Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih mempertahankan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini. Dalam situasi seperti sekarang, di mana ada 'hantu' sedang bergentayangan, BI 7 Day Reverse Repo Rate tidak naik saja sudah syukur.
Gubernur Perry Warjiyo dan kolega dijadwalkan mengumumkan suku bunga acuan pada 17 Juni 2021. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 3,5%. Seluruh institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus sepakat bulat, tidak ada yang mbalelo.
Institusi | BI 7 Day Reverse Repo Rate (%) |
Bank Danamon | 3.5 |
Bank Mandiri | 3.5 |
BCA | 3.5 |
Danareksa Research Institute | 3.5 |
BNI Sekuritas | 3.5 |
ING | 3.5 |
Bank Permata | 3.5 |
UOB | 3.5 |
Standard Chartered | 3.5 |
ANZ | 3.5 |
Mirae Asset | 3.5 |
Bahana Sekuritas | 3.5 |
DBS | 3.5 |
Sejak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) menghantam Indonesia, BI bergerak cepat dengan memangkas suku bunga acuan habis-habisan. Pada awal 2020, BI 7 Day Reverse Repo Rate masih berada di 5% dan kini sudah 3,5%, terendah dalam sejarah suku bunga acuan Indonesia. Artinya, BI sudah memotong suku bunga acuan sebanyak 150 basis poin (bps).
Selain penurunan suku bunga acuan, BI juga memberikan berbagai stimulus buat perekonomian nasional. Sejak awal tahun hingga 21 Mei 2021, BI telah menggelontorkan likuiditas (quantitative easing) sebesar Rp 88,91 triliun. Sepanjang 2020, nilai quantitative easing mencapai Rp 726,57 triliun.
Plus, BI juga menambah likuiditas di perekonomian (sekaligus ikut berkontribusi dalam pendanaan anggaran negara) dalam bentuk pembelian obligasi pemerintah. Tahun lalu, nilai pembelian Surat Berharga Negara (SBN) oleh BI adalah Rp 473,42 triliun dan tahun ini hingga 8 Juni 2021 nilainya adalah Rp 15,87 triliun.
Kemudian, BI juga melonggarkan ketentuan kredit buat rumah tangga. Fasilitas bebas uang muka untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) masih berlaku.
Oleh karena itu, BI boleh dibilang sudah all out attack, sudah gung ho. Sekarang tinggal bagaimana berbagai keringanan yang sudah diberikan itu bisa mendorong perbankan untuk lebih rajin menyalurkan kredit, baik kepada dunia usaha maupun rumah tangga.
Halaman Selanjutnya --> Bunga Kredit Masih Ketinggian!
Penurunan suku bunga acuan dan gelontoran likuiditas sudah berhasil membuat biaya dana perbankan turun, bahkan lebih tajam dari penurunan suku bunga acuan.
Per April 2021, rata-rata suku bunga deposito tenor satu bulan (yang menjadi acuan biaya dana) di perbankan komersial adalah 3,65%. Dibandingkan dengan posisi awal 2020, sudah berkurang 232 bps.
Meski biaya dana perbankan sudah jauh lebih murah, tetapi suku bunga kredit belum turun sesuai harapan. Ya, bunga kredit memang turun tetapi masih jauh dari penurunan suku bunga acuan apalagi suku bunga deposito satu bulan.
Misalnya untuk Kredit Modal Kerja (KMK). Pada April 2021, rata-rata suku bunga KMK rupiah di perbankan komersial ada di 9,03%. Dibandingkan dengan awal 2020, baru turun 105 bps. Dalam periode yang sama, suku bunga Kredit Investasi (KI) turun 119 bps dan Kredit Konsumsi (KK) turun 56 bps.
Oleh karena itu, masih ada ruang (bahkan sangat besar) bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga pinjaman lebih dalam lagi. Sebelum itu terjadi, mungkin BI belum perlu menambah 'dosis' pelonggaran kebijakan. Toh dengan 'dosis' yang sekarang perbankan semestinya bisa lebih bergairah lagi.
Halaman Selanjutnya --> The Fed Siap-siap Ketatkan Kebijakan?
Selain itu, pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga rasanya agak sulit ditempuh. Pasalnya, sedang ada risiko besar di pasar keuangan global. Risiko itu datang dari Amerika Serikat (AS).
Seiring vaksinasi yang masif dan pembukaan kembali 'keran' aktivitas masyarakat (reopening), ekonomi Negeri Paman Sam merekah. Permintaan masyarakat naik pesat, yang sayangnya belum diikuti oleh kemampuan dunia usaha dalam memasok barang dan jasa.
Oleh karena itu, pelaku pasar mulai mengendus aroma bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan segera ambil ancang-ancang untuk melakukan pengurangan 'dosis' stimulus. Ini akan diawali dengan mengurangi besaran quantitative easing yang sekarang bernilai US$ 120 miliar per bulan.
Saat the Fed mulai mengurangi quantitative easing, maka era pengetatan alias tapering off telah resmi dimulai. Dimulai dengan menurunkan jumlah pembelian aset, tapering akan berakhir kala suku bunga acuan dikerek ke atas. Ketika itu terjadi, maka kebijakan moneter sudah sah tidak lagi longgar.
Berdasarkan survei yang dilakukan Reuters terhadap 50 ekonom/analis, kemungkinan The Fed belum akan mengumumkan pengurangan quantitative easing bulan ini. Pengumuman sepertinya akan terjadi pada Agustus atau September 2021, tetapi quantitative easing baru benar-benar dilakukan pada awal 2022.
Sebanyak 26% responden memperkirakan pengumuman tapering akan terjadi paling cepat saat pertemuan tahunan di Jackson Hole pada 26-28 Agustus 2021, sementara 32% lainnya memperkirakan saat rapat bulanan September 2021. Sisa 42% responden memperkirakan pengumuman akan lebih lama dari itu.
 Sumber: Reuters |
Apapun itu, yang jelas kebijakan moneter AS tidak bisa selamanya ultra-longgar seperti sekarang. Apalagi ekonomi Negeri Stars and Stripes terus menunjukkan tanda-tanda kebangkitan setelah terpukul hebat oleh pandemi virus corona. Pemulihan ekonomi akan menyebabkan tekanan inflasi, sehingga perlu direspons dengan pengetatan kebijakan moneter.
"Vaksinasi yang masif dan berbagai stimulus membuat permintaan tumbuh lebih cepat dari pasokan. Ini menyebabkan efek samping berupa inflasi. Meski The Fed berulang kali menegaskan bahwa tekanan inflasi ini hanya sementara, tetapi 'mantra' itu semakin lama semakin basi," tegas Sal Guateri, Ekonom Senior BMO Capital Markets, seperti dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Agar Indonesia Tetap 'Seksi', Bunga Tak Bisa Rendah
Pengetatan kebijakan oleh The Fed akan sangat mempengaruhi pasar keuangan dan perekonomian dunia. Misalnya, begitu quantitative easing dikurangi maka pasokan likuiditas global tidak akan semelimpah sekarang. Akibatnya, aset-aset berisiko menjadi kurang diminati karena dengan likuiditas yang lebih terbatas tentu lebih baik bermain aman di instrumen safe haven. Istilah kerennya, flight to quality, terjadi perpindahan arus modal ke aset dengan kualitas lebih baik.
Belum lagi kalau suku bunga acuan Negeri Adidaya sampai naik. Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mendongkrak imbalan investasi di aset-aset berbasis dolar AS, terutama instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Arus modal akan berkerumun di sekitar US Treasury Bonds sementara aset-aset berisiko di negara berkembang hanya kebagian remah-remah rengginang.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mempersiapkan diri dari sekarang. Indonesia harus bisa menjaga daya tarik investasi agar pemilik modal tetap berkenan masuk.
Menjaga daya tarik, apalagi buat investor asing, menjadi penting karena mereka punya peran yang signifikan di pasar keuangan Tanah Air. Misalnya di SBN, porsi kepemilikan investor asing hampir mencapai 40%. Ini adalah yang tertinggi di antara negara-negara berkembang yang sekelas (peers) dengan Indonesia.
 Sumber: IMF |
Ketika investor asing merasa menanamkan modal di Indonesia tidak memberikan insentif yang sepadan dengan risikonya, maka yang terjadi adalah flight to quality, pembalikan arus modal (capital reversal). Jika itu terjadi, maka dampaknya di pasar keuangan akan sangat masif mengingat besarnya porsi kepemilikan investor asing.
Salah satu cara menjaga daya tarik Indonesia adalah dengan suku bunga. Apabila suku bunga acuan turun, maka imbalan investasi di aset-aset berpendapatan tetap seperti obligasi akan ikut turun. Tentu bukan sesuatu yang dicari oleh pemilik modal.
So, penurunan suku bunga acuan sepertinya bukan opsi yang bijak jika ingin mempertahankan 'keseksian' pasar keuangan Indonesia. Menaikkan juga belum tepat, karena Ibu Pertiwi masih butuh 'rangsangan' agar ekonomi bisa pulih seperti masa sebelum pandemi.
Memang sudah sulit berharap suku bunga acuan bisa turun lagi. Tidak naik saja sudah syukur...
TIM RISET CNBC INDONESIA