Internasional
Bisakah Krisis di Turki & Argentina Menular ke Asia?
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
10 September 2018 12:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis ekonomi di Turki dan Argentina telah memantik pembicaraan mengenai "penularan", di mana bahaya masalah keuangan di satu negara kemungkinan menjangkiti negara lain.
Turki telah dihadapkan pada krisis mata uang dan memburuknya hubungan dengan Amerika Serikat (AS).
Krisis yang membelit Argentina mendorong pemerintahannya untuk mengumumkan langkah-langkah penghematan dan meminta Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mempercepat pencairan pinjaman sebesar US$50 miliar.
Penurunan tajam dalam nilai mata uang lira Turki dan peso Argentina telah menyebabkan kekhawatiran bahwa berbagai mata uang lainnya, mulai dari Afrika Selatan hingga Rusia, akan ikut melemah.
Di Asia, rupee India dan rupiah Indonesia telah terpukul sehingga pembahasan mengenai risiko penularan terus bergulir.
Sederhananya, penularan adalah proses yang terpenuhi dengan sendirinya, di mana masalah ekonomi di satu negara mendorong investor untuk menjual aset di ekonomi dengan risiko yang sama.
Di dunia global, krisis di satu negara juga dapat dengan cepat menyebar ke negara lain melalui hubungan dagang atau pinjaman oleh bank.
Itulah mengapa penurunan di Turki atau Argentina menjadi masalah di luar negeri, meskipun ada dampak baiknya, yaitu membuat biaya liburan di sana menjadi lebih murah.
Bagaimana masalah ekonomi itu bisa menyebar?Perdagangan adalah cara yang jelas untuk menyebarkan masalah dari satu negara ke negara lain.
Ketika ekonomi mulai goyah, perusahaan cenderung memangkas produksi dan kemudian jumlah pekerja. Akibatnya, konsumen memiliki lebih sedikit uang untuk membeli berbagai barang, termasuk impor. Ini adalah berita buruk bagi bisnis global yang mengekspor banyak barang ke negara itu.
[Gambas:Video CNBC]
Jika krisis juga menyebabkan mata uang suatu negara melemah dan biaya impor naik, maka akan semakin memengaruhi permintaan.
Namun, Joseph Gagnon di Peterson Institute for International Economics yang berbasis di Washington, mengatakan Asia memiliki "hubungan perdagangan yang sangat rendah" dengan Argentina dan Turki, "jadi itu tidak terlalu mengkhawatirkan".
Rajiv Biswas, kepala ekonom Asia Pasifik untuk IHS Markit, juga mengatakan perdagangan dengan Turki merupakan saluran penularan yang tidak memungkinkan bagi Asia, karena kawasan itu sangat bergantung pada ekonomi besar seperti China, Eropa, dan AS untuk ekspor mereka.
"Kepedulian yang lebih signifikan untuk negara-negara Apac [Asia Pasifik] adalah jika krisis ekonomi Turki mengakibatkan penularan ke mata uang dan ekuitas pasar berkembang, yang berpotensi memicu arus modal keluar signifikan dari pasar negara berkembang," katanya, melansir BBC News hari Senin (10/9/2018).
Mengapa pasar negara berkembang lainnya terdampak?Ungkapan "emerging market" mengacu pada negara berkembang di Afrika, Amerika Latin, atau Asia, sementara ekonomi besar seperti AS, Inggris, dan Jepang cenderung memiliki standar hidup yang lebih tinggi dan sistem keuangan yang lebih maju.
Selama krisis ekonomi, investor cenderung menjual aset berisiko, seperti mata uang atau saham pasar berkembang, dan berpegang pada aset yang lebih aman, seperti dolar AS atau obligasi pemerintah yang dikeluarkan oleh negara-negara besar.
Julian Evans-Pritchard, seorang ekonom senior China di Capital Economics, mengatakan negara-negara yang bergantung pada uang dari luar negeri dan memiliki arus masuk dana asing ke pasar saham dan obligasi mereka, berisiko tertular.
"Risikonya adalah bahwa ketika sentimen berubah lebih negatif, investor asing mulai menarik dana tersebut, yang berdampak pada nilai tukar," katanya.
"Untuk negara-negara yang meminjam banyak dalam mata uang asing, biasanya dalam dolar AS, ini dapat menyulitkan mereka untuk membayar utang mata uang asing mereka. Itulah yang terjadi pada 1997 selama krisis keuangan Asia, misalnya."
Mengapa India dan Indonesia terpukul?Di Asia, baik India dan Indonesia sangat bergantung pada aliran masuk modal asing, itulah sebabnya mata uang mereka sangat melemah.
India, yang merupakan negara pengimpor minyak, tagihan impornya telah meningkat seiring dengan kenaikan harga minyak dan ini telah menyebabkan defisit neraca berjalannya melebar, kata Biswas dari IHS Markit.
Negara yang memiliki defisit neraca berjalan mungkin bergantung pada arus masuk uang asing untuk membiayai pengeluaran dan investasi.
Sementara itu Indonesia memiliki cadangan devisa yang rendah dan tingkat kepemilikan asing yang tinggi di pasar saham dan obligasi lokal, Biswas menambahkan.
Ini membuatnya sangat rentan terhadap investor yang menarik uang mereka keluar dari negara.
Bagaimana dengan eksposur bank?Cara lain penularan dapat menyebar adalah ketika bank di satu negara memiliki aset di negara lain yang bermasalah. Masalah ekonomi dapat menyebabkan nilai aset-aset ini jatuh.
Ketika itu terjadi, investor khawatir bagaimana bank akan mengatasi penurunan nilai aset, dan bagaimana ini akan memengaruhi kemampuannya untuk meminjamkan uang kepada konsumen dan peminjam lainnya.
Kekhawatiran seperti itu membebani saham bank Eropa baru-baru ini, dengan investor khawatir tentang berapa banyak aset Turki yang mereka miliki.
The Financial Times melaporkan bahwa beberapa central banker Bank Sentral Eropa (ECB) khawatir tentang paparan beberapa pemberi pinjaman terbesar di zona euro ke Turki. Laporan itu mengatakan, BBVA Spanyol, UniCredit Italia, dan BNP Paribas Prancis, yang semuanya memiliki bisnis cukup besar di Turki, terekspos secara khusus.
Bank-bank Spanyol adalah yang paling terdampak oleh Turki, menurut IHS Markit, mengutip data dari Bank for International Settlements.
Mereka memiliki sekitar 81 miliar euro paparan aset Turki, dan bank Prancis memiliki eksposur sekitar 35 miliar euro.
Namun Biswas dari IHS Markit mengatakan eksposur bank-bank Asia terhadap Turki terbatas.
"Dalam gambaran besar sektor perbankan di negara-negara Asia, ini tidak akan menjadi faktor negatif yang serius dalam pandangan mereka," katanya.
(prm) Next Article Krisis Argentina Membebani Mata Uang Negara Berkembang
Turki telah dihadapkan pada krisis mata uang dan memburuknya hubungan dengan Amerika Serikat (AS).
Krisis yang membelit Argentina mendorong pemerintahannya untuk mengumumkan langkah-langkah penghematan dan meminta Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mempercepat pencairan pinjaman sebesar US$50 miliar.
Di Asia, rupee India dan rupiah Indonesia telah terpukul sehingga pembahasan mengenai risiko penularan terus bergulir.
Sederhananya, penularan adalah proses yang terpenuhi dengan sendirinya, di mana masalah ekonomi di satu negara mendorong investor untuk menjual aset di ekonomi dengan risiko yang sama.
Di dunia global, krisis di satu negara juga dapat dengan cepat menyebar ke negara lain melalui hubungan dagang atau pinjaman oleh bank.
Itulah mengapa penurunan di Turki atau Argentina menjadi masalah di luar negeri, meskipun ada dampak baiknya, yaitu membuat biaya liburan di sana menjadi lebih murah.
Bagaimana masalah ekonomi itu bisa menyebar?
Ketika ekonomi mulai goyah, perusahaan cenderung memangkas produksi dan kemudian jumlah pekerja. Akibatnya, konsumen memiliki lebih sedikit uang untuk membeli berbagai barang, termasuk impor. Ini adalah berita buruk bagi bisnis global yang mengekspor banyak barang ke negara itu.
[Gambas:Video CNBC]
Jika krisis juga menyebabkan mata uang suatu negara melemah dan biaya impor naik, maka akan semakin memengaruhi permintaan.
Namun, Joseph Gagnon di Peterson Institute for International Economics yang berbasis di Washington, mengatakan Asia memiliki "hubungan perdagangan yang sangat rendah" dengan Argentina dan Turki, "jadi itu tidak terlalu mengkhawatirkan".
Rajiv Biswas, kepala ekonom Asia Pasifik untuk IHS Markit, juga mengatakan perdagangan dengan Turki merupakan saluran penularan yang tidak memungkinkan bagi Asia, karena kawasan itu sangat bergantung pada ekonomi besar seperti China, Eropa, dan AS untuk ekspor mereka.
"Kepedulian yang lebih signifikan untuk negara-negara Apac [Asia Pasifik] adalah jika krisis ekonomi Turki mengakibatkan penularan ke mata uang dan ekuitas pasar berkembang, yang berpotensi memicu arus modal keluar signifikan dari pasar negara berkembang," katanya, melansir BBC News hari Senin (10/9/2018).
Mengapa pasar negara berkembang lainnya terdampak?
Selama krisis ekonomi, investor cenderung menjual aset berisiko, seperti mata uang atau saham pasar berkembang, dan berpegang pada aset yang lebih aman, seperti dolar AS atau obligasi pemerintah yang dikeluarkan oleh negara-negara besar.
![]() Dolar AS |
"Risikonya adalah bahwa ketika sentimen berubah lebih negatif, investor asing mulai menarik dana tersebut, yang berdampak pada nilai tukar," katanya.
"Untuk negara-negara yang meminjam banyak dalam mata uang asing, biasanya dalam dolar AS, ini dapat menyulitkan mereka untuk membayar utang mata uang asing mereka. Itulah yang terjadi pada 1997 selama krisis keuangan Asia, misalnya."
Mengapa India dan Indonesia terpukul?
India, yang merupakan negara pengimpor minyak, tagihan impornya telah meningkat seiring dengan kenaikan harga minyak dan ini telah menyebabkan defisit neraca berjalannya melebar, kata Biswas dari IHS Markit.
Negara yang memiliki defisit neraca berjalan mungkin bergantung pada arus masuk uang asing untuk membiayai pengeluaran dan investasi.
![]() Cadangan Devisa RI |
Ini membuatnya sangat rentan terhadap investor yang menarik uang mereka keluar dari negara.
Bagaimana dengan eksposur bank?
Ketika itu terjadi, investor khawatir bagaimana bank akan mengatasi penurunan nilai aset, dan bagaimana ini akan memengaruhi kemampuannya untuk meminjamkan uang kepada konsumen dan peminjam lainnya.
Kekhawatiran seperti itu membebani saham bank Eropa baru-baru ini, dengan investor khawatir tentang berapa banyak aset Turki yang mereka miliki.
The Financial Times melaporkan bahwa beberapa central banker Bank Sentral Eropa (ECB) khawatir tentang paparan beberapa pemberi pinjaman terbesar di zona euro ke Turki. Laporan itu mengatakan, BBVA Spanyol, UniCredit Italia, dan BNP Paribas Prancis, yang semuanya memiliki bisnis cukup besar di Turki, terekspos secara khusus.
Bank-bank Spanyol adalah yang paling terdampak oleh Turki, menurut IHS Markit, mengutip data dari Bank for International Settlements.
Mereka memiliki sekitar 81 miliar euro paparan aset Turki, dan bank Prancis memiliki eksposur sekitar 35 miliar euro.
Namun Biswas dari IHS Markit mengatakan eksposur bank-bank Asia terhadap Turki terbatas.
"Dalam gambaran besar sektor perbankan di negara-negara Asia, ini tidak akan menjadi faktor negatif yang serius dalam pandangan mereka," katanya.
(prm) Next Article Krisis Argentina Membebani Mata Uang Negara Berkembang
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular