Internasional

China: Proteksionisme Bahaya Serius bagi Pertumbuhan Global

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
12 September 2018 16:19
China memperingatkan bahwa proteksionisme merupakan 'bahaya serius' bagi pertumbuhan global.
Foto: REUTERS/Jason Lee/File Photo
Hanoi, CNBC Indonesia - China memperingatkan bahwa proteksionisme merupakan 'bahaya serius' bagi pertumbuhan global dan mengingatkan "negara individu" untuk melawan kebijakan protektif. Peringatan itu disampaikan pada hari Rabu (12/9/2018) dan merujuk pada memanasnya perselisihan dagang antara Washington dan Beijing.

Komentar dari Wakil Perdana Menteri China Hu Chunhua muncul ketika perang dagang antara negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu semakin memanas. Pasalnya, kedua negara saat ini saling berbalas tarif impor senilai miliaran dolar.

Ketegangan semakin tinggi pekan lalu ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan menyerang semua produk yang diekspor China ke AS, yang nilainya lebih dari US$500 miliar (Rp 7.441 triliun). Dia pun meningkatkan agenda "America First" yang dia tujukan untuk melindungi lapangan pekerjaan dan industri AS dari kompetisi luar negeri.

Namun tanpa secara langsung menyebut nama Trump ataupun AS, Hu Chunhua pada hari Rabu mengingatkan untuk berhati-hati dengan negara-negara yang berjalan sendiri dan memutarbalikkan sistem perdagangan global.



"Beberapa langkah proteksionis dan unilateral dari negara-negara individual sangat melemahkan rezim perdagangan multilateral yang berbasis peraturan, bahaya yang paling serius bagi ekonomi dunia," kata Hu di World Economic Forum (WEF) di Hanoi, Vietnam, dikutip dari AFP.

"Mengisolasi diri sendiri tidak akan berujung ke mana-mana dan hanya keterbukaan yang mencerminkan arah maju," tambahnya.

Memanasnya perang dagang antara Washington dan Beijing sangat diamati oleh Asia Tenggara, di mana beberapa perekonomian yang fokus pada ekspor bisa memperoleh keuntungan dari konflik ini.

Naiknya upah buruh di China sudah mempercepat dorongan bagi negara-negara seperti Vietnam dan Kamboja, di mana sepatu Adidas, kaus H&M, dan ponsel Samsung dibuat dengan ongkos murah.

Namun, perang dagang semakin mempercepat proses tersebut. Beberapa perusahaan China beralih ke kawasan Asia Tenggara untuk memproduksi barang-barang seperti suku cadang sepeda sampai kasur guna menghindari tarif impor AS.

"Negara-negara ASEAN tidak mau menghitung ayam sebelum menetas," kata Fred Burke, Managing Partner di Baker McKenzie, Vietnam, kepada AFP.

"Namun menurut saya mereka melihat itu murni sebagai keuntungan bagi mereka karena artinya pengalihan manufaktur ke Asia Tenggara yang [sebelumnya] di China."

Jurus RI Hadapi Perang DagangFoto: Aristya Rahadian Krisabella
Jurus RI Hadapi Perang Dagang

Kesengsaraan proteksionisme
Meski terdapat keuntungan jangka pendek ke Asia Tenggara, beberapa analis mengingatkan bahwa keuntungan jangka panjang kemungkinan tidak secerah itu.

"Kawasan itu sangat disetir oleh ekspor, jadi perubahan apapun terhadap batasan perdagangan tidaklah baik," kata Rajiv Biswas, Kepala Ekonom Asia-Pasifik di HIS Markit, kepada AFP.

Nilai perdagangan ASEAN naik mendekati US$1 triliun di antara tahun 2007 dan 2014, menurut WEF, ketika blok itu semakin semangat mengusung perdagangan bebas. Tentu konsep perdagangan tersebut bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakan yang dipromosikan Trump.



Dalam salah satu tindakan pertamanya pasca-pemilu, Presiden AS itu menarik diri dari kesepakatan Trans-Pacific Partnership (TPP) yang beranggotakan 12 negara. Dia menyebut kerja sama itu sebagai pembunuh lapangan kerja.

WEF kali ini memiliki tema "Entrepreneurship and the Fourth Industrial Revolution" (Kewirausahaan dan Revolusi Industri Keempat), dengan fokus membahas cara ekonomi beradaptasi dengan "gangguan teknologi" seperti otomatisasi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang mengancam pekerjaan manusia. WEF ini akan ditutup pada hari Kamis (13/9/2018).

Beberapa pemimpin negara di kawasan menghadiri forum tersebut, termasuk Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri baru Kamboja Hun Sen. Pemimpin Myanmar secara de facto Aung San Suu Kyi, yang saat ini tengah menghadapi pengawasan global atas krisis Rohingya, juga turut hadir di pertemuan itu.

Suu Kyi dijadwalkan untuk berbicara di forum pada hari Kamis, meski penyelenggara belum mengatakan apakah dia akan membahas keputusan Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) pekan lalu. Pasalnya, ICC memperbolehkan Kepala Jaksa menginvestigasi pemaksaan deportasi terhadap 70.000 umat muslim Rohingya oleh militer Myanmar sebagai kemungkinan kejahataan kemanusiaan.

Myanmar juga menghadapi kecaman internasional karena memutuskan untuk memenjara dua jurnalis Reuters selama tujuh tahun. Mereka dikurung dengan hukuman rahasia negara yang kejam karena meliput pembantaian umat muslim.

Menteri Luar Negeri Korea Selatan dan Jepang juga akan menyelenggarakan sebuah sesi yang membahas ketegangan dengan Korea Utara dan isu-isu keamanan regional pada hari Kamis.



(prm) Next Article Siapa Pemenang Perang Dagang AS-China? Bisa Jadi Vietnam

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular