampaknya tidak menyita banyak perhatian.
Indeks Dow turun sekitar 157 poin pada hari berikutnya, penurunan yang signifikan tetapi tidak terlalu menakutkan untuk rata-rata saham blue-chip yang berada di level 27.000.
Tapi kemudian di hari berikutnya Dow terus mencatatkan kejatuhan, lagi, dan lagi.
Hingga pada akhirnya Dow Jones secara singkat masuk ke pasar bearish dengan mencatatkan penurunan sebanyak 20%. Bahkan, ketakutan terburuk pasar muncul, yaitu bahwa Fed yang telah begitu murah hati dalam menopang pasar bullish dengan meluncurkan serangkaian likuiditas dan suku bunga rendah yang sekarang siap untuk mengubah arah pergerakan harga saham.
"Kami percaya Fed memicu kepanikan pasar pada tahun 2018," tulis Tom Lee, managing partner di Fundstrat Global Advisors, melansir CNBC International.
Beberapa minggu setelahnya, Wall Street dihadapkan pada kenyataan terburuk. Wall Street yang selama ini dianggap bursa kuat, sekarang rentan terhadap berbagai macam kekhawatiran. Keuntungan yang telah diterimanya begitu saja selama sembilan tahun terakhir berada dalam bahaya.
Ekonomi yang goyah, masa depan yang tidak pasti dengan suku bunga dan presiden yang tidak akan berhenti berbicara tentang pasar saham telah menimbulkan bahaya besar.
Jadi Kenyataan
Lee menyebut aksi jual yang terjadi sebagai "krisis paruh baya" untuk pasar dan bukan sebuah resesi. Pasar memiliki banyak hal untuk diatasi, untuk membuatnya benar.
Meski pernyataan Powell itu sendiri sudah cukup untuk memicu gelombang pasang kecil dalam penjualan, The Fed justru merilis sumber kekhawatiran lain yang sebelumnya diabaikan investor dan tidak dapat diatasi bahkan setelah Powell mencoba untuk menjauhkan suku bunga dari level netral.
Lalu perang dagang antara AS-China, yang selama ini disebut Wall Street hanya akan memberikan dampak kecil pada pasar keuangan global, justru muncul sebagai bahaya besar. Selanjutnya ada kekacauan Brexit dan masalah umum lainnya yang telah merasuki Washington sejak pemilihan Presiden Donald Trump, membuat perlambatan global semakin nyata.
Sementara itu, Trump tidak bisa membantu apapun.
Ketika Wall Street goyah, Trump justru semakin memperburuk hubungan Powell dan rekan-rekannya. Trump menghidupkan kembali kritik yang telah mencuat sejak awal tahun ini, dengan secara terang-terangan mempertanyakan apakah dia membuat pilihan yang tepat dalam mengganti mantan Ketua Fed Janet Yellen dengan Powell. Trump juga berulang kali mengatakan bahwa kenaikan suku bunga bank sentral adalah ancaman terbesar bagi ekonomi AS.
Pada 24 Desember, ia kembali menyalahkan keputusan Fed sebagai penyebab banyaknya aksi jual yang terjadi saat itu.
Strategi Trump mengaitkan kinerja pasar saham dengan ekonomi di bawah pengawasannya selalu menjadi risiko, dan dengan pasar yang semakin bearish, itu menjadi lebih berisiko.
Bahkan semakin dia berbicara tentang pasar, semakin buruk keadaannya, dan investor semakin khawatir kejatuhan ke posisi terendah akan terjadi.
Optimistis dan Harapan
Namun, masih ada alasan untuk optimis. Salah satu alasannya, ekonomi tetap kuat, meskipun ada konsensus Wall Street yang menyebut bahwa laju pertumbuhan akan melambat.
Tingkat pengangguran berada di level terendah dalam 50 tahun dan pertumbuhan pekerjaan terus berlanjut, meskipun ada kebijakan konvensional yang secara terus-menerus menyebut tidak ada lebih banyak ruang untuk berkembang, dan memburuknya kondisi tenaga kerja juga bisa terjadi.
Keuntungan perusahaan, setelah tumbuh di atas 20% untuk 2018, mungkin akan melambat juga, meskipun resesi pendapatan tampaknya hampir tidak mungkin terjadi seperti yang terjadi pada ekonomi konvensional. FactSet memperkirakan pendapatan akan tumbuh 8% sepanjang tahun 2019, yang meski merupakan penurunan yang substansial tetapi masih tumbuh. Sentimen konsumen dan bisnis sedikit lebih rendah tetapi masih jauh di atas norma historis.
Selain itu, tidak ada ahli strategi tunggal dari perusahaan Wall Street utama yang berpikir bahwa pasar akan ditutup lebih rendah pada 2019 daripada saat pembukaannya.
Masalah The Fed pun bisa menghilang dari pandangan. Harga saham berjangka saat ini mengantisipasi kenaikan suku bunga nol, dan bank sentral secara historis enggan mengejutkan pasar, meskipun pejabat Fed saat ini memproyeksikan akan ada dua kenaikan suku bunga sebelum 2019 berakhir.
"Dengan keputusan Fed terakhir tahun ini di belakang kami dan pasar telah mengalami kemunduran yang dramatis sejak itu, kami percaya bahwa melarang penampilan acara 'angsa hitam', atau goncangan besar, yang terburuk dari penurunan yang dialami oleh saham pada 2018 ada di belakang kita," kata John Stoltzfus, kepala strategi pasar di Oppenheimer, dalam sebuah catatan.
Stoltzfus menegaskan posisi Gedung Putih, seperti yang diungkapkan melalui Menteri Keuangan Steven Mnuchin, menyalahkan perdagangan terprogram dan "faktor teknis" dan bukannya "memburuknya fundamental ekonomi dan perusahaan" sebagai alasan terjadinya penjualan di kuartal keempat.
Dalam gambaran besar, Stoltzfus memproyeksikan S&P 500 menutup 2019 di 2.960. Berita baiknya adalah itu berarti melonjak 19% dari penutupan hari Jumat (28/12/2018). Berita buruknya adalah itu sedikit di bawah target akhir tahun 3.000 yang ia proyeksikan untuk indeks utama besar tersebut pada awal 2018.
"Kami percaya investor harus melihat ini sebagai kesempatan untuk mendapatkan eksposur ekuitas pada penilaian yang menarik untuk segmen pasar yang tampak oversold," katanya.
Memang, investor dapat sedikit lega karena kinerja di akhir tahun ini tercatat naik tipis di Wall Street, meskipun dalam kondisi volatile.
Keuntungan itu membuat rata-rata saham utama naik lebih dari 6% masing-masing setelah pada malam natal terkoreksi parah.
Namun, Stoltzfus, seperti banyak rekan Wall Street-nya, percaya bahwa pasar pada tahun 2019 akan mengalami lebih banyak kejatuhan dan volatilitas sebelum akhirnya rebound dan naik lebih tinggi.
![]() |
(hps/hps) Next Article Bursa AS Anjlok, Menanti Rilis Laba Perusahaan Raksasa Tech
Most Popular