
Likuidiitas Bank Sudah Ketat, Waktunya Andalkan Fintech?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 August 2019 09:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Di dalam sebuah perekonomian, perbankan memegang peranan yang sangat-sangat vital. Pasalnya, perbankan menjadi lembaga intermediasi yang mempertemukan (secara tak langsung) pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang kelebihan dana.
Namun, saat ini perbankan di tanah air sedang menghadapi likuiditas ketat karena terlalu nafsu menyalurkan kredit demi mempertahankan keuntungan sementara di saat yang sama pengumpulan dana masyarakat seret.
Melansir Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode Mei 2019 yang dipublikasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dana Pihak Ketiga (DPK) bank umum konvensional tercatat senilai Rp 5.414,6 triliun, naik 6,28% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian pada Mei 2018 yakni pertumbuhan sebesar 6,31% YoY.
Dari sisi kredit, OJK mencatat bahwa penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank adalah senilai Rp 5.208,1 triliun, naik 11,1% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih baik ketimbang capaian pada Mei 2018 yakni pertumbuhan sebesar 10,4% saja.
Wajar jika rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau loan to deposits ratio (LDR) bank umum melonjak menjadi 96,19% per Mei 2019, dari yang sebelumnya 91,99% pada Mei 2018.
Untuk diketahui, LDR merupakan rasio yang jamak digunakan untuk mengukur likuiditas. Semakin tinggi LDR, maka likuiditas perbankan bisa dikatakan semakin ketat.
Kalau sudah begini, ruang gerak perbankan menjadi sangat terbatas. Tak bisa lagi perbankan menyalurkan kredit dengan kelewat kencang kalau tak ada asupan DPK yang memadai.
Lantas, apakah industri peer-to-peer (P2P) lending menjadi jawabannya? Seperti kita ketahui bersama, fintech lending telah begitu menjamur dalam beberapa waktu terakhir. Jumlah pinjaman yang disalurkan juga terus-menerus melejit.
Melansir Perkembangan Fintech Lending yang dipublikasikan oleh OJK, per Juni 2019 terdapat Rp 44,81 triliun pinjaman yang disalurkan oleh fintech lending. Nilai tersebut melejit hingga 97,68% jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun lalu (year-to-date).
Namun, kami memandang bahwa fintech lending bukanlah sebuah opsi yang tepat untuk mendongkrak penyaluran kredit. Pasalnya, walaupun terus melejit, nilai pinjaman yang disalurkan oleh fintech lending masih kalah jauh jika dibandingkan dengan perbankan yang mencapai lebih dari Rp 5.000 triliun.
Butuh pemberian insentif secara besar-besaran supaya para pemodal (terutama yang dananya belum ditanamkan di dalam negeri) berbondong-bondong masuk dan memperbesar kapasitas fintech lending.
Itupun mungkin belum akan cukup. Pasalnya, hingga kini baru ada 7 fintech yang memiliki izin, sementara sebanyak 128 fintech hanya berstatus terdaftar. Untuk diketahui, sebuah fintech baru dikategorikan berizin jika mereka sudah terdaftar dan memenuhi aturan permodalan yang ditetapkan OJK.
Dengan minimnya jumlah fintech berizin yang ada di Indonesia, opsi bagi pemodal besar untuk menanamkan dananya praktis menjadi terbatas.
Kemudian soal jangka waktu dan besar pinjaman yang diberikan. OJK membatasi jangka waktu penyaluran kredit maksimal 24 bulan dengan besaran Rp 2 miliar per debitur
Kemudian, ada juga permasalahan bunga yang begitu tinggi. Selama ini, fintech mematok bunga kredit tinggi nan-mencekik bagi para peminjam (debitur) guna mengompensasi tingginya bunga simpanan yang mereka berikan ke para krediturnya.
PT. Financcel Digital Indonesia misalnya, melalui platform Kredivo menawarkan pinjaman konsumsi bertenor 12 bulan dengan bunga 24%. Ada pula PT Layanan Keuangan Berbagi yang beroperasi dengan brand DanaRupiah dan menawarkan kredit dengan bunga 28% per tahun plus biaya platform 8%. Jika ditotal, biayanya adalah 36%.
Bandingkan dengan suku bunga kredit yang ditawarkan oleh perbankan. Per Mei 2019, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk konsumsi (denominasi rupiah) adalah sebesar 11,57%. Ada selisih yang sangat besar dengan fintech lending yang memberikan bunga hingga 30% lebih.
Tingginya tingkat suku bunga kredit yang dikenakan tentu membuat potensi gagal bayar menjadi besar. Memang, sejauh ini para debitur di fintech lending masih terbilang oke dalam melunasi pinjamannya.
Data OJK menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan bayar selama 90 hari (TKB90) berada di level 98,25%. Artinya, hanya 1,75% pinjaman atau setara Rp 784,18 miliar yang gagal bayar. Namun, kalau fintech lending didorong untuk menjadi besar, tentu bukan tak mungkin persentase tingkat keberhasilan bayarnya akan anjlok.
Kala fintech lending didorong untuk menjadi besar, ada kemungkinan bahwa nasabah yang sebelumnya enggan untuk menarik pinjaman di sana, menjadi tergiur untuk mendapatkan dana segar secara mudah.
Ujung-ujungnya jika terjadi default di tubuh fintech lending, yang dirugikan adalah masyarakat yang menaruh dananya di sana. Perekonomian akan terganggu dan niat untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi pastinya tak akan tercapai.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
(ank/roy) Next Article Ngemplang Duit Fintech, Siap-siap Gak Bisa Ngutang Lagi
Namun, saat ini perbankan di tanah air sedang menghadapi likuiditas ketat karena terlalu nafsu menyalurkan kredit demi mempertahankan keuntungan sementara di saat yang sama pengumpulan dana masyarakat seret.
Melansir Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode Mei 2019 yang dipublikasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dana Pihak Ketiga (DPK) bank umum konvensional tercatat senilai Rp 5.414,6 triliun, naik 6,28% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian pada Mei 2018 yakni pertumbuhan sebesar 6,31% YoY.
Dari sisi kredit, OJK mencatat bahwa penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank adalah senilai Rp 5.208,1 triliun, naik 11,1% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih baik ketimbang capaian pada Mei 2018 yakni pertumbuhan sebesar 10,4% saja.
Wajar jika rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau loan to deposits ratio (LDR) bank umum melonjak menjadi 96,19% per Mei 2019, dari yang sebelumnya 91,99% pada Mei 2018.
Untuk diketahui, LDR merupakan rasio yang jamak digunakan untuk mengukur likuiditas. Semakin tinggi LDR, maka likuiditas perbankan bisa dikatakan semakin ketat.
Kalau sudah begini, ruang gerak perbankan menjadi sangat terbatas. Tak bisa lagi perbankan menyalurkan kredit dengan kelewat kencang kalau tak ada asupan DPK yang memadai.
Lantas, apakah industri peer-to-peer (P2P) lending menjadi jawabannya? Seperti kita ketahui bersama, fintech lending telah begitu menjamur dalam beberapa waktu terakhir. Jumlah pinjaman yang disalurkan juga terus-menerus melejit.
Melansir Perkembangan Fintech Lending yang dipublikasikan oleh OJK, per Juni 2019 terdapat Rp 44,81 triliun pinjaman yang disalurkan oleh fintech lending. Nilai tersebut melejit hingga 97,68% jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun lalu (year-to-date).
Namun, kami memandang bahwa fintech lending bukanlah sebuah opsi yang tepat untuk mendongkrak penyaluran kredit. Pasalnya, walaupun terus melejit, nilai pinjaman yang disalurkan oleh fintech lending masih kalah jauh jika dibandingkan dengan perbankan yang mencapai lebih dari Rp 5.000 triliun.
Butuh pemberian insentif secara besar-besaran supaya para pemodal (terutama yang dananya belum ditanamkan di dalam negeri) berbondong-bondong masuk dan memperbesar kapasitas fintech lending.
Itupun mungkin belum akan cukup. Pasalnya, hingga kini baru ada 7 fintech yang memiliki izin, sementara sebanyak 128 fintech hanya berstatus terdaftar. Untuk diketahui, sebuah fintech baru dikategorikan berizin jika mereka sudah terdaftar dan memenuhi aturan permodalan yang ditetapkan OJK.
Dengan minimnya jumlah fintech berizin yang ada di Indonesia, opsi bagi pemodal besar untuk menanamkan dananya praktis menjadi terbatas.
Kemudian soal jangka waktu dan besar pinjaman yang diberikan. OJK membatasi jangka waktu penyaluran kredit maksimal 24 bulan dengan besaran Rp 2 miliar per debitur
Kemudian, ada juga permasalahan bunga yang begitu tinggi. Selama ini, fintech mematok bunga kredit tinggi nan-mencekik bagi para peminjam (debitur) guna mengompensasi tingginya bunga simpanan yang mereka berikan ke para krediturnya.
PT. Financcel Digital Indonesia misalnya, melalui platform Kredivo menawarkan pinjaman konsumsi bertenor 12 bulan dengan bunga 24%. Ada pula PT Layanan Keuangan Berbagi yang beroperasi dengan brand DanaRupiah dan menawarkan kredit dengan bunga 28% per tahun plus biaya platform 8%. Jika ditotal, biayanya adalah 36%.
Bandingkan dengan suku bunga kredit yang ditawarkan oleh perbankan. Per Mei 2019, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk konsumsi (denominasi rupiah) adalah sebesar 11,57%. Ada selisih yang sangat besar dengan fintech lending yang memberikan bunga hingga 30% lebih.
Tingginya tingkat suku bunga kredit yang dikenakan tentu membuat potensi gagal bayar menjadi besar. Memang, sejauh ini para debitur di fintech lending masih terbilang oke dalam melunasi pinjamannya.
Data OJK menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan bayar selama 90 hari (TKB90) berada di level 98,25%. Artinya, hanya 1,75% pinjaman atau setara Rp 784,18 miliar yang gagal bayar. Namun, kalau fintech lending didorong untuk menjadi besar, tentu bukan tak mungkin persentase tingkat keberhasilan bayarnya akan anjlok.
Kala fintech lending didorong untuk menjadi besar, ada kemungkinan bahwa nasabah yang sebelumnya enggan untuk menarik pinjaman di sana, menjadi tergiur untuk mendapatkan dana segar secara mudah.
Ujung-ujungnya jika terjadi default di tubuh fintech lending, yang dirugikan adalah masyarakat yang menaruh dananya di sana. Perekonomian akan terganggu dan niat untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi pastinya tak akan tercapai.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
(ank/roy) Next Article Ngemplang Duit Fintech, Siap-siap Gak Bisa Ngutang Lagi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular