Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial Indonesia babak belur awal pekan kemarin akibat kecemasan akan resesi yang berisiko melanda dunia.
Investor asing yang sebelumnya getol mengalirkan modal ke dalam negeri kini mulai menariknya kembali. Indonesia yang dulu menjadi "surga" investasi pasar saham kini mulai ditinggalkan. Jika aksi jual tersebut berlanjut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berisiko kembali jeblok pada perdagangan Selasa (5/7/2022). Rupiah juga berisiko menembus Rp 15.000/US$.
IHSG kemarin sempat jeblok hingga 3,5% ke 6.559,637, sebelum perlahan dipangkas dan mengakhiri perdagangan di 6.639,172. Meski berhasil dipangkas, penurunan masih terbilang besar 2,3%. Bahkan, IHSG sudah mencatat penurunan 6 hari beruntun dengan total nyaris 7%.
Investor asing melakukan jual bersih (net sell) senilai Rp 572 miliar di pasar reguler, tunai dan nego. Dengan demikian, sejak pekan lalu total net sell nyaris Rp 4,5 triliun.
Net sell tersebut mengurangi inflow di pasar saham sepanjang tahun ini menjadi Rp 61 triliun. Inflow tersebut memang masih besar, tetapi tentunya berisiko semakin tergerus jika isu resesi dunia terus menggentayangi, apalagi ditambah dengan pelambatan ekonomi di dalam negeri.
Indonesia bisa tidak lagi menjadi "surga" investasi. Aliran modal yang mengalir deras ke pasar saham Indonesia dalam dua bulan terakhir sudah cabut.
Data pasar menunjukkan sepanjang bulan Juni investor asing net sell sebesar Rp 7,5 triliun. Capital outflow tersebut lebih besar dari bulan sebelumnya Rp 3,5 triliun, berdasarkan data CEIC. Padahal, dalam 4 bulan pertama tahun ini, investor asing getol melakukan beli bersih.
Puncaknya pada bulan April lalu saat net buy mencapai US$ 40 triliun. Indonesia seolah menjadi "surga" investasi saat perang Rusia dan Ukraina terjadi. Eropa mengalami capital outflow yang masif, modal tersebut mencari tempat baru untuk "berkembang biak" dan Indonesia menjadi salah satu tujuannya.
Capital outflow yang terjadi belakangan ini dari pasar saham dalam negeri menjadi salah satu pemicu jebloknya IHSG yang turut menyeret rupiah yang kini semakin mendekati Rp 15.000/US$. Melansir data Refinitiv, rupiah kemarin melemah 0,2% melawan dolar Amerika Serikat (AS) di Rp 14.965/US$. Dengan demikian rupiah hanya berjarak 0,23% dari level psikologis Rp 15.000/US$.
Sebelumnya, rupiah sudah membukukan pelemahan 4 pekan beruntun dengan total 3,5%.
Pergerakan berbeda terjadi di pasar obligasi, yield Surat Berharga Negara (SBN) mengalami penurunan di tenor 1 tahun, 15 dan 30 tahun mengalami penurunan
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield turun harganya naik, begitu juga sebaliknya. Saat harga naik, berarti ada aksi beli. Meski belakangan menguat, tetapi capital outflow di pasar obligasi sepanjang tahun ini sangat besar. Bank Indonesia (BI) mencatat sejak awal tahun hingga 23 Juni 2022, investor asing jual neto di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 105,1 triliun.
Menguatnya SBN bisa menjadi indikasi investor mendisvestasikan investasinya, dan memasukkan ke aset yang lebih aman dengan fix income.
Isu resesi dunia membuat sentimen pelaku pasar masih sulit untuk membaik.
Kepala ekonom global Citigroup, Nathan Sheets, mengatakan risiko dunia mengalami resesi kini sebesar 50% dalam 18 bulan ke depan.
"Ekonomi global terus dilanda guncangan supply yang parah, yang membuat inflasi meninggi dan pertumbuhan ekonomi melambat. Tetapi, kini dua faktor lagi muncul, yakni bank sentral yang menaikkan suku bunga dengan sangat agresif serta demand konsumen yang melemah," kata Sheets sebagaimana dilansir Yahoo Finance, Rabu (22/7/2022).
Berdasarkan model yang dibuat, Sheet melihat produk domestik bruto (PDB) dunia di tahun ini akan tumbuh 2,3%, turun dari sebelumnya 2,6%, sementara untuk 2023 sebesar 1,7% turun dari proyeksi sebelumnya 2,1%.
"Kami menyimpulkan bank sentral menghadapi tantangan yang sangat berat dalam menurunkan inflasi. Berkaca dari sejarah, langkah yang digunakan untuk menurunkan inflasi memberikan dampak buruk ke perekonomian, dan kami saat ini melihat probabilitas hampir 50% dunia akan mengalami resesi. Bank sentral sejauh ini belum menerapkan kebijakan soft landing atau pelambatan ekonomi tanpa memicu inflasi dalam proyeksi mereka, begitu juga dengan yang kami lihat," tambah Sheets.
Ketika dunia terancam resesi, perekonomian Indonesia mulai menunjukkan pelambatan. Hal ini terlihat dari aktivitas sektor manufaktur yang berkespansi tetapi berada di level terendah sejak September 2021.
Ekspansi yang rendah terjadi saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kini lebih longgar ketimbang akhir tahun lalu. Hal ini bisa menjadi indikasi perekonomian Indonesia mulai melambat. Apalagi industri pengolahan merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) berdasarkan lapangan usaha. DI kuartal I-2022 kontribusinya lebih dari 19% dari total PDB.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Libur, Bursa Eropa & Asia Bervariasi
Bursa saham AS (Wall Street) libur pada Senin kemarin, merayakan Hari Kemerdekaan Amerika Serikat. Sementara itu pergerakan bursa saham Eropa sama sepert Asia, ada yang menguat ada juga yang melemah.
Indeks FTSE 100 Inggris mampu menguat 0,89% ke 7.232,65, begitu juga dengan CAC 40 Prancis yang naik 0,4% le 5.954,65. Sementara indeks DAX Jerman turun 0,3% ke 12.773,38.
Di Asia Pasific, indeks Hang Seng Hong Kong dan Kospi Korea Selatan melemah, begitu juga dengan IHSG. Sementara Indeks Nikkei Jepang, Shanghai Composite China dan ASX Australia mampu menguat.
Pergerakan yang bervariasi tersebut menjadi indikasi pelaku pasar masih mencari kemana arah pergerakan yang tepat. Pasar global mulai memasuki perdagangan di paruh kedua tahun ini, didominasi oleh kekhawatiran atas inflasi, perang antara Rusia-Ukraina, dan potensi resesi global.
Sejak awal tahun ini, sentimen negatif untuk aset berisiko datang bertubi-tubi. Kekhawatiran kondisi ekonomi global terkait risiko stagflasi yang muncul dari tingginya inflasi, pengetatan moneter, eskalasi geopolitik Rusia-Ukraina dan kebijakan proteksionisme berbagai negara masih membuat investor ketar-ketir.
Kondisi inilah yang menyebabkan banyak investor yang berpikir dua kali untuk tetap berada di pasar saham.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Wall Street yang libur berakibat pada tidak adanya sentimen dari Negeri Paman Sam. Wall Street merupakan kiblat bursa saham dunia, pergerakannya bisa mempengaruhi bursa saham lainnya.
Investor masih akan terpengaruh sentimen dari dalam negeri di mana tanda-tanda pelambatan ekonomi masih menjadi perhatian. Seperti disebutkan pada halaman 1, ekspansi sektor manufaktur menunjukkan pelambatan yang signifikan, berada di level terendah dalam 10 bulan terakhir.
Kemudian inflasi juga terus meninggi. Pada bulan Juni inflasi tercatat tumbuh 4,35% year-on-year (yoy), tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Tetapi kenaikan inflasi inti tidak setinggi inflasi headline, sebesar 2,63% (yoy).
Hal ini bisa menjadi indikasi daya beli masyarakat yang lemah, dan data indeks keyakinan konsumen (IKK) yang akan dirilis pekan ini.
Pada bulan lalu Bank Indonesia (BI) merilis hasil Survei Konsumen. Hasilnya, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Mei 2022, yang bertepatan dengan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri, berada di 128,9. Naik tajam dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 113,1 dan menjadi rekor tertinggi.
IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas. Jika di bawah 100, maka artinya konsumen pesimistis memandang prospek perekonomian saat ini hingga enam bulan mendatang.
Dengan inflasi yang meninggi bulan lalu, tentunya akan berdampak pada keyakinan konsumen. Jika menunjukkan penurunan maka akan menjadi kabar yang kurang bagus.
Sebab, semakin tinggi IKK, konsumen cenderung akan semakin banyak belanja yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Begitu juga sebaliknya.
Belanja rumah tangga merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) berdasarkan pengeluaran, dengan porsi mencapai 53,65% di kuartal I-2022.
Ketika konsumen mengurangi belanjanya, maka akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini bisa semakin membuat investor asing getol menarik modalnya dari pasar saham.
Apalagi, harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) kini terus merosot. Seperti disebutkan di halaman 1, perang membuat duit di Eropa cabut dan salah satunya menuju Indonesia. Alasannya, Indonesia diuntungkan dengan tingginya harga komoditas.
Neraca perdagangan mampu mencetak surplus selama 25 bulan beruntun dan membuat transaksi berjalan juga surplus. Fundamental dalam negeri menjadi lebih kuat, sehingga menarik investor asing. Indonesia pun menjadi "surga" investasi.
Sayangnya harga CPO kini berada di level terendah tahun ini. Harga CPO saat ini berada di kisaran 4.500 ringgit/ton, merosot lebih dari 37% dibandingkan akhir April lalu saat harganya berada di atas 7.200 ringgit/ton.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Selain dari dalam negeri, data aktivitas sektor jasa China versi Caixin bisa berdampak pada pergerakan pasar. Pada Mei lalu, sektor jasa China mengalami kontraksi, terlihat dari purchasing managers index (PMI) sebesar 41,4.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sedangkan di atasnya ekspansi.
Jika sektor jasa tersebut kembali berekspansi (ke atas 50) maka akan menjadi sentimen positif ke pasar finansial.
Data yang dirilis Jumat lalu menunjukkan manufaktur China kembali berekspansi, dengan angka PMI 51,7, bahkan lebih tinggi dari prediksi Reuters 50,1.
Selain itu, pengumuman kebijakan moneter bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) juga menjadi perhatian. Hasil survei Reuters menunjukkan RBA diperkirakan akan menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 1,35%.
Jika prediksi tersebut benar, RBA artinya sudah menaikkan suku bunga 3 bulan beruntun. Hal ini bisa menjadi indikasi bagaimana bahaya inflasi tinggi, sehingga bank sentral bertindak agresif.
RBA di awal tahun ini sebenarnya masih menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat. Suku bunga disinyalkan akan naik pada 2023.
Nyatanya, di semester I-2022, RBA sudah menaikkan suku bunga 2 kali, bahkan lebih tinggi dari prediksi. Pada Juni, Reuters memprediksi RBA di bawah pimpinan Philip Lowe akan menaikkan 25 basis poin, ternyata sebesar 50 basis poin. Begitu juga di Mei, prediksi 15 basis poin, RBA ternyata menaikkan 25 basis poin.
Semakin agresif bank sentral menaikkan suku bunga, ekspansi dunia usaha akan semakin melambat, maka ancaman resesi dunia semakin nyata.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rilis Data Ekonomi & Agenda Emiten Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- RUPS PT Pakuwon Jati Tbk
- RUPS PT Mega Manunggal Property Tbk
- Recording date deviden PT Erajaya Swasembada Tbk
- Recording date deviden PT Blue Bird Tbk
- Penawaran umum PT Jaya Real Property Tbk
- Penawaran umum PT Chemstar Indonesia Tbk
- Inflasi Korea Selatan (6:00 WIB)
- PMI manufaktur Singapura (7:30 WIB)
- Penjualan ritel Australia (8:30 WIB)
- PMI jasa dan komposit China versi Caixin (8:45 WIB)
- Pengumuman suku bunga RBA (11:30 WIB)
- Penjualan ritel Singapura (12:00 WIB)
- PMI jasa dan komposit Italia (14:45 WIB)
- PMI jasa dan komposit Prancis (14:50 WIB)
- PMI jasa dan komposit Jerman (14:55 WIB)
- PMI jasa dan komposit zona euro (15:00 WIB)
- Pesanan pabrik AS (21:00 WIB)
- RUPS PT Pakuwon Jati Tbk
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2021 YoY) | 5,01% |
Inflasi (Juni 2022 YoY) | 4,35% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2022) | 3,5% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022) | 4,85% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q1-2022 YoY) | 0,07% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q1-2022 YoY) | US$ 1,82 miliar |
Cadangan Devisa (Mei 2022) | US$ 135,6 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA