Bedanya Venezuela, Turki, dan Argentina dalam Sikapi Krisis

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 September 2018 13:37
Perang Ekonomi Turki vs AS
Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki (Cem Oksuz/Presidential Palace/REUTERS)
Contoh kedua yang hampir sama dengan Venezuela adalah Turki. Negeri Kebab memang belum seekstrem Venezuela, karena masih menggunakan mata uang Turki. Namun sejak awal tahun, lira Turki sudah melemah 43% terhadap dolar AS. 

Investor cemas karena perusahaan-perusahaan di Negeri Kebab lumayan agresif dalam berutang. Pada akhir kuartal I-2018, total utang luar negeri Turki mencapai US$466,67 miliar. Jumlah ini mencapai 52,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 



Pelemahan lira akan membuat pembayaran utang luar negeri membengkak akibat depresiasi kurs, padahal jumlah pinjamannya tidak berubah. Akibatnya adalah bisa memicu default

Data dari Bank for Internasional Settlements (BIS) menunjukkan, perbankan di Spanyol meminjamkan US$83,3 miliar kepada perusahaan Turki. Sementara perbankan Prancis mengutangi US$38,4 miliar, Italia US$17 miliar, dan Inggris US$19,2 miliar. 

Tidak hanya di Eropa, bank-bank AS dan Jepang juga banyak meminjamkan uang ke perusahaan di Turki. Utang perusahaan Turki di perbankan AS mencapai US$18 miliar dan di Jepang US$14 miliar. 

Secara fundamental, perekonomian Turki juga relatif lemah. Neraca pembayaran Turki sejak kuartal III-2015 tidak pernah merasakan surplus. Terakhir, neraca pembayaran Negeri Kebab defisit US$2,97 miliar pada akhir kuartal II-2018. 



Neraca pembayaran yang defisit menggambarkan devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk, baik itu dari ekspor-impor barang dan jasa maupun investasi (sektor riil dan portofolio). Artinya, perekonomian Turki dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal karena minimnya sokongan devisa. 

Apalagi di sisi transaksi berjalan (current account) Turki juga terus mencatat defisit. Pada akhir 2017, defisit transaksi berjalan Turki mencapai 5,54% dari PDB.  

 

Defisit transaksi berjalan yang masih besar tentu bukan kabar baik. Transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Sifat devisa ini lebih berkesinambungan (sustainable) ketimbang arus modal portofolio di sektor keuangan alias hot money. Kala pijakan devisa dari perdagangan ini tidak menudukung, maka posisi mata uang akan mudah goyah.

Dengan kombinasi faktor-faktor tersebut, pasar pun kemudian 'menghukum' Turki. Aset-aset berbasis lira dilepas, dan mata uang ini pun terjun bebas.  

Namun, seperti halnya Venezuela, Turki menyalahkan kekuatan asing. Lagi-lagi AS yang dituding mengajak 'perang' dengan Turki. 

Beberapa waktu lalu, AS menerapkan kenaikan bea masuk terhadap produk baja dan aluminium dari Turki. Tidak lama setelah itu, Turki membalas dengan membebankan bea masuk terhadap produk-produk made in USA seperti minuman beralkohol, tembakau, sampai kosmetika. 

Hubungan Washington-Ankara memanas karena Turki mengenakan penahanan rumah terhadap pendeta asal AS, Andrew Brunson. Pengadilan Turki memvonis Brunson atas tuduhan ikut serta dalam upaya kudeta yang gagal pada 2016. 

"Tujuan dari operasi ini adalah untuk membuat Turki menyerah di segala bidang, dari keuangan hingga politik. Kita sedang menghadapi perang ekonomi. Dengan restu Tuhan kita akan menyelesaikan ini," kata Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki, dikutip dari Reuters

Turki juga memilih jalan menyalahkan pihak lain ketimbang memperbaiki diri sendiri. Andai saja (sekali lagi, andai) Turki menjaga transaksi berjalannya agar defisit atau mengelola utang luar negeri agar lebih sehat, bisa jadi situasinya tidak akan seperti sekarang. 

(aji/prm)
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular