Prediksi Obligasi: Tak Cerah Tetapi Tidak Separah 2018

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
01 January 2019 17:50
Tahun ini The Fed tidak seagresif 2018 sehingga pasar obligasi bila lebih tenang.
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun baru, harapan baru pasti muncul. Begitu juga dengan harapan akan membaiknya kondisi di pasar obligasi setelah sepanjang 2018 mengalami koreksi yang cukup dalam. 

Setidaknya, kondisi pasar surat utang domestik tahun ini tidak akan separah tahun lalu, asalkan tidak ada faktor global yang sangat negatif menjadi-jadi tanpa bisa diprediksi. 

Berkaca pada data lampau Refinitiv, koreksi tahunan tersebut membuat harga obligasi terkoreksi dan mengangkat tingkat imbal hasil (yield) obligasi acuan 10 tahun naik hingga 167,5 basis poin (bps), tepatnya dari 6,3% menjadi 7,98%. 

Terkoreksinya harga surat utang negara (SUN) itu tercermin dari kenaikan tingkat imbal hasilnya (yield), dan sebaliknya karena pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder. 

Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka. 

SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum. 

Sepanjang tahun lalu, pasar obligasi juga mencatatkan volatilitas tinggi karena mencapai titik terendah dan tertinggi, di mana kedua posisi itu menjadi rekor setidaknya sejak 2016. 


Dalam menghadapi potensi kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) sepanjang 2019, pandangan pelaku pasar kompak memprediksi pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam tidak akan ekspansif sehingga kenaikan suku bunga tampaknya tak akan seagresif yang dibayangkan sebelumnya.
 

Ekonom PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih memprediksi kenaikan suku bunga AS dapat terjadi minimal sekali lagi tahun ini.  

"Memang tidak akan seagresif rencana awal bank sentral dulu (tiga kali), sehingga kemungkinan sekali, dan kalaupun dilakukan baru akan dieksekusi pada semester II-2019," ujarnya usai acara penutupan pasar saham 28 Desember. 

Selain itu, lanjutnya, di sisi domestik, pemerintah juga masih memiliki peluru positif jika dapat menggenjot nilai konsumsi publik pada kuartal I-2019 sehingga total pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,17%-5,24%. 

Faktor pendukung untuk mengangkat nilai konsumsi publik tersebut adalah alokasi dana bantuan sosial pemerintah dalam berbagai bentuk yang dapat mendorong belanja rumah tangga. 

Menurut dia, jika pemerintah dan pelaku pasar gagal mendongrak tingkat pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2019, maka bayang-bayang melambatnya pertumbuhan ekonomi negara maju dan global akan segera berdampak negatif dan terlanjur mempengaruhi kondisi domestik. 

Asa untuk 'menabung' pertumbuhan ekonomi di awal tahun, atau yang biasa disebut front loading, juga mirip dengan 'front loading' target Kemenkeu dalam menerbitan instrumen surat utang.  

Tahun ini, Kemenkeu memiliki target bersih (nett) Rp 383 triliun dan target kotor (gross) Rp 825 triliun dengan target penerbitan 50%-60% dari target itu pada semester I-2019, di mana Rp 15 triliun target di antaranya sudah akan tancap gas dalam lelang perdana SUN pada 3 Januari. 

Lana menambahkan ancaman melambatnya pertumbuhan ekonomi global akan sangat rentan terhadap kondisi domestik memasuki semester II-2019 karena risiko juga bertambah banyak.  

Karena risiko yang masih cukup besar dan belum terlihat jelas tersebut, dia memprediksi yield obligasi domestik Indonesia masih akan bergerak di rentang 7,8%-7,9% tahun ini, atau relatif sama dibanding tahun lalu, sepanjang tidak ada gejolak hebat minyak mentah yang dapat memicu inflasi global. 

Maximilianus Nico Demus, Head of Research PT Pilarmas Investindo Sekuritas, bahkan membuka peluang bank sentral AS sama sekali tidak menaikkan suku bunga acuannya. 

"The Fed hanya menaikkan suku bunga 2 kali atau bahkan tidak sama sekali," ujarnya.  

Untuk akhir drama perang dagang berujung damai, saat ini dia masih menilai masih mustahil akan rampung begitu cepatnya, dan lagi harus menunggu hasil pertemuan AS-China pada 7 Januari nanti yang akan menjadi tolok ukur investor global. 

Karena itu, prediksi yield SUN 10 tahun Nico pun tidak banyak bergerak dari posisi akhir 2018, yaitu 7,9%-8%. 

Ariawan, Head of Fixed Income Research PT BNI Sekuritas, memiliki proyeksi yang terlihat lebih optimisitis.  

Dalam risetnya, Ariawan dan tim memprediksi tahun ini akan positif sehingga dapat menggiring yield obligasi acuan 10 tahun dapat turun hingga 7,4% dari posisi 7,98% di akhir tahun lalu.  

Prediksi posisi yield tersebut dengan asumsi bahwa level yield seri acuan baru 10 tahun akan sama meskipun serinya akan diganti, dari tahun lalu FR0063 dan menjadi FR0078. 

Tidak seperti 2018 ketika pasar obligasi justru dikompori oleh sentimen negatif perang dagang dan makroekonomi, sebaliknya, faktor pendukung prediksi optimistis Ariawan dan tim BNI Sekuritas tahun ini adalah perang dagang AS-China yang akan semakin mesra seiring waktu. 

Selain itu, faktor makroekonomi domestik yang positif, terutama dari sisi defisit neraca berjalan (CAD) yang seiring waktu juga diprediksi membaik.  

Faktor CAD juga akan diperkuat oleh rencana pemerintah menaikkan bea impor terhadap beberapa komoditas, menunda beberapa infrastruktur yang tidak vital, dan memperkuat potensi pasar ekspor. 

Kedua faktor juga akan ditambah oleh pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (5,18%) ketika global melambat, terkendalinya inflasi, juga diprediksi akan memancing minat investor untuk masuk ke pasar obligasi domestik. 

Prediksi itu juga dengan dasar asumsi inflasi pada kisaran 4,1%, suku bunga acuan 7DRRR 6,5%, rupiah stabil di Rp 14.500 per dolar AS, dan US Treasury tenor 10 tahun tidak jauh-jauh dari 3,45%. 

Untuk itu, dia menyarankan investor surat utang pemerintah untuk masuk ke pasar terutama ke seri acuan seperti FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, seri acuan lama FR0065, dan FR0075 yang lebih likuid. 

Selain itu, Ariawan dan tim juga merekomendasi investor efek utang domestik untuk memperpanjangkan horizon investasinya, bahkan menyarankan bagi investornya yang memiliki horizon lebih pendek untuk masuk ke pasar obligasi korporasi terutama perbakan, pembiayaan, dan institusi keuangan bukan bank. 

Untuk pasar obligasi sendiri, dia memprediksi seiring dengan sentimen positif di pasar SUN, maka penerbitannya pun akan semakin semarak dengan kecenderungan kupon yang akan turun juga. 

Pasar obligasi korporasi selalu mengekor pasar SUN, mengingat pasar obligasi negara selalu menjadi acuan dasar penentuan kupon bagi penerbitan obligasi korporasi baru. 

Ariawan menambahkan minat calon emiten akan menerbitkan obligasi korporasi yang lebih besar dari tahun lalu, tepatnya pada kisaran Rp 143,9 triliun. 

Optimisme tersebut muncul karena pasar obligasi yang lebih kondusif dan perekonomian global yang sudah lebih jelas serta dapat menstimulasi calon emiten dalam menggoreng rencana penerbitan emisi surat utangnya.  

Prediksi angka tersebut juga dipengaruhi oleh mengantrinya penerbitan obligasi korporasi oleh perusahaan yang memanfaatkan mekanisme penawaran umum berkelanjutan (PUB/shelf registration) sekitar Rp 102,8 triliun, dari total antrian penerbitanPUB hingga 2 tahun ke depan senilai Rp 163,2 triliu

Shelf registration adalah fasilitas kelonggaran administratif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagi perusahaan yang sering dan rutin menerbitkan obligasi korporasi, sehingga memungkinkan proses pendaftarannya ditumpuk di awal hingga 2 tahun ke depan dan memangkas proses administrasinya.    

Di tengah optimisme pasar, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) terlihat lebih kontrarian, meskipun sama-sama memperkirakan kenaikan suku bunga Amerika Serikat hanya akan terjadi satu kali di tahun ini. 

"Kami memperkirakan kenaikan suku bunga The Fed di tahun depan (tahun ini) kemungkinan dua kali, bahkan bisa satu kali. Kami tidak dovish, tapi less hawkish," kata Fikri C. Permana, Ekonom Pefindo di Gedung Bursa Efek Indonesia (21/12/18). 

Pandangan tersebut didasari potensi langkah lanjutan The Fed setelah mengurungkan kenaikan suku bunga, yaitu lebih gencar melakukan stimulus ekonomi dengan menerbitkan surat utang. 

Aksi penerbitan tersebut tentunya akan berpotensi menaikkan yield obligasi AS (US Treasury) karena surat utang ini berpotensi membanjiri pasar dengan bertambahnya supply di pasar surat utang Amerika.  

Kenaikan yield US Treasury itulah yang dapat menyulut sentimen negatif di pasar obligasi dalam negeri dan mengerek naik yield SUN, karena biasanya investor obligasi memiliki karakteristik sama, atau bahkan pelaku pasarnya adalan pihak yang sama.  

Jika kondisi tersebut terjadi berarti pasar obligasi Indonesia berpotensi terkoreksi juga, begitu juga dengan pasar obligasi korporasi. 

Karena itu, lembaga pemeringkat lokal tersebut mengimplementasikan pandangan "less hawkish"-nya dengan memprediksi jumlah penerbitan surat utang korporasi masih stagnan.  

Potensi penerbitan surat utang korporasi 2019 diprediksi Rp 135,2 triliun sepanjang tahun, tak jauh berbeda dengan prediksi full year tahun lalu Rp 135 triliun.  

Tidak mengenakkan memang, atau bahkan tidak cukup positif.


Namun, tentu masih lebih baik daripada tahun ini, dan kita juga harus mewaspadai setiap langkah investasi ke depannya dengan penuh pertimbangan dan kalkulasi risiko sepanjang tahun ini.
 

Lalu, apapun pandangan Anda terhadap pasar obligasi tahun ini, semoga tetap berujung cuan bagi kita semua. 

Happy New Year, Happy New Cuan, and May the Cuan be with You! 

TIM RISET CNBC INDONESIA




(irv/roy) Next Article Lepas Liburan, Harga Obligasi Pemerintah Meroket

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular