Ramalan Ngeri! Dunia Resesi Tahun Depan, Ini Penyebabnya

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 July 2022 15:01
Resesi Ekonomi_cover_konten
Foto: cover topik/Resesi Ekonomi_cover_konten/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu resesi semakin meluas, tidak hanya Amerika Serikat (AS) dunia juga diramal akan mengalami resesi tahun depan. Hal ini diungkapkan oleh analis Citigroup yang menggarisbawahi tingginya inflasi.

Kepala ekonom global Citigroup, Nathan Sheets, mengatakan risiko dunia mengalami resesi kini sebesar 50% dalam 18 bulan ke depan.

"Ekonomi global terus dilanda guncangan supply yang parah, yang membuat inflasi meninggi dan pertumbuhan ekonomi melambat. Tetapi, kini dua faktor lagi muncul, yakni bank sentral yang menaikkan suku bunga dengan sangat agresif serta demand konsumen yang melemah," kata Sheets sebagaimana dilansir Yahoo Finance, Rabu (22/7/2022).

Berdasarkan model yang dibuat, Sheet melihat produk domestik bruto (PDB) dunia di tahun ini akan tumbuh 2,3%, turun dari sebelumnya 2,6%, sementara untuk 2023 sebesar 1,7% turun dari proyeksi sebelumnya 2,1%.

"Kami menyimpulkan bank sentral menghadapi tantangan yang sangat berat dalam menurunkan inflasi. Berkaca dari sejarah, langkah yang digunakan untuk menurunkan inflasi memberikan dampak buruk ke perekonomian, dan kami saat ini melihat probabilitas hampir 50% dunia akan mengalami resesi. Bank sentral sejauh ini belum menerapkan kebijakan soft landing atau pelambatan ekonomi tanpa memicu inflasi dalam proyeksi mereka, begitu juga dengan yang kami lihat," tambah Sheets.

Beberapa bank sentral utama dunia memang agresif menaikkan suku bunga guna meredam inflasi. Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) yang paling agresif.

Di semester I-2022 The Fed tiga kali menaikkan suku bunga, termasuk 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75% pada bulan lalu. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994.

Tidak hanya itu, di bulan ini The Fed juga berencana menaikkan suku bunga 50 - 75 basis poin, dan di akhir tahun suku bunga diproyeksikan di kisaran 3,25% - 3,5%.

Ketika suku bunga tinggi, maka ekspansi dunia usaha akan menjadi terhambat. Begitu juga dengan konsumsi rumah tangga yang sudah terpukul akibat tingginya inflasi, sehingga risiko resesi semakin membesar.

Survei terhadap chief financial officer (CFO) yang dilakukan CNBC International awal Juni lalu menunjukkan sebanyak 68% melihat perekonomian AS diprediksi akan mengalami resesi di semester I-2023.

Sementara itu bank investasi JP Morgan pada pertengahan Juni lalu mengatakan probabilitas Amerika Serikat mengalami resesi saat ini mencapai 85%, berdasarkan pergerakan harga di pasar saham.

Indeks S&P 500 sepanjang tahun ini sudah jeblok sekitar 23%. Menurut JP Morgan, dalam 11 resesi terakhir, rata-rata indeks S&P 500 mengalami kemerosotan sebesar 26%.

Tanda-tanda Negeri Paman Sam mengalami pelambatan ekonomi terus bermunculan. Aktivitas manufakturnya merosot, Institute for Supply Management (ISM) melaporkan purchasing managers' index (PMI) turun menjadi 53 pada Juni, terendah dalam 2 tahun terakhir. Pesanan baru (new order) bahkan jeblok menjadi 49,2 dari sebelumnya 55,1.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.

Artinya, pesanan baru mengalami kontraksi, dan itu menjadi yang pertama sejak Mei 2020.

Selain itu tingkat keyakinan konsumen juga merosot. Data yang dirilis pada pekan lalu menunjukkan konsumen AS yang kini tidak pede menatap perekonomian.

Conference Board melaporkan tingkat keyakinan konsumen Juni merosot menjadi 98,7, dari bulan sebelumnya 103,3. Penurunan tersebut membawa tingkat keyakinan konsumen ke titik terendah dalam 16 bulan terakhir.

Angka di bawah 100 menunjukkan konsumen pesimistis, sementara di atasnya optimistis.

"Prospek konsumen semakin suram akibat kekhawatiran akan inflasi, khususnya kenaikan harga gas dan makanan. Ekspektasi kini turun ke bawah 80, mengindikasikan pertumbuhan yang lebih lemah di semester II-2022, begitu juga adanya peningkatan risiko resesi di akhir tahun," kata Lyyn Franco, direktur ekonomi Conference Board.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inggris Nekat Kerek Suku Bunga Lagi, Yakin Tak Jadi Resesi?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular