Mata Uang Negara Berkembang Diramal Berjaya, Rupiah Termasuk?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 January 2021 17:15
dollar
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2021 diramal akan menjadi tahunnya mata uang negara berkembang (emerging market/EM). Sebab, perekonomian global perlahan akan bangkit kembali setelah nyungsep ke jurang resesi di tahun 2020 akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Dengan perekonomian yang mulai pulih, maka sentimen pelaku pasar akan membaik, dan mengalirkan investasinya ke nagara EM dengan imbal hasil yang tinggi. Hal tersebut akan mendongkrak nilai tukar mata uang negara-negara EM.

Reuters melakukan survei terhadap 50 ahli strategi mata uang pada periode 4 - 7 Januari, hasilnya mata uang negara berkembang yang beberapa bulan terakhir menguat diramal akan melanjutkan penguatan di 2021. Indeks mata uang negara berkembang diperkirakan sekitar 2% dalam 12 bulan, meski beberapa negara masih belum akan mampu pulih ke level sebelum virus corona melanda.

Di tahun 2020 lalu, indeks tersebut mampu menguat hingga 11%, setelahnya sebelumnya sempat jeblok ke level terendah 3 tahun di bulan Maret 2020. Jebloknya dolar Amerika Serikat (AS) menjadi pemicu kebangkitan indeks tersebut.

Andreas Steno Larsen, kepala strategi mata uang global di Nordea mengatakan, Joseph 'Joe' Biden yang akan dilantik menjadi Presiden AS pada 20 Januari nanti memberikan keuntungan bagi mata uang negara berkembang.

"Biden yang akan menduduki kursi Presiden AS memberikan harapan perang dagang (AS-China) akan berakhir, ditambah dengan vaksinasi maka akan menciptakan kondisi yang nyaman bagi negara berkembang" katanya sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (8/1/2021).

Sementara itu, sebanyak 38 orang ahli strategi yang disurvei mengatakan yield yang tinggi, serta program vaksinasi yang sukses akan menjadi pemicu utama penguatan mata uang EM. Sementara 10 orang, melihat pemulihan ekonomi domestik sebagai pendorong utama.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dolar AS Bangkit dari "Kubur" Atau Lanjut Terbenam?

Dolar AS bangkit dari "kubur" dalam beberapa hari terakhir yang membuat mata uang EM ambrol, termasuk rupiah.

Indeks dolar AS, yang menjadi tolak ukur kekuatan mata uang Paman Sam masih terus melanjutkan tren positif. Melansir data Refinitiv, pada Rabu (6/1/2021), indeks dolar AS menyentuh level 89,209, terendah sejak Maret 2018.

Namun di hari itu juga, indeks dolar AS bangkit dan membukukan penguatan 0,11%, dan berlanjut hingga Senin kemarin. Total penguatan selama 4 hari perdagangan tersebut sebesar 1,04%, dan pagi tadi sempat kembali naik, sebelum berbalik turun 0,08% ke 90,393.

Ekspektasi bangkitnya perekonomian AS di tahun ini, serta kenaikan yield obligasi (Treasury) AS menjadi pemicu bangkitnya indeks dolar AS. Dalam 6 hari terakhir hingga pagi ini, yield Treasury AS tenor 10 tahun sudah naik 23,76 basis poin ke 1,1546% yang merupakan level tertinggi sejak 24 Februari 2020, nyaris 1 tahun terakhir, atau sebelum pandemi penyakit virus corona (Covid-19) menghantam dunia.

Kebangkitan dolar AS tersebut terjadi justru saat semakin banyak "dibuang" atau posisi short (jual) dolar AS yang diambil investor sedang mengalami peningkatan. Reuters melaporkan, berdasarkan data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC), pada pekan yang berakhir 5 Januari, posisi net short dolar AS mencapai US$ 30,57 miliar, naik dari pekan sebelumnya US$ 30,40 miliar.

Posisi net short dolar AS sendiri terjadi sejak pertengahan Maret 2020 lalu, yang pada akhirnya membawa indeks dolar AS jeblok. Data dari Refinitiv menunjukkan, sejak pertengahan Maret indeks dolar AS mencapai level puncak di 102,992, sementara posisi akhir tahun 2020 di 89,937, artinya mengalami kemerosotan lebih dari 12%.

Kemerosotan tersebut masih berlanjut hingga Rabu lalu sebelum akhirnya bangkit.

Kini, dengan bangkitnya indeks dolar AS dalam 4 hari terakhir, rilis data net short selanjutnya akan menentukan sentimen terhadap dolar AS. Jika net short kembali meningkat, akan menjadi indikasi dolar AS akan kembali merosot, sentimen pasar masih bearish. Sementara jika net short berkurang, artinya pelaku pasar mulai melihat potensi penguatan dolar AS ke depannya.

Patut diingat, faktor-faktor yang membuat dolar AS jeblok pada tahun lalu masih ada di tahun ini. Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih mempertahankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan, dan suku bunga 0,25% tidak akan dinaikkan hingga tahun 2023.

Kemudian, Joe Biden dengan Partai Demokrat juga diperkirakan akan menambah nilai stimulus fiskal.

Sehingga perekonomian AS masih akan banjir likuiditas, secara teori dolar AS masih akan tertekan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Berjaya di 2021?



Mayoritas analis yang disurvei Reuters menyatakan yield yang tinggi serta vaksinasi menjadi kunci penguatan mata uang EM di tahun ini. Rupiah tentu saja memiliki hal tersebut. Yield atau imbal hasil obligasi Indonesia masih lebih tinggi ketimbang negara-negara EM lainnya. Yield tenor 10 tahun misalnya masih di kisaran 6%, dengan inflasi sekitar 1,6% year-on-year (YoY), maka real yield yang dihasilkan sekitar 4,4%.

Real yield tersebut masih lebih tinggi ketimbang Brasil sebesar 2,7% (yield obligasi tenor 10 tahun 7%, inflasi 4,3%). Kemudian China dengan real yield 3,7%, atau tetangga dekat Malaysia sebesar 4,2%.

Real yield India bahkan negatif 1%, sebab yield obligasi tenor 10 tahun sebesar 5,9% sementara inflasi justru mencapai 6,9% YoY.

Real yield Indonesia hanya kalah dari Afrika Selatan sebesar 5,5%.

Dengan demikian, dilihat dari real yield berinvestasi di Indonesia tentunya akan menarik, yang dapat menopang kinerja rupiah.

Dari segi vaksinasi, Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) kemarin memutuskan untuk memberikan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) pada CoronaVac, vaksin Covid-19 buatan Sinovac Biotech. Dasarnya vaksin ini sudah memenuhi syarat. Salah satunya tingkat efikasi (kemanjuran).

Sebelum BPOM, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberi label halal dan suci untuk vaksin tersebut.

Dengan demikian, vaksinasi bisa segera dimulai. Meski prosesnya akan memakan waktu yang cukup panjang, hingga 15 bulan ke depan, tetapi harapan akan hidup berangsur-angsur normal kembali, dan menambah keyakinan para investor.

Kemudian, dari segi pemulihan ekonomi, Dana Moneter Internasional (IMF) berikan pandangan positif untuk ekonomi Indonesia 2021. Perkiraan pertumbuhan Produk Domestic Bruto (PDB) Indonesia tahun 2021 berada di 4,8% lebih besar 40 basis poin (bps) ketimbang perkiraan IMF sebelumnya di 4,4%. Tahun 2022, ekonomi Indonesia bahkan diprediksi tumbuh 6%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ada Potensi Rupiah ke Rp 13.150/US$

Dalam jangka panjang, level Rp 13.900/US$ akan menjadi kunci pergerakan rupiah. Di awal tahun ini, rupiah sempat menembus level tersebut, tetapi gagal bertahan di bawahnya.

Di awal 2020, rupiah juga sempat menembus level tersebut, setelahnya rupiah melesat hingga lebih dari 2% hingga akhir Januari.

Di tahun 2019 lalu, rupiah beberapa kali mendekati level tersebut kemudian berbalik melemah, yang menjadi indikasi sebagai support yang kuat.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv

Potensi penguatan rupiah dalam jangka panjang terlihat dari death cross alias perpotongan rerata pergerakan 50 hari (moving average/MA 50), 100 hari (MA 100), dan 200 hari (MA 200). Death cross terjadi dimana MA 50 memotong dari atas ke bawah MA 100 dan 200.

Death cross menjadi sinyal suatu aset akan berlanjut turun. Dalam hal ini USD/IDR, artinya rupiah berpotensi menguat lebih jauh.

Jika mampu menembus dan bertahan di bawah Rp 13.900/US$, rupiah berpeluang menguat ke Rp 13.565/US$ (level terkuat 2020). Penembusan di bawah level tersebut akan membuka peluang penguatan menuju Rp 13.300/US$ hingga Rp 13.150/US$ di tahun ini.

Sementara itu, selama tertahan di atas Rp 14.100/US$, yang berada di kisaran MA 50, rupiah berisiko melemah dengan resisten kuat di Rp 14.600/US$.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular