Bedanya Venezuela, Turki, dan Argentina dalam Sikapi Krisis
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 September 2018 13:37

Mungkin Venezuela dan Turki perlu belajar dari Argentina. Negeri Tango juga mengalami nestapa ekonomi karena depresiasi nilai tukar peso. Sejak awal tahun, peso melemah 51,9% terhadap dolar AS.
Untuk melawan pelemahan peso, Bank Sentral Argentina (BCRA) bukannya tanpa usaha. Salah satunya adalah dengan menggunakan cadangan devisa. Per akhir Juli 2018, cadangan devisa Argentina tercatat US$57,93 miliar. Turun 7,13% dibandingkan posisi awal tahun.
Tidak hanya menguras cadangan devisa, BCRA pun menaikkan suku bunga acuan dengan sangat agresif. Saat ini, suku bunga acuan di Argentina mencapai 60%! Naik tajam dibandingkan awal tahun yang 'hanya' 27,25%.
Meski suku bunga acuan sudah dinaikkan begitu rupa, tetapi arus modal tak kunjung mau hinggap ke Argentina. Salah satu indikatornya adalah kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah.
Saat ini, yield obligasi pemerintah Argentina seri acuan tenor 10 tahun berada di 5,96%. Melonjak 267 basis poin (bps) dibandingkan posisi setahun sebelumnya.
Tanpa sokongan arus modal yang memadai, mata uang peso tak berdaya. Sebab, seperti halnya Turki, Argentina mengalami masalah defisit di transaksi berjalan. Pada akhir kuartal I-2018, transaksi berjalan Argentina membukukan defisit 6,35% terhadap PDB. Lebih dalam ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 4,92% PDB.
Bagi Argentina, pelemahan kurs bukan kabar baik karena negara ini berstatus net importir. Pada Juli 2018, neraca perdagangan Argentina mencatatkan defisit US$0,79 miliar. Lebih dalam ketimbang bulan sebelumnya yang sebesar US$0,38 miliar maupun periode yang sama pada 2017 yaitu US$0,75 miliar.
Pelemahan kurs sejatinya adalah puncak dari gunung es dari masalah ekonomi yang melanda Argentina. Dari sisi fiskal, Argentina tengah menjalani periode berat karena masa transisi yang agak ekstrem.
Sejak 2002, Argentina mematok harga komoditas energi. Selain itu, pemerintah juga memberikan berbagai subsidi dan jaring pengaman sosial. Berbagai fasilitas itu memakan hampir setengah dari anggaran negara di Argentina.
Setelah Mauricio Macri terpilih jadi presiden pada 2015, dia mengubah pola tersebut. Eks Presiden Boca Juniors, klub sepakbola papan atas Argentina, itu membuat anggaran negara lebih pro pasar.
Hasilnya mulai terlihat, defisit anggaran Argentina terus menurun, pertanda fiskal yang lebih sehat. Tahun lalu, defisit anggaran Argentina adalah 3,9% PDB. Turun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 4,6% PDB.
Namun, pengurangan subsidi berarti rakyat harus membayar lebih mahal. Kebijakan ini menyebabkan laju inflasi melesat.
Pada Juli 2018, inflasi di Argentina mencapai 31,2% year-on-year (YoY). Terakselerasi dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 29,5% YoY.
Inflasi yang melesat ini sedikit banyak berkontribusi terhadap depresiasi mata uang peso. Ketika inflasi tinggi, maka nilai mata uang semakin turun. Tidak heran bahwa setiap kali inflasi tinggi pasti diiringi dengan depresiasi kurs.
Masalah lain yang dihadapi Argentina adalah penurunan kinerja ekspor. Argentina, lagi-lagi seperti Indonesia, masih mengandalkan komoditas sebagai andalan ekspor. Celakanya, harga komoditas tahun ini sedang jeblok.
Komoditas andalan ekspor Argentina antara lain adalah kedelai. Sejak awal tahun, harga kedelai dunia turun 16,79%.
Tidak hanya dihantam dari sisi harga, produksi kedelai Argentina pun anjlok karena kekeringan. Mengutip data Kementerian Pertanian AS, produksi kedelai Argentina tahun ini diperkirakan sebesar 1,4 miliar ton. Turun 31% dibandingkan 2017 dan menjadi tingkat produksi terendah dalam 10 tahun.
Tanpa sokongan domestik yang kuat, peso pun tiarap. Namun Argentina tidak menyalahkan pihak lain atas berbagai masalah yang mereka alami. Argentina memilih mencari solusi, meski itu pahit dan menyakitkan.
Argentina tidak punya pilihan selain memanggil IMF. Argentina memang telah menyepakati fasilitas pinjaman IMF sebesar US$50 miliar, dan sepertinya akan dipakai dalam waktu dekat.
Namun, masuknya IMF bukan tanpa komplikasi. Argentina, sepeti pasien-pasien IMF lainnya, harus menyepakati berbagai resep dari lembaga multilateral tersebut. Salah satu resep IMF yang paling terkenal adalah penghematan anggaran dengan memangkas subsidi.
"Kami akan membantu IMF dengan berbagai hal yang diperlukan dari sisi fiskal," kata Presiden Macri. Hal ini langsung memantik amarah rakyat.
Confederacion General del Trabajo (CGT), serikat pekerja terbesar di Argentina, berencana menggelar mogok kerja massal selama sehari penuh pada 25 September untuk menolak program pengetatan ikat pinggang dari pemerintah. Serikat pekerja lainnya juga mengancam melakukan mogok kerja selama 36 jam pada 24 September.
Argentina memang tengah menjalani periode pelik. Namun mereka tidak mau menyerah dan menyalahkan orang lain. Argentina bersedia menelan pil pahit dengan memanggil IMF. Memang sakit, tapi setidaknya mereka cukup jantan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa harus menyalahkan kekuatan asing.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/prm)
Untuk melawan pelemahan peso, Bank Sentral Argentina (BCRA) bukannya tanpa usaha. Salah satunya adalah dengan menggunakan cadangan devisa. Per akhir Juli 2018, cadangan devisa Argentina tercatat US$57,93 miliar. Turun 7,13% dibandingkan posisi awal tahun.
Meski suku bunga acuan sudah dinaikkan begitu rupa, tetapi arus modal tak kunjung mau hinggap ke Argentina. Salah satu indikatornya adalah kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah.
Saat ini, yield obligasi pemerintah Argentina seri acuan tenor 10 tahun berada di 5,96%. Melonjak 267 basis poin (bps) dibandingkan posisi setahun sebelumnya.
Tanpa sokongan arus modal yang memadai, mata uang peso tak berdaya. Sebab, seperti halnya Turki, Argentina mengalami masalah defisit di transaksi berjalan. Pada akhir kuartal I-2018, transaksi berjalan Argentina membukukan defisit 6,35% terhadap PDB. Lebih dalam ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 4,92% PDB.
Bagi Argentina, pelemahan kurs bukan kabar baik karena negara ini berstatus net importir. Pada Juli 2018, neraca perdagangan Argentina mencatatkan defisit US$0,79 miliar. Lebih dalam ketimbang bulan sebelumnya yang sebesar US$0,38 miliar maupun periode yang sama pada 2017 yaitu US$0,75 miliar.
Pelemahan kurs sejatinya adalah puncak dari gunung es dari masalah ekonomi yang melanda Argentina. Dari sisi fiskal, Argentina tengah menjalani periode berat karena masa transisi yang agak ekstrem.
Sejak 2002, Argentina mematok harga komoditas energi. Selain itu, pemerintah juga memberikan berbagai subsidi dan jaring pengaman sosial. Berbagai fasilitas itu memakan hampir setengah dari anggaran negara di Argentina.
Setelah Mauricio Macri terpilih jadi presiden pada 2015, dia mengubah pola tersebut. Eks Presiden Boca Juniors, klub sepakbola papan atas Argentina, itu membuat anggaran negara lebih pro pasar.
Hasilnya mulai terlihat, defisit anggaran Argentina terus menurun, pertanda fiskal yang lebih sehat. Tahun lalu, defisit anggaran Argentina adalah 3,9% PDB. Turun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 4,6% PDB.
Namun, pengurangan subsidi berarti rakyat harus membayar lebih mahal. Kebijakan ini menyebabkan laju inflasi melesat.
Pada Juli 2018, inflasi di Argentina mencapai 31,2% year-on-year (YoY). Terakselerasi dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 29,5% YoY.
Inflasi yang melesat ini sedikit banyak berkontribusi terhadap depresiasi mata uang peso. Ketika inflasi tinggi, maka nilai mata uang semakin turun. Tidak heran bahwa setiap kali inflasi tinggi pasti diiringi dengan depresiasi kurs.
Masalah lain yang dihadapi Argentina adalah penurunan kinerja ekspor. Argentina, lagi-lagi seperti Indonesia, masih mengandalkan komoditas sebagai andalan ekspor. Celakanya, harga komoditas tahun ini sedang jeblok.
![]() Pertumbuhan Ekonomi Argentina |
Tidak hanya dihantam dari sisi harga, produksi kedelai Argentina pun anjlok karena kekeringan. Mengutip data Kementerian Pertanian AS, produksi kedelai Argentina tahun ini diperkirakan sebesar 1,4 miliar ton. Turun 31% dibandingkan 2017 dan menjadi tingkat produksi terendah dalam 10 tahun.
Tanpa sokongan domestik yang kuat, peso pun tiarap. Namun Argentina tidak menyalahkan pihak lain atas berbagai masalah yang mereka alami. Argentina memilih mencari solusi, meski itu pahit dan menyakitkan.
Argentina tidak punya pilihan selain memanggil IMF. Argentina memang telah menyepakati fasilitas pinjaman IMF sebesar US$50 miliar, dan sepertinya akan dipakai dalam waktu dekat.
Namun, masuknya IMF bukan tanpa komplikasi. Argentina, sepeti pasien-pasien IMF lainnya, harus menyepakati berbagai resep dari lembaga multilateral tersebut. Salah satu resep IMF yang paling terkenal adalah penghematan anggaran dengan memangkas subsidi.
"Kami akan membantu IMF dengan berbagai hal yang diperlukan dari sisi fiskal," kata Presiden Macri. Hal ini langsung memantik amarah rakyat.
Confederacion General del Trabajo (CGT), serikat pekerja terbesar di Argentina, berencana menggelar mogok kerja massal selama sehari penuh pada 25 September untuk menolak program pengetatan ikat pinggang dari pemerintah. Serikat pekerja lainnya juga mengancam melakukan mogok kerja selama 36 jam pada 24 September.
Argentina memang tengah menjalani periode pelik. Namun mereka tidak mau menyerah dan menyalahkan orang lain. Argentina bersedia menelan pil pahit dengan memanggil IMF. Memang sakit, tapi setidaknya mereka cukup jantan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa harus menyalahkan kekuatan asing.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/prm)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular