Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan mata uang sangat terkait dengan aktivitas ekonomi terutama perdagangan dan investasi. Namun di negara yang mengalami defisit neraca transaksi berjalan (current account) seperti Indonesia, faktor moneter jadi penentu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juni 2018, tiga negara yang memiliki nilai perdagangan non-migas terbesar dengan Indonesia sepanjang Januari-Juni 2018 adalah China, Jepang, dan Amerika Serikat (AS).
Tidak heran, ketiga mata uang tersebut menjadi perhatian utama para pebisnis dan trader nasional sehingga diperhatikan arah pergerakannya dari hari ke hari.
Di tengah defisit neraca transaksi berjalan yang berujung pada minusnya aliran dana asing dari aktivitas perdagangan, jasa dan investasi, nilai tukar rupiah yang mereka pegang pun menjadi sangat dipengaruhi faktor non-fundamental perekonomian, yakni dari intervensi moneter.
Oleh karena itu, kami mencoba memproyeksikan bagaimana pergerakan mata uang yuan China, yen Jepang, dan dolar Amerika Serikat (AS), dengan mempertimbangkan kebijakan bank sentral nasional dan dikaitkan dengan dinamika fundamental ekonomi masing-masing negara.
Sebagaimana diketahui, hari ini Bank Indonesia (BI) dijadwalkan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang salah satu agendanya adalah mengumumkan tingkat suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI Repo Rate). Berikut ini ulasannya.
Rupiah sepanjang tahun ini cenderung melemah terhadap dolar AS. Sejak akhir pekan lalu, rupiah telah melemah 0,17% di hadapan mata uang tersebut. Tren ini berpeluang berlanjut karena mata uang Negeri Paman Sam itu mendapat angin segar dari paparan Gubernur Federal Reserve.
Di Senat AS, bos The Fed Jerome Powell kembali menegaskan bahwa bank sentral AS masih dalam jalur menaikkan suku bunga secara bertahap.
Meski pasar sudah mengantisipasi hal ini sejak pertengahan Juni lalu, sikap terbaru yang ditunjukkan Powell ini masih menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Pelaku pasar makin yakin ada kenaikan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018, lebih banyak dari perkiraan semula tiga kali.
Sentimen ini berhasil menjadi bahan bakar bagi penguatan dolar AS. Sebagai informasi, penguatan dolar AS terjadi secara luas, termasuk di Asia. Rupiah pun menjadi korbannya. Pelemahan rupiah masih berpotensi terjadi, bergantung respons kebijakan Bank Indonesia terkait suku bunga acuan.
Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI tetap menahan suku bunga acuan di kisaran 5,25%. Jika benar demikian, potensi pelemahan akan makin besar. Pasalnya, sinyal kuat kenaikan suku bunga acuan di AS bisa menjadi pemberat rupiah.
BI sendiri beberapa waktu sudah "mengikhlaskan" rupiah untuk berada di atas kisaran 14.000 per dolar AS, demi melihat kebijakan hawkish bank sentral dan pemerintah AS.
Seperti halnya yuan, rupiah pun cenderung menguat terhadap yen sejak akhir pekan lalu dengan akumulasi penguatan hingga 0,36%. Namun, penguatan ini tidak akan berlangsung lama karena tensi perang dagang yang memanas bisa mendongkrak permintaan atas mata uang tersebut. Seperti diketahui, yen merupakan salah satu instrumen minim risiko (safe haven). Ketika selera mengambil risiko dalam investasi (risk appetite) investor berkurang akibat perang dagang, mereka beralih ke instrumen tersebut. Kenaikan permintaan yen memperkuat kurs mata uang ini dan menekan rupiah.
Akan tetapi lagi-lagi hal ini bergantung bagaimana kondisi perang dagang global ke depannya. Apakah akan terus memanas atau mereda? Semua itu bergantung pada Presiden AS, Donald Trump yang memang merupakan biang perang dagang saat ini. Kondisi ini pun berdampak kepada permintaan yen ke depannya yang ikut turun. Akibatnya, yen cenderung melemah dan memberi kesempatan rupiah menguat. Jika sebaliknya yang terjadi, maka peluang yen menguat pun tinggi dan menekan posisi rupiah. Dengan kenaikan BI Repo Rate, rupiah memiliki nilai tawar yang sedikit lebih baik di pasar keuangan dibandingkan dengan negara lain karena menjadi sasaran carry trade para investor global, di mana mereka mengambil pinjaman dari bank negaranya yang bersuku bunga kecil dan memutarnya ke negara lain, seperti Indonesia, yang bersuku bunga tinggi.
Sejak akhir pekan lalu, nilai tukar rupiah terhadap yuan terus menguat. Dalam tiga hari ini saja, rupiah menguat hingga 0,26% menyusul tanda-tanda kelesuan ekonomi China. Rilis produk domestik bruto (PDB) kuartal II-2018 hanya tumbuh 6,7%, lebih rendah dari kuartal I-2018 yang mencapai 6,8%. Salah satu yang mempengaruhi hal tersebut adalah turunnya produktivitas manufaktur. Data National Bureau Statistics of China memperlihatkan indeks manufaktur pada Juni hanya sebesar 51,5 atau turun 0,04 poin dibandingkan bulan sebelumnya.
Dalam periode yang sama tingkat produktivitas hanya tumbuh 6% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dari periode bulan sebelumnya yang mencapai 6,8% YoY. Melemahnya sektor industri ini menekan pertumbuhan PDB China pada kuartal II, diikuti melemahnya yuan. Menurut kami, rupiah kemungkinan terus menguat dipicu beberapa faktor seperti perang dagang dengan AS. Ketegangan dengan Negeri Paman Sam sempat mendorong bank sentral China mengintervensi pasar mata uang guna menaikkan nilai kurs yuan.
Harapannya, kebijakan ini akan meredakan sikap pro perang (hawkish) Trump. Namun, langkah itu terbukti tidak digubris oleh Gedung Putih yang sekonyong-konyong menetapkan tarif terhadap produk impor China senilai total US$34 miliar (Rp 490 triliun).
Kini, di tengah perang dagang yang telah berkobar, bank sentral China tak punya pilihan lain selain terus melemahkan mata uangnya guna mendongkrak daya saing ekspor mereka. Kondisi pelemahan yuan yang disengaja, tentu dapat mendorong rupiah bergerak menguat. Di sisi lain, faktor perputaran modal asing di negara tersebut juga dipertimbangkan. Selama tahun berjalan (year-to-date/Ytd) hingga 31 Mei 2018, aliran modal asing yang keluar dari Tiongkok mencapai US$90,54 miliar. Meningkatnya tensi dagang rupanya ikut memengaruhi aliran modal asing, sehingga ketika tensi tersebut memanas akan berdampak kepada modal asing yang keluar dari Tiongkok. Akibatnya, yuan pun cenderung melemah dan memberikan peluang bagi penguatan rupiah terlebih jika BI Repo Rate dinaikkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA