
Jelang RDG BI, Perhatikan Arah Tiga Mata Uang Ini
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
19 July 2018 08:31

Sejak akhir pekan lalu, nilai tukar rupiah terhadap yuan terus menguat. Dalam tiga hari ini saja, rupiah menguat hingga 0,26% menyusul tanda-tanda kelesuan ekonomi China. Rilis produk domestik bruto (PDB) kuartal II-2018 hanya tumbuh 6,7%, lebih rendah dari kuartal I-2018 yang mencapai 6,8%.
Salah satu yang mempengaruhi hal tersebut adalah turunnya produktivitas manufaktur. Data National Bureau Statistics of China memperlihatkan indeks manufaktur pada Juni hanya sebesar 51,5 atau turun 0,04 poin dibandingkan bulan sebelumnya.
Dalam periode yang sama tingkat produktivitas hanya tumbuh 6% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dari periode bulan sebelumnya yang mencapai 6,8% YoY. Melemahnya sektor industri ini menekan pertumbuhan PDB China pada kuartal II, diikuti melemahnya yuan.
Menurut kami, rupiah kemungkinan terus menguat dipicu beberapa faktor seperti perang dagang dengan AS. Ketegangan dengan Negeri Paman Sam sempat mendorong bank sentral China mengintervensi pasar mata uang guna menaikkan nilai kurs yuan.
Harapannya, kebijakan ini akan meredakan sikap pro perang (hawkish) Trump. Namun, langkah itu terbukti tidak digubris oleh Gedung Putih yang sekonyong-konyong menetapkan tarif terhadap produk impor China senilai total US$34 miliar (Rp 490 triliun).
Kini, di tengah perang dagang yang telah berkobar, bank sentral China tak punya pilihan lain selain terus melemahkan mata uangnya guna mendongkrak daya saing ekspor mereka. Kondisi pelemahan yuan yang disengaja, tentu dapat mendorong rupiah bergerak menguat.
Di sisi lain, faktor perputaran modal asing di negara tersebut juga dipertimbangkan. Selama tahun berjalan (year-to-date/Ytd) hingga 31 Mei 2018, aliran modal asing yang keluar dari Tiongkok mencapai US$90,54 miliar.
Meningkatnya tensi dagang rupanya ikut memengaruhi aliran modal asing, sehingga ketika tensi tersebut memanas akan berdampak kepada modal asing yang keluar dari Tiongkok. Akibatnya, yuan pun cenderung melemah dan memberikan peluang bagi penguatan rupiah terlebih jika BI Repo Rate dinaikkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/prm)
Salah satu yang mempengaruhi hal tersebut adalah turunnya produktivitas manufaktur. Data National Bureau Statistics of China memperlihatkan indeks manufaktur pada Juni hanya sebesar 51,5 atau turun 0,04 poin dibandingkan bulan sebelumnya.
Dalam periode yang sama tingkat produktivitas hanya tumbuh 6% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dari periode bulan sebelumnya yang mencapai 6,8% YoY. Melemahnya sektor industri ini menekan pertumbuhan PDB China pada kuartal II, diikuti melemahnya yuan.
Menurut kami, rupiah kemungkinan terus menguat dipicu beberapa faktor seperti perang dagang dengan AS. Ketegangan dengan Negeri Paman Sam sempat mendorong bank sentral China mengintervensi pasar mata uang guna menaikkan nilai kurs yuan.
Kini, di tengah perang dagang yang telah berkobar, bank sentral China tak punya pilihan lain selain terus melemahkan mata uangnya guna mendongkrak daya saing ekspor mereka. Kondisi pelemahan yuan yang disengaja, tentu dapat mendorong rupiah bergerak menguat.
Di sisi lain, faktor perputaran modal asing di negara tersebut juga dipertimbangkan. Selama tahun berjalan (year-to-date/Ytd) hingga 31 Mei 2018, aliran modal asing yang keluar dari Tiongkok mencapai US$90,54 miliar.
Meningkatnya tensi dagang rupanya ikut memengaruhi aliran modal asing, sehingga ketika tensi tersebut memanas akan berdampak kepada modal asing yang keluar dari Tiongkok. Akibatnya, yuan pun cenderung melemah dan memberikan peluang bagi penguatan rupiah terlebih jika BI Repo Rate dinaikkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/prm)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular