Tembus Rp 50 T, Net Sell Asing 2018 Tertinggi Dalam 15 Tahun!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 December 2018 11:55
Tembus Rp 50 T, Net Sell Asing 2018 Tertinggi Dalam 15 Tahun!
Foto: Penutupan Perdagangan BEI Tahun 2018 oleh Presiden Joko Widodo di Main Hall BEI, Jakarta. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2018 terbukti menjadi tahun yang berat bagi pasar saham tanah air. Sepanjang tahun ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan pelemahan sebesar 2,54%. Terakhir kali IHSG membukukan imbal hasil negatif secara tahunan adalah pada tahun 2015, yakni sebesar 12,1%.

Tak sampai disitu, catatan negatif bagi IHSG juga datang dari aksi jual investor asing yang begitu besar. Sepanjang tahun ini, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 50,75 triliun di pasar saham tanah air, seperti dilansir dari laman resmi Bursa Efek Indonesia (BEI).

Tim Riset CNBC Indonesia mengumpulkan data aliran modal investor asing di pasar saham secara tahunan melalui IDX Fact Book yang dipublikasikan oleh BEI. Data yang berhasil dikumpulkan adalah pada periode 2004-2017.



Dari data tersebut terlihat bahwa jual bersih pada tahun ini merupakan yang terbesar dalam setidaknya 15 tahun. Selain itu, pasar saham Indonesia juga mengalami sesuatu yang sangat jarang atau mungkin belum pernah dialami sebelumnya: investor asing membukukan jual bersih selama dua tahun berturut-turut.

Aksi jual investor asing selama dua tahun berturut-turut tentu patut diwaspadai. Hal ini bisa menjadi pertanda bahwa mereka sudah tak lagi melirik Indonesia sebagai destinasi untuk berburu saham.
Lemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi salah satu alasan utama investor asing melakukan aksi jual di pasar saham dalam dua tahun terakhir. Sepanjang tahun 2017, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian dunia tumbuh 3,7%, lebih tinggi 50 bps dibandingkan capaian 2016 yang hanya sebesar 3,2%.

Masalahnya, kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4 bps saja (dari 5,03% menjadi 5,07%). Padahal, sebagai negara berkembang seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan momentum dari pesatnya laju ekonomi dunia.

Di sisi lain, pemerintah sangat agresif dalam mematok target pertumbuhan ekonomi. Dalam APBN 2017, target pertumbuhan dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai di situ, pemerintah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga, situasi Indonesia jelas terpojokkan. Thailand misalnya, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi ke level 3,9% pada tahun 2017, naik hingga 70 bps dari capaian tahun 2016 yang sebesar 3,2%. Kemudian, ekonomi Malaysia tumbuh sebesar 5,9% pada tahun 2017, meroket dibandingkan capaian tahun 2016 yang sebesar 4,22%.

Bergeser ke tahun 2018, IMF memproyeksikan perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,1%, turun dari proyeksi sebelumnya yang mencapai 5,3%. Jika hanya tumbuh 5,1% pada tahun ini, maka lagi-lagi pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan. Selain karena perekonomian yang terbilang lesu, pelemahan rupiah membuat investor asing kian mejauhi pasar saham Indonesia pada tahun ini. Sepanjang tahun ini, rupiah melemah hingga 7,3% melawan dolar AS di pasar spot. Bagi investor asing, pelemahan rupiah bisa membuat mereka menanggung kerugian kurs.

Rupiah melemah seiring dengan lebarnya defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD). Secara berturut-turut pada kuartal-I,II, dan III, CAD tercatat sebesar 2,17%, 3,02%, dan 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada kuartal-IV 2018, CAD diproyeksikan masih akan berada di atas level 3%. Hal ini diungkapkan langsung oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo. "Neraca pembayaran kuartal IV-2018 surplus sekitar US$ 4 miliar, meskipun CAD masih tinggi sekitar 3% dari PDB di triwulan IV," ungkap Perry, Jumat (28/12/2018).

Dengan demikian, tahun 2018 mungkin akan menjadi tahun pertama CAD menembus level 3% setelah terakhir kali terjadi pada tahun 2014 (3,09%).



Sebagai informasi, transaksi berjalan merupakan pos yang sangat penting bagi pelaku pasar modal, bahkan bisa dibilang lebih penting dari NPI. Pasalnya, pos transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa yang lebih mampu menopang nilai tukar rupiah dalam jangka panjang karena tidak mudah berubah seperti arus modal portofolio.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular