
Apakah Investor Harus Mengkhawatirkan Perekonomian Indonesia?
Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
11 September 2018 17:47

Jakarta, CNBC Indonesia -- Ketidakpastian ekonomi global tidak hanya dipicu oleh tindak tanduk Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Krisis mata uang yang menimpa Turki dan Argentina tak pelak telah menimbulkan guncangan.
Di Asia, salah satu negara yang jadi sorotan, adalah Indonesia. Indonesia memiliki masalah dari sisi defisit perdagangan yang terus meningkat dan tumpukan utang luar negeri.
Di atas kertas, pemangku kepentingan Indonesia telah melakukan berbagai langkah tepat untuk meyakinkan pasar. Mulai dari menaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia hingga penaikan tarif pajak barang impor.
Lalu, apakah langkah-langkah itu sudah menjawab keinginan pasar?
Sebagai catatan, rupiah telah anjlok sekitar 10 persen terhadap US$ pada tahun ini. Nilai itu terakhir kali tampak saat krisis keuangan Asia melanda akhir 1990an.
Beberapa mengaitkan fakta itu laiknya penyakit menular. Namun, menurut Taplin, ada alasan konkret untuk menahan diri, walau yield obligasi Pemerintah Indonesia terlihat menarik di kisaran 8%.
Di permukaan, ekonomi Indonesia jauh lebih sehat dari pada Argentina. Utang pemerintah masih aman, yaitu sekitar 29% terhadap PDB.
Selain itu, Indonesia masih memperoleh dana dari ekspor dan itu membantu melunasi utang ke kreditur asing. Utang luar negeri jangka pendek setara 27% dari nilai ekspor per Juli lalu.
Nilai itu, menurut Nomura, jauh lebih rendah ketimbang Argentina (141%) dan Turki (76%).
Taplin menilai Indonesia serupa dengan China dari aspek ketergantungan terhadap BUMN untuk investasi. Namun, keuangan perusahaan pelat merah tidak dalam kondisi baik.
Indonesia, lanjut Taplin, juga terlihat rentan karena merupakan eksportir besar batu bara dan pengimpor besar minyak. Faktor yang pertama amat rentan terhadap perlambatan ekonomi China.
Harga batu bara Indonesia untuk kalori rendah telah jatuh sejak Juni. Sementara harga minyak masih tetap tinggi. Defisit perdagangan Juli 2018 yang tercatat terbesar sejak 2013 sebagian besar dipicu impor minyak, komoditas energi, yang masif.
Menutup kolomnya, Taplin menyampaikan peringatan kepada para investor.
"Indonesia bukan Turki maupun Argentina, tetapi investor berhak untuk khawatir," tulis Taplin.
(miq/miq) Next Article 77 Tahun RI Merdeka, Begini Sejarah Pergerakan Rupiah
Di Asia, salah satu negara yang jadi sorotan, adalah Indonesia. Indonesia memiliki masalah dari sisi defisit perdagangan yang terus meningkat dan tumpukan utang luar negeri.
Di atas kertas, pemangku kepentingan Indonesia telah melakukan berbagai langkah tepat untuk meyakinkan pasar. Mulai dari menaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia hingga penaikan tarif pajak barang impor.
"Investor masih belum yakin," tulis Nathaniel Taplin dalam kolomnya di Wall Street Journal edisi 11 September 2018.
Sebagai catatan, rupiah telah anjlok sekitar 10 persen terhadap US$ pada tahun ini. Nilai itu terakhir kali tampak saat krisis keuangan Asia melanda akhir 1990an.
Di permukaan, ekonomi Indonesia jauh lebih sehat dari pada Argentina. Utang pemerintah masih aman, yaitu sekitar 29% terhadap PDB.
Selain itu, Indonesia masih memperoleh dana dari ekspor dan itu membantu melunasi utang ke kreditur asing. Utang luar negeri jangka pendek setara 27% dari nilai ekspor per Juli lalu.
Nilai itu, menurut Nomura, jauh lebih rendah ketimbang Argentina (141%) dan Turki (76%).
Taplin menilai Indonesia serupa dengan China dari aspek ketergantungan terhadap BUMN untuk investasi. Namun, keuangan perusahaan pelat merah tidak dalam kondisi baik.
Indonesia, lanjut Taplin, juga terlihat rentan karena merupakan eksportir besar batu bara dan pengimpor besar minyak. Faktor yang pertama amat rentan terhadap perlambatan ekonomi China.
Harga batu bara Indonesia untuk kalori rendah telah jatuh sejak Juni. Sementara harga minyak masih tetap tinggi. Defisit perdagangan Juli 2018 yang tercatat terbesar sejak 2013 sebagian besar dipicu impor minyak, komoditas energi, yang masif.
Menutup kolomnya, Taplin menyampaikan peringatan kepada para investor.
"Indonesia bukan Turki maupun Argentina, tetapi investor berhak untuk khawatir," tulis Taplin.
(miq/miq) Next Article 77 Tahun RI Merdeka, Begini Sejarah Pergerakan Rupiah
Most Popular