
Internasional
The Fed & Perang Dagang Bawa Emerging Market ke Fase Bearish
Bernhart Farras, CNBC Indonesia
07 September 2018 11:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham-saham di pasar negara berkembang jatuh ke wilayah bearish, Kamis (6/9/2018) di tengah pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) dan kekhawatiran mengenai situasi perdagangan global. Selain itu, kabar jatuhnya perekonomian Argentina dan Turki turut memberi sentimen negatif.
iShares MSCI Emerging Markets exchange-traded fund (EEM) turun sebanyak 0,6% pada Kamis. Dengan demikian, penurunan ini telah mencapai lebih dari 20% sejak posisi tertinggi sepanjang sejarah yang diraih pada Januari tahun ini. Namun, instrumen tersebut berhasil rebound dari posisi terendah hari Kamis dan ditutup 0,1% lebih tinggi.
ETF yang melacak saham-saham di Brasil, Argentina, Turki, dan China juga berada di wilayah pasar yang sedang turun. Saham Turki turun lebih dari 56% dari nilai tertinggi selama 52 minggunya, sementara saham Brasil dan Argentina diperdagangkan lebih dari 30% di bawah patokan tersebut. iShares China Large-Cap ETF (FXI) turun sekitar 24% dari level tertinggi satu tahun.
Bank sentral AS, Federal Reserve, terus menaikkan suku bunga acuannya yang berarti pengetatan kebijakan moneter dan menguatnya dolar AS.
Beberapa negara emerging market memiliki banyak utang dalam denominasi dolar. Pastinya dolar yang menguat membuat negara-negara ini lebih sulit untuk membayar utangnya. Menguatnya greenback juga membawa kesulitan tambahan bagi pasar negara berkembang untuk membeli komoditas, yang sebagian besar dibeli dan dijual dalam mata uang AS.
"Ini tetap menjadi kunci. Selama [bank sentral] global bersikeras mengurangi likuiditas sambil mencoba untuk menaikkan biaya modal, korban akan terus bermunculan, dimulai dari pemain yang lebih lemah. Tetapi, kemudian secara bertahap menyebar ke negara-negara yang lebih kuat," kata Viktor Shvets, kepala strategi ekuitas Asia di Macquarie, dalam sebuah catatan riset, dikutip dari CNBC International.
The Fed telah menaikkan suku bunga sebanyak dua kali pada tahun ini dan diperkirakan akan meningkatkannya dua kali lagi sebelum akhir 2018.
Pada saat yang sama, baru-baru ini ketegangan telah meningkat antara AS dan beberapa mitra dagang utamanya. Pemerintahan Presiden Donald Trump diperkirakan akan menjatuhkan bea masuk pada tambahan produk-produk China senilai US$200 miliar (Rp 2.979 triliun) tengah malam waktu setempat.
Kamis tengah malam merupakan tenggat waktu penerimaan komentar publik atas rencana pungutan yang diajukan pemerintahan Trump itu. China juga mengancam akan membalas dengan bea masuk terhadap AS.
Sementara itu, para pejabat Kanada sedang bertemu dengan perwakilan AS untuk mencoba bergabung dalam kesepakatan perdagangan bilateral antara Amerika Serikat dan Meksiko yang dicapai 27 Agustus lalu. Perjanjian perdagangan baru tersebut (NAFTA 2.0) diharapkan menggantikan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) yang lama.
NAFTA telah banyak dikritik oleh Trump yang menyebutnya sebagai kesepakatan perdagangan terburuk yang pernah ada. Negosiasi ini juga datang setelah AS mengenakan bea masuk pada Meksiko dan Kanada, yang telah dibalas oleh kedua negara.
Kebijakan perdagangan proteksionis pemerintahan Trump telah mengirimkan gelombang kejut bagi pasar-pasar negara berkembang, karena sebagian besar dari ekonomi itu digerakkan oleh ekspor. Kondisi perdagangan yang lebih ketat akan merugikan ekonomi-ekonomi ini.
Argentina dan Turki
Argentina dan Turki telah berada di garis terdepan dari pasar negara berkembang yang mengalami kemerosotan saat mereka bergulat dengan kehancuran ekonomi.
Di Juli, tingkat inflasi Argentina naik lebih dari 30% secara tahunan. Bank sentral Argentina telah mencoba untuk menjaga inflasi dengan menaikkan suku bunga, tetapi sayangnya belum berhasil. Pekan lalu, bank sentral menaikkan bunga overnight menjadi 60%, tertinggi di dunia.
Di Turki, lira mencapai rekor terendah terhadap dolar pada Agustus setelah Trump menggandakan bea masuk baja dan aluminium kepada Turki.
Mata uang Turki itu telah kehilangan setidaknya 40% dari nilainya terhadap dolar tahun ini karena Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah menekan bank sentral negara untuk mempertahankan suku bunga rendah. Namun, bank sentral berjanji untuk menahan inflasi yang sedang merajalela di negara kebab itu.
"Tantangan terkait Turki dan Argentina tidak hanya karena kedua ekonomi ini memiliki defisit dan menderita tekanan inflasi yang meningkat secara besar-besaran, tetapi juga tanggapan mereka sejauh ini lambat atau tidak bersahabat," tulis Macquarie Victor Shvets, Managing Director di Macquarie Securities.
"Dalam kenyataannya, kedua negara menghadapi pilihan yang tidak menyenangkan secara politis yaitu resesi mendalam atau beberapa bentuk capital control dan renegosiasi utang," tambahnya.
(prm) Next Article Bisakah Krisis di Turki & Argentina Menular ke Asia?
iShares MSCI Emerging Markets exchange-traded fund (EEM) turun sebanyak 0,6% pada Kamis. Dengan demikian, penurunan ini telah mencapai lebih dari 20% sejak posisi tertinggi sepanjang sejarah yang diraih pada Januari tahun ini. Namun, instrumen tersebut berhasil rebound dari posisi terendah hari Kamis dan ditutup 0,1% lebih tinggi.
ETF yang melacak saham-saham di Brasil, Argentina, Turki, dan China juga berada di wilayah pasar yang sedang turun. Saham Turki turun lebih dari 56% dari nilai tertinggi selama 52 minggunya, sementara saham Brasil dan Argentina diperdagangkan lebih dari 30% di bawah patokan tersebut. iShares China Large-Cap ETF (FXI) turun sekitar 24% dari level tertinggi satu tahun.
Beberapa negara emerging market memiliki banyak utang dalam denominasi dolar. Pastinya dolar yang menguat membuat negara-negara ini lebih sulit untuk membayar utangnya. Menguatnya greenback juga membawa kesulitan tambahan bagi pasar negara berkembang untuk membeli komoditas, yang sebagian besar dibeli dan dijual dalam mata uang AS.
"Ini tetap menjadi kunci. Selama [bank sentral] global bersikeras mengurangi likuiditas sambil mencoba untuk menaikkan biaya modal, korban akan terus bermunculan, dimulai dari pemain yang lebih lemah. Tetapi, kemudian secara bertahap menyebar ke negara-negara yang lebih kuat," kata Viktor Shvets, kepala strategi ekuitas Asia di Macquarie, dalam sebuah catatan riset, dikutip dari CNBC International.
![]() Gubernur The Fed Jerome Powell |
Pada saat yang sama, baru-baru ini ketegangan telah meningkat antara AS dan beberapa mitra dagang utamanya. Pemerintahan Presiden Donald Trump diperkirakan akan menjatuhkan bea masuk pada tambahan produk-produk China senilai US$200 miliar (Rp 2.979 triliun) tengah malam waktu setempat.
Kamis tengah malam merupakan tenggat waktu penerimaan komentar publik atas rencana pungutan yang diajukan pemerintahan Trump itu. China juga mengancam akan membalas dengan bea masuk terhadap AS.
Sementara itu, para pejabat Kanada sedang bertemu dengan perwakilan AS untuk mencoba bergabung dalam kesepakatan perdagangan bilateral antara Amerika Serikat dan Meksiko yang dicapai 27 Agustus lalu. Perjanjian perdagangan baru tersebut (NAFTA 2.0) diharapkan menggantikan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) yang lama.
NAFTA telah banyak dikritik oleh Trump yang menyebutnya sebagai kesepakatan perdagangan terburuk yang pernah ada. Negosiasi ini juga datang setelah AS mengenakan bea masuk pada Meksiko dan Kanada, yang telah dibalas oleh kedua negara.
Kebijakan perdagangan proteksionis pemerintahan Trump telah mengirimkan gelombang kejut bagi pasar-pasar negara berkembang, karena sebagian besar dari ekonomi itu digerakkan oleh ekspor. Kondisi perdagangan yang lebih ketat akan merugikan ekonomi-ekonomi ini.
Argentina dan Turki
Argentina dan Turki telah berada di garis terdepan dari pasar negara berkembang yang mengalami kemerosotan saat mereka bergulat dengan kehancuran ekonomi.
Di Juli, tingkat inflasi Argentina naik lebih dari 30% secara tahunan. Bank sentral Argentina telah mencoba untuk menjaga inflasi dengan menaikkan suku bunga, tetapi sayangnya belum berhasil. Pekan lalu, bank sentral menaikkan bunga overnight menjadi 60%, tertinggi di dunia.
Di Turki, lira mencapai rekor terendah terhadap dolar pada Agustus setelah Trump menggandakan bea masuk baja dan aluminium kepada Turki.
Mata uang Turki itu telah kehilangan setidaknya 40% dari nilainya terhadap dolar tahun ini karena Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah menekan bank sentral negara untuk mempertahankan suku bunga rendah. Namun, bank sentral berjanji untuk menahan inflasi yang sedang merajalela di negara kebab itu.
![]() Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan |
"Dalam kenyataannya, kedua negara menghadapi pilihan yang tidak menyenangkan secara politis yaitu resesi mendalam atau beberapa bentuk capital control dan renegosiasi utang," tambahnya.
(prm) Next Article Bisakah Krisis di Turki & Argentina Menular ke Asia?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular