Newsletter

Emas Pesta Pora, Saham Malah Merana

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
21 March 2023 06:05
Bursa efek Indonesia
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Volatitlias IHSG dan rupiah masih cukup tinggi sehingga keduanya kembali merana kemarin
  • Wall Street kembali bangkit ditopang oleh saham perbankan di AS
  • Harga emas sempat mencetak rekor, tetapi mulai melandai sedikit kemarin

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia cenderung kurang menggembirakan pada perdagangan Senin (20/3/2023) kemarin, di mana investor masih cenderung mengamati perkembangan dari krisis perbankan di Amerika Serikat (AS).

Kembali hijaunya Wall Street diharapkan menular ke pasar saham Indonesia dan memberi suntikan positif ke rupiah dan pasar obligasi. Selengkapnya mengenai sentimen dan seperti apa proyeksi pergerakan IHSG hari ini bisa dibaca pada halaman 4 artikel ini.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah ditutup terkoreksi, sedangkan untuk harga obligasi pemerintah RI terpantau bervariasi.

Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup merosot 0,98% ke posisi 6.612,49. IHSG masih diperdagangkan di level psikologis 6.600 kemarin.

 

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 7,8 triliun dengan melibatkan 19 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali. Sebanyak 175 saham menguat, 346 saham melemah, dan 189 saham lainnya stagnan.

Investor asing pun mencatatkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 583,36 miliar di seluruh pasar pada perdagangan kemarin.

Sementara itu di kawasan Asia-Pasifik, pada perdagangan kemarin kompak berakhir di zona merah, tidak ada satupun yang menguat. Indeks Hang Seng Hong Kong menjadi yang paling parah koreksinya, disusul Nikkei 225 Jepang dan ASX 200 Australia.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Senin kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan kemarin juga ditutup melemah di hadapan dolar AS, atau The Greenback. Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 15.355/US$, melemah 0,1% di pasar spot kemarin.

Namun sayangnya, di kawasan Asia sendiri secara mayoritas menguat di hadapan The Greenback. Rupiah mengikuti rupee India, won Korea Selatan, dan dolar Singapura.

Sedangkan untuk yuan China, dolar Hong Kong, yen Jepang, peso Filipina, baht Thailand, dan dolar Taiwan terpantau ditutup di zona hijau.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Senin kemarin.

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya cenderung beragam, menandakan bahwa imbal hasil (yield) juga bervariasi dan sikap investor juga beragam.

Melansir data dari Refinitiv,SBN tenor 5 dan 10 tahun mengalami penurunan yield yakni masing-masing sebesar 4,4 basis poin (bp) dan 6,2 bp.

Sedangkan untuk SBN tenor 15 dan 20 tahun mengalami kenaikan yield masing-masing 4,4 bp dan 1,1 bp.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

 

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Senin kemarin.

Pelaku pasar masih memantau perkembangan dari krisis perbankan di AS. Mereka akan terus memantau apakah kasus First Republic Bank akan menjadi kasus terakhir atau masih akan ada "korban" baru, meskipun sebelumnya ada kabar baik bahwa 11 bank di AS berniat membantu First Republic Bank agar dampak krisis tidak semakin meluas.

Selain itu, perhatian pasar global tertuju pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada Selasa hingga Rabu pekan ini waktu setempat.

Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) dan beberapa bank di AS lainnya, The Fed diprediksi tidak akan agresif lagi menaikkan suku bunga acuannya yang juga bisa menguntungkan bagi rupiah.

Berdasarkan perangkat FedWatch miliki CME Group pelaku pasar melihat ada probabilitas sebesar 62%, The Fed akan menaikkan suku bunganya lagi sebesar 25 basis poin (bp). Sementara 20% probabilitas sisanya melihat The Fed tidak akan menaikkan suku bunganya.

Ekspektasi tersebut berbalik dengan cepat pasca kolapsnya SVB, sebelumnya pasar yakin The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 bp.

Meskipun optimisme pasar melihat dari inflasi AS yang kembali melandai menjadi 6% pada Februari lalu, The Fed juga mempertimbangkan kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih cukup kuat, sembari juga perlu melihat kondisi perbankan di AS.

Setelah sempat melonjak hingga 1%, harga emas acuan dunia mulai melandai pada perdagangan Senin sore waktu setempat.

Per pukul 17:16 waktu setempat atau pada Selasa hari ini pukul 04:16 WIB, harga emas acuan dunia berbalik arah ke zona koreksi yakni melemah 0,46% ke posisi US$ 1.978,71 per troy ons.

Padahal pada perdagangan Senin siang waktu Indonesia, harga emas sempat melonjak 1% ke level US$ 2.007,69 per troy ons, sekaligus menjadi yang pertama kali bagi emas menembus level US$ 2.000 sejak 8 Maret 2022 atau beberapa hari setelah perang Rusia-Ukraina meletus akhir Februari 2022.

Tak hanya emas dunia yang sempat menyentuh rekor, harga emas Antam juga sempat mencetak rekor termahal pada Sabtu lalu.

Di butik emas LM Graha Dipta Pulo Gadung, harga emas Antam ukuran 1-gram tercatat Rp 1.088. 000 per batang. Tak tanggung-tanggung, harga emas Antam pada Sabtu lalu melonjak Rp 25.000 dibandingkan hari sebelumnya.

Harga emas Anatam hari ini adalah yang tertinggi yang pernah dicatat oleh butik emas Antam. Harga per Sabtu lalu bahkan jauh melampui dari rekor sebelumnya.

Sebagai catatan, harga tertinggi emas Antam sebelumnya tercatat pada 7 Agustus 2020 yakni menembus Rp 1.065.000 per gram.

Harga Emas Antam terus merangkak naik sejak Kamis dua pekan sebelumnya. Dalam sembilan hari perdagangan hingga Sabtu lalu, harga emas Antam sudah melesat Rp 68.000.

Namun setelah mencetak rekor termahal, harga emas Antam pun melandai kemarin, yakni turun sebesar Rp 3.000 menjadi Rp 1.085.000 per batang, meski masih tergolong mahal.

Menurut Edward Moya, analis pasar senior di OANDA, meski harga emas mulai melandai, tetapi emas cenderung masih akan diburu karena kondisi global saat ini masih dilanda ketidakpastian.

"Sementara upaya darurat sedang dilakukan... sekarang Anda melihat bahwa ini masih jauh dari selesai. Aliran safe-haven akan menjadi perdagangan utama," kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA, dikutip dari CNBC International.

Dalam upaya membantu sektor perbankan, bank-bank sentral utama bergerak untuk meningkatkan aliran uang tunai di seluruh dunia.

Di lain sisi, melandainya harga emas dunia juga disebabkan karena imbal hasil (yield) US Treasury mengalami kenaikan, di mana yield Treasury tenor 10 tahun naik 9 basis poin (bp) menjadi 3,496%.

Pergerakan yield obligasi pemerintah dengan harga emas memang berbanding terbalik, di mana jika yield obligasi pemerintah naik, maka emas menjadi kurang diuntungkan. Berlaku juga sebaliknya.

Hal ini karena emas tidak memberikan imbal hasil, sehingga jika ada aset yang memberikan imbal hasil lebih menarik, maka emas kurang diminati.

Meski mulai melandai, tetapi sejatinya emas dunia masih cenderung bullish, karena ketidakpastian kondisi global masih cenderung tinggi.

Sepanjang pekan lalu, harga emas melambung 6,43%. Penguatan sebesar 6,43% juga menjadi rekor terbaiknya sejak Maret 2020 atau tiga tahun terakhir. Pada pekan terakhir Maret 2020 (23-27 Maret 2020), harga emas terbang 8%.

Pada pekan lalu, harga emas terbang setelah Amerika Serikat (AS) dan Eropa digoyang krisis perbankan.

AS guncang setelah Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Bank, dan Signature Bank tumbang sementara Eropa digoyang krisis Credit Suisse.

Prospek emas juga bergantung dari sikap The Fed pada pekan ini. Hal inilah yang membuat pasar bertanya-tanya apakah pergerakan emas dunia masih akan 'moncer' kedepannya.

Jika The Fed memang hanya akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bp seperti keinginan pasar maka harga emas bisa kembali terbang. Sebaliknya, emas bisa terancam jatuh jika The Fed tetap agresif dengan menaikkan suku bunga 50 bp.

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street dibuka cerah bergairah pada perdagangan Senin kemarin, karena pelaku pasar semakin berharap bahwa krisis di sektor perbankan global dapat mereda.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melonjak 1,2% ke posisi 32.244,58, S&P 500 melesat 0,89% ke 3.951,57, dan Nasdaq Composite menguat 0,39% menjadi 11.675,54.

Hal ini terjadi setelah adanya kesepakatan untuk menyelamatkan Credit Suisse dan upaya bank sentral untuk meningkatkan kepercayaan pada sistem keuangan.

Selain itu, pelaku pasar juga berharap bahwa sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menjadi lebih melunak setelah adanya krisis perbankan yang terjadi di AS pada pekan lalu.

Saham perbankan di AS terpantau cerah pada perdagangan hari ini, menandakan adanya pemulihan dari kerugian besar sepanjang pekan lalu karena sektor tersebut terpaksa menopang basis simpanan mereka setelah jatuhnya Silicon Valley Bank (SVB).

SPDR Regional Banking ETF melesat 1,2%, setelah sebelumnya sempat terjatuh 14% pekan lalu. Saham PacWest, Zions Bancorporation dan First Citizens juga bergairah. Namun, saham First Republic Bank kembali ambruk 47%.

Ambruknya kembali saham First Republic Bank terjadi setelah S&P Global memangkas peringkat First Republic Bank, memicu kekhawatiran tentang likuiditas bank meskipun ada penyelamatan $30 miliar minggu lalu.

Bahkan, perdagangan saham First Republic bank dihentikan beberapa kali karena volatilitasnya yang masih cukup tinggi.

"Orang-orang yang memegang simpanan yang tidak diasuransikan di bank-bank daerah gelisah dan sistem perbankan didasarkan pada kompetensi, dan kepercayaan. Anda tidak akan menaruh tabungan hidup Anda di suatu tempat, jika Anda tidak 100% yakin bahwa itu akan ada saat Anda membutuhkannya," kata Eric Diton, presiden dan direktur pelaksana The Wealth Alliance, dikutip dari CNBC International.

Ketidakstabilan di sektor keuangan AS selama dua pekan terakhir telah membuat pelaku pasar merubah pandangannya, dari sebelumnya memperkirakan The Fed akan kembali agresif, berubah menjadi lebih melunak.

Pasar kini hanya memperkirakan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp), dari sebelumnya sebesar 50 bp.

Berdasarkan data CME Group terbaru, pelaku pasar melihat ada probabilitas sebesar 76%, The Fed akan menaikkan suku bunganya lagi sebesar 25 basis poin (bp). Sementara 24% probabilitas sisanya melihat The Fed tidak akan menaikkan suku bunganya.

Sementara itu, UBS pada Minggu lalu sepakat untuk mengakuisisi Credit Suisse senilai US$ 3,2 miliar atau setara Rp 49 triliun (kurs Rp 15.340). Setelah penyelamatan darurat, bank gabungan tersebut akan memiliki aset yang dapat diinvestasikan sebesar US$ 5 triliun.

Namun, saham Credit Suisse masih anjlok 56% pada Senin kemarin, sedangkan saham UBS naik dari kerugian menjadi keuntungan 1,3%.

Pada hari ini, pelaku pasar bakal memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street yang kembali cerah kemarin.

Mayoritas saham perbankan di AS pada akhirnya kembali bergairah setelah melewati pekan yang cukup volatil pada pekan lalu, karena sektor tersebut terpaksa menopang basis simpanan mereka setelah jatuhnya Silicon Valley Bank (SVB).

Meski secara mayoritas menghijau, tetapi saham First Republic Bank terpantau masih merana, setelah S&P Global memangkas peringkat First Republic Bank, memicu kekhawatiran tentang likuiditas bank meskipun ada penyelamatan $30 miliar minggu lalu.

Hal ini menandakan bahwa dampak dari krisis perbankan sebelumnya masih terasa meski hanya berdampak dari pergerakan sahamnya.

Ketidakstabilan di sektor keuangan AS selama dua pekan terakhir telah membuat pelaku pasar merubah pandangannya, dari sebelumnya memperkirakan The Fed akan kembali agresif, berubah menjadi lebih melunak.

Pasar kini hanya memperkirakan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp), dari sebelumnya sebesar 50 bp.

Berdasarkan data CME Group terbaru, pelaku pasar melihat ada probabilitas sebesar 76%, The Fed akan menaikkan suku bunganya lagi sebesar 25 basis poin (bp). Sementara 24% probabilitas sisanya melihat The Fed tidak akan menaikkan suku bunganya.

Pelaku pasar akan memantau pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) kali ini, karena mereka berharap bahwa The Fed dapat makin melunak, setelah krisis perbankan menghantui Negeri Paman Sam pada pekan lalu.

Tak hanya di AS saja, upaya penyelamatan Credit Suisse di Swiss juga masih berlanjut. Sebelumnya pada Minggu lalu, UBS sepakat untuk mengakuisisi Credit Suisse senilai US$ 3,2 miliar atau setara Rp 49 triliun (kurs Rp 15.340).

Setelah penyelamatan darurat, bank gabungan tersebut akan memiliki aset yang dapat diinvestasikan sebesar US$ 5 triliun.

Namun, upaya akuisisi Credit Suisse oleh UBS, yang juga sekaligus menjadi upaya penyelamatan Credit Suisse belum membuat saham Credit Suisse bangkit. Saham Credit Suisse masih anjlok 56% pada Senin kemarin.

Menyusul upaya akuisisi Credit Suisse tersebut, The Fed, ECB, dan bank sentral utama lainnya seperti BoE, BoJ, BoC, dan SNB berjanji untuk meningkatkan likuiditas pasar dan mendukung bank lain.

Di lain sisi, Presiden ECB, Christine Lagarde mengatakan bahwa bank sentral berharap penyelamatan Credit Suisse yang ditengahi oleh Swiss akan memulihkan ketenangan di pasar keuangan.

Pada Jumat lalu, beberapa pejabat ECB berbicara untuk meyakinkan pasar mengenai kesehatan bank-bank di blok tersebut, serta mempertahankan sikap kebijakan moneter ECB yang hawkish.

Anggota Dewan Gubernur ECB Madis Muller mengatakan bahwa ketidakpastian perbankan mempersulit komunikasi, sambil menambahkan bahwa perkiraan inflasi terbaru mengasumsikan lebih banyak kenaikan suku bunga.

Kemudian, anggota Dewan ECB Francois Villeroy de Galhau yang mengatakan bahwa bank-bank Perancis dan Eropa 'sangat solid'.

Lebih lanjut, pembuat kebijakan ECB Peter Kazimir mengatakan bahwa ada kebutuhan untuk melanjutkan kenaikan suku bunga sementara Anggota Dewan Gubernur Gediminas Šimkus mendukung bias hawkish sambil mengatakan bahwa suku bunga terminal belum tercapai.

Sementara itu dari dalam negeri, ada beberapa agenda cukup penting yang akan digelar pada hari ini, yakni Rapat paripurna DPR terkait keputusan perubahan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan hasil uji kelayakan Calon Gubernur Bank Indonesia (BI).

Perppu ini sangat penting bagi kelangsungan investasi di Indonesia karena mencakup ratusan undang-undang yang terkait investasi, mulai dari sisi perpajakan hingga lingkungan hidup.

DPR juga akan mengambil keputusan mengenai hasil uji kelayakan Perry Warjiyo sebagai calon Gubernur BI. Sebelumnya, Komisi XI DPR RI sudah menyepakati Perry untuk melanjutkan periode keduanya.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data inflasi produsen Korea Selatan periode Februari 2023 (04:00 WIB),
  2. Reserve Bank of Australia Meeting Minutes (07:30 WIB),
  3. Hasil uji kelayakan calon Gubernur Bank Indonesia (09:30 WIB),
  4. Rilis data indeks sentimen ekonomi ZEW Uni Eropa periode Maret 2023 (17:00 WIB),
  5. Pidato Presiden bank sentral Eropa Christine Lagarde (19:30 WIB),
  6. Rilis data penjualan rumah eksisting Amerika Serikat periode Februari 2023 (21:00 WIB).

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. RUPS Tahunan dan Luar Biasa PT Panorama Sentrawisata Tbk (10:00 WIB),
  2. RUPS Tahunan PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (16:00 WIB),
  3. Cum date dividen kas PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q4-2022 YoY)

5,01%

Inflasi (Februari 2023 YoY)

5,47%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2023)

5,75%

Surplus Anggaran (APBN Januari 2023)

0,43% PDB)

Surplus Transaksi Berjalan (Q4-2022 YoY)

1,3% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q4-2022 YoY)

US$ 4,7 miliar

Cadangan Devisa (Februari 2023)

US$ 140,3 miliar

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular