Bedanya Venezuela, Turki, dan Argentina dalam Sikapi Krisis
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 September 2018 13:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Kadang memang mudah menyalahkan orang lain atas kesalahan yang kita perbuat. Akan tetapi, lebih bijak apabila kita mengakui kesalahan itu dan coba memperbaikinya, meski pahit.
Kalimat-kalimat itu cocok dialamatkan kepada sejumlah negara yang mengalami tekanan ekonomi dahsyat tahun ini. Ada contoh menarik negara-negara yang coba playing victim dengan menyalahkan krisis yang mereka alami karena campur tangan negara lain.
Pertama adalah Venezuela. Negara ini mengalami penyakit yang agak akut. Dari sisi mata uang, bolivar Venezuela melemah luar biasa.
Sejak awal tahun, mata uang ini anjlok 2.488.220,02% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS)! Dua juta persen lebih!
Oleh karena itu, Venezuela kemudian menanggalkan mata uang bolivar dan beralih ke cryptocurrency berbasis minyak yang disebut petro. Nicolas Maduro, Presiden Venezuela, menyebutkan langkah ini akan mampu menyelamatkan negaranya dari bencana.
"Petro sudah lahir. Kita akan mencapai kemakmuran bagi Venezuela," tegas Maduro, dikutip dari Reuters.
Maduro adalah penerus ideologis mendiang Hugo Chavez. Kebijakan yang cenderung nasionalistik dan terkontrol. Ini membuat anggaran negara habis untuk subsidi.
Venezuela menjalankan fiskal dengan defisit yang menggila. Kali terakhir pemerintah Venezuela melaporkan realisasi anggaran adalah 2015, dan saat itu defisitnya mencapai 20% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Perekonomian Venezuela memang masih sangat tergantung kepada minyak. Data Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) menyebutkan, sekitar 98% pendapatan ekspor Venezuela berasal dari minyak. Maklum, Venezuela adalah negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia, mencapai 302,81 miliar barel.
Pada era Chavez, Venezuela boleh menikmati kejayaan karena harga si emas hitam. Selama 2002-2013, kala Chavez memimpin, harga minyak jenis brent meroket 433,23%. Harga minyak mencapai puncaknya kala krisis keuangan global 2008, yang sempat mencapai kisaran US$140/barel.
Namun sejak Maduro berkuasa hingga saat ini, harga minyak turun 30,93%. Inilah ujung pangkal gonjang-ganjing ekonomi Venezuela.
Kombinasi harga minyak yang anjlok sementara kebijakan pemerintah tetap populis menghasilkan kontraksi fiskal yang luar biasa. Pada awal pemerintahan Maduro, rasio utang terhadap PDB masih berada di level aman yaitu di bawah 60%. Namun pada akhir 2018 diperkirakan melonjak ke 161,99%.
Akibatnya, pemerintah Venezuela gagal membayar utang-utangnya alias default. Tahun lalu, Venezuela gagal membayar kupon obligasi senilai US$200 miliar.
Gagal bayar obligasi, ditambah kebijakan pemerintah yang cenderung melakukan nasionalisasi aset, menambah derita ekonomi Venezuela. Investor mulai menghindari Venezuela sehingga mata uang bolivar anjlok seanjlok-anjloknya sampai ditinggalkan oleh pemerintahnya sendiri.
Akibat Venezuela yang terlalu lama menahan harga barang dan jasa melalui subsidi, kenaikan harga sedikit saja akan menyebabkan rentetan inflasi luar biasa. Kali terakhir Venezuela merilis angka resmi inflasi adalah pada akhir 2015. Kala itu, inflasi di Venezuela mencapai 180,87%. Namun, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan inflasi Venezuela pada akhir tahun ini mencapai 1.000.000%. Wow.
Namun, alih-alih mengakui rentetan 'dosa' tersebut, Venezuela lebih memilih untuk menyalahkan intervensi asing atas berbagai penderitaan yang mereka alami.
"Kami diserang karena kami melindungi kedaulatan kami, mempertahankan nasibnya sendiri, warga kami sendiri yang sangat fundamental bagi kami. Yang paling parah adalah kami diserang karena kami mengurangi kemiskinan di Venezuela," tegas Dario Molina, Wakil Menteri Luar Negeri Venezuela untuk wilayah Asia, Timur Tengah, dan Oseania.
Memang benar Venezuela mendapat sanksi dari AS dan negara-negara barat. Setelah Maduro kembali terpilih dalam Pemilu belum lama ini, Presiden AS Donald Trump melarang pihak-pihak di Negeri Adidaya untuk membeli obligasi pemerintah Venezuela.
Namun sejatinya isolasi ekonomi di Venezuela sudah terjadi sejak jauh-jauh hari. Kala Chavez memerintah pun Venezuela sudah kenyang dengan berbagai sanksi dan isolasi. Venezuela masih bisa bertahan karena diuntungkan kenaikan harga minyak.
Venezuela yang terbuai dengan harga minyak sepertinya lupa untuk mengembangkan sektor ekonomi lain. Tidak adanya diversifikasi ekonomi yang signifikan membuat Venezuela terhempas tekanan hebat kala harga si emas hitam terpuruk.
Mungkin saja (sekali lagi, mungkin) kalau Venezuela mengembangkan sektor ekonomi lain di luar minyak, maka negara penghasil Miss Universe ini masih bisa bertahan. Akan tetapi, Venezuela memilih untuk menyalahkan orang lain ketimbang melakukan introspeksi diri.
Kalimat-kalimat itu cocok dialamatkan kepada sejumlah negara yang mengalami tekanan ekonomi dahsyat tahun ini. Ada contoh menarik negara-negara yang coba playing victim dengan menyalahkan krisis yang mereka alami karena campur tangan negara lain.
Oleh karena itu, Venezuela kemudian menanggalkan mata uang bolivar dan beralih ke cryptocurrency berbasis minyak yang disebut petro. Nicolas Maduro, Presiden Venezuela, menyebutkan langkah ini akan mampu menyelamatkan negaranya dari bencana.
"Petro sudah lahir. Kita akan mencapai kemakmuran bagi Venezuela," tegas Maduro, dikutip dari Reuters.
Maduro adalah penerus ideologis mendiang Hugo Chavez. Kebijakan yang cenderung nasionalistik dan terkontrol. Ini membuat anggaran negara habis untuk subsidi.
Venezuela menjalankan fiskal dengan defisit yang menggila. Kali terakhir pemerintah Venezuela melaporkan realisasi anggaran adalah 2015, dan saat itu defisitnya mencapai 20% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Perekonomian Venezuela memang masih sangat tergantung kepada minyak. Data Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) menyebutkan, sekitar 98% pendapatan ekspor Venezuela berasal dari minyak. Maklum, Venezuela adalah negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia, mencapai 302,81 miliar barel.
Pada era Chavez, Venezuela boleh menikmati kejayaan karena harga si emas hitam. Selama 2002-2013, kala Chavez memimpin, harga minyak jenis brent meroket 433,23%. Harga minyak mencapai puncaknya kala krisis keuangan global 2008, yang sempat mencapai kisaran US$140/barel.
Namun sejak Maduro berkuasa hingga saat ini, harga minyak turun 30,93%. Inilah ujung pangkal gonjang-ganjing ekonomi Venezuela.
Kombinasi harga minyak yang anjlok sementara kebijakan pemerintah tetap populis menghasilkan kontraksi fiskal yang luar biasa. Pada awal pemerintahan Maduro, rasio utang terhadap PDB masih berada di level aman yaitu di bawah 60%. Namun pada akhir 2018 diperkirakan melonjak ke 161,99%.
Akibatnya, pemerintah Venezuela gagal membayar utang-utangnya alias default. Tahun lalu, Venezuela gagal membayar kupon obligasi senilai US$200 miliar.
Gagal bayar obligasi, ditambah kebijakan pemerintah yang cenderung melakukan nasionalisasi aset, menambah derita ekonomi Venezuela. Investor mulai menghindari Venezuela sehingga mata uang bolivar anjlok seanjlok-anjloknya sampai ditinggalkan oleh pemerintahnya sendiri.
Akibat Venezuela yang terlalu lama menahan harga barang dan jasa melalui subsidi, kenaikan harga sedikit saja akan menyebabkan rentetan inflasi luar biasa. Kali terakhir Venezuela merilis angka resmi inflasi adalah pada akhir 2015. Kala itu, inflasi di Venezuela mencapai 180,87%. Namun, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan inflasi Venezuela pada akhir tahun ini mencapai 1.000.000%. Wow.
Namun, alih-alih mengakui rentetan 'dosa' tersebut, Venezuela lebih memilih untuk menyalahkan intervensi asing atas berbagai penderitaan yang mereka alami.
"Kami diserang karena kami melindungi kedaulatan kami, mempertahankan nasibnya sendiri, warga kami sendiri yang sangat fundamental bagi kami. Yang paling parah adalah kami diserang karena kami mengurangi kemiskinan di Venezuela," tegas Dario Molina, Wakil Menteri Luar Negeri Venezuela untuk wilayah Asia, Timur Tengah, dan Oseania.
Memang benar Venezuela mendapat sanksi dari AS dan negara-negara barat. Setelah Maduro kembali terpilih dalam Pemilu belum lama ini, Presiden AS Donald Trump melarang pihak-pihak di Negeri Adidaya untuk membeli obligasi pemerintah Venezuela.
Namun sejatinya isolasi ekonomi di Venezuela sudah terjadi sejak jauh-jauh hari. Kala Chavez memerintah pun Venezuela sudah kenyang dengan berbagai sanksi dan isolasi. Venezuela masih bisa bertahan karena diuntungkan kenaikan harga minyak.
Mungkin saja (sekali lagi, mungkin) kalau Venezuela mengembangkan sektor ekonomi lain di luar minyak, maka negara penghasil Miss Universe ini masih bisa bertahan. Akan tetapi, Venezuela memilih untuk menyalahkan orang lain ketimbang melakukan introspeksi diri.
Next Page
Perang Ekonomi Turki vs AS
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular