Internasional

Disebut Bisa Krisis, PM: Sri Lanka Tak Serentan Itu

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
12 September 2018 16:39
Utang pemerintah Sri Lanka memang cukup tinggi, yaitu sekitar 77% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Foto: Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe (REUTERS/Dinuka Liyanawatte)
Jakarta, CNBC Indonesia - Perdana Menteri Sri Lanka menyerang balik para ekonom yang menyebut negaranya berada di antara negara-negara berkembang Asia yang rentan terhadap gejolak ekonomi global.

Negara-negara Asia Selatan sedang membangun stabilitas keuangan jangka panjang dengan mendiversifikasi ekspornya, dari teh dan pakaian ke barang dan jasa bernilai tinggi.

Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe kepada CNBC International di World Economic Forum (WEF) tentang ASEAN di Hanoi, Vietnam, hari Selasa (11/9/2018).

Pada awal bulan ini, lembaga pemeringkat Fitch Rating mengungkapkan keraguan tentang proyeksi pembayaran utang eksternal, tingginya utang pemerintah dan ketidakpastian politik menyusul polling kawasan.

Meskipun begitu, Wickremesinghe mengatakan dia tidak percaya obligasi pemerintah Sri Lanka akan turun peringkat (downgrade).

"Kami dan beberapa negara Asia sedang menghadapi defisit [neraca pembayaran] dan tentu saja itu akan menjadi kekhawatiran, tetapi sejauh ini kami mampu bernegosiasi dengan lembaga-lembaga pemeringkat dan itu belum berdampak ke kapasitas peminjaman kami," katanya.

Utang pemerintah Sri Lanka memang cukup tinggi, yaitu sekitar 77% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Bank asal Jepang yaitu Nomura Holdings pada hari Senin (10/9/2018) menyebut Sri Lanka sebagai salah satu dari 30 pasar berkembang yang rentan dengan krisis nilai tukar mata uang. Klaim tersebut segera disanggah oleh bank sentral Sri Lanka dan Wickremesinghe, yang menyebutnya "palsu".

Keduanya mengambil pengecualian tertentu dari estimasi utang luar negeri jangka panjang awal dari Nomura yaitu US$160 miliar (Rp 2.382 triliun), data yang kemudian diakui Nomura tidak akurat. Kemudian bank mengeluarkan angka yang sudah dikoreksi yaitu $7,5 miliar di kuartal pertama.

Ketika ditanya tentang data resmi, Wickremesinghe menyebut angka $14,2 miliar, meski periode waktunya tidak jelas. Angka yang lebih tinggi juga bisa jadi disebabkan oleh para pejabat yang menggunakan ukuran utang luar negeri yang lebih luas.

Perdana Menteri itu mengatakan Sri Lanka, yang mendapatkan bantuan dana (bailout) dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) di tahun 2009 dan pertengahan 2016, seharusnya tidak memerlukan bantuan lebih lanjut dari bank global.

"Kami, Sri Lanka dan Pakistan, agak terlalu sering lari ke IMF dan saya harap kita akan bisa mengelolanya," katanya. "IMF menyelamatkan kami di masa genting, saya harus mengakuinya, tetapi kita harus belajar berjalan sendiri sekarang."

Relasi dengan China

Wickremesinghe menampik klaim yang sering menyebut Sri Lanka menyerahkan pengendalian pelabuhan-pelabuhan yang penting secara strategis ke tangan China.

Dia mengatakan dia tidak percaya negaranya jatuh ke dalam jebakan utang yang disebabkan oleh bunga pinjaman dari China. "Kami berurusan dengan China. Terdapat investasi China yang besar. Terdapat pinjaman China. Saya tidak melihatnya sebagai ancaman."

Sri Lanka dan China sepakat untuk menyewakan pelabuhan Hambantota sebelah selatan selama 99 tahun. Hal itu menggarisbawahi peningkatan pengaruh strategis dan komersial China di kawasan Samudera Hindia, serta menyebabkan peningkatak kecemasan di India dan kawasan yang lebih luas.

Misalnya saja, Jepang ingin pelabuhan Hambantota "bebas dari aktivitas militer," kata Menteri Pertahanan Jepang Itsunori Onodera bulan lalu, menurut laporan Press Trust of India.

"Kami tidak melihat adanya masalah dengan melihat ini dari proyek ekonomi, sebagai sebuah investasi ekonomi," kata Wickremesinghe. "Sri Lanka sudah tidak selaras dan tetap seperti itu sejak tahun 1948."

Kubu oposisi Sri Lanka yang dipimpin oleh Mantan Presiden Mahinda Rajapaksa memanfaatkan kesulitan ekonomi, serta memobilisasi pendukung guna mendesak pemerintah melakukan polling lebih cepat.

Meskipun begitu, Wickremesinghe mengatakan dia tidak bisa mengupayakan pemilu awal. Dia mengklaim pemerintahannya mewarisi peningkatan utang lewat kesalahan pengelolaan pemerintah sebelumnya.

"Kami mengambil alih pemerintahan dan menstabilkan perekonomian. Mereka kabur, hanya kami yang tersisa."


(roy) Next Article Bisakah Krisis di Turki & Argentina Menular ke Asia?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular