Polling CNBC Indonesia

BI Sudah Jadi De Bruyne, Perbankan Jadi Harry Kane Dong!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 April 2021 06:30
Ilustrasi Bank Indonesia
Ilustrasi Gedung BI (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih mempertahankan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur bulan ini. Salah satu faktor yang tentunya akan menjadi pertimbangan MH Thamrin adalah stabilitas nilai tukar rupiah.

Gubernur Perry Warjiyo dan kolega dijadwalkan menggelar RDG pada19-20 April 2021. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 3,5%. Dari 11 institusi yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, seluruhnya menyatakan demikian, tidak ada dissenting opinion.

"Setelah mempertahankan suku bunga bulan lalu, kami merasa bahwa BI cukup nyaman dalam menjaga selisih suku bunga di tengah pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS). Selain itu, bank sentral juga masih meyakini bahwa masih ada ruang bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga dengan BI 7 Day Reverse Repo Rate di posisi yang sekarang. Oleh karena itu, posisi kami adalah BI akan terus mempertahankan suku bunga sepanjang 2021," papar riset Citi.

Kemudian, Citi juga menilai stabilitas nilai tukar rupiah akan menjadi pertimbangan BI. Sebagai catatan, rupiah melemah 1,11% di hadapan dolar AS dalam sebulan terakhir. Sejak akhir 2020 (year-to-date), depresiasi rupiah mencapai 3,7%.

Helmi Arman, Ekonom Citi, menilai risiko depresiasi rupiah masih ada. Pasalnya, pemulihan ekonomi Indonesia menyebabkan impor melonjak.

Pada Maret 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai impor Indonesia adalah US$ 16,79 miliar. Ini adalah yang tertinggi sejak November 2018.

"Dalam jangka waktu 6-12 bulan, kami memperkirakan rupiah akan mengalami rebound karena kembalinya arus modal asing. Namun seiring dengan pemulihan ekonomi yang ditandai dengan peningkatan impor, seberapa besar rupiah akan rebound menjadi sangat tidak pasti," tulis Helmi dalam risetnya.

Jika suku bunga acuan turun, maka imbalan berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah (terutama di instrumen berpendapatan tetap) akan ikut terpangkas. Investor tentu akan berpikir ulang untuk masuk ke pasar keuangan Tanah Air kalau cuan yang didapatkan tidak maksimal. Ketika ini terjadi, rupiah akan semakin tertekan.

Jadi, BI berkepentingan untuk menjaga daya tarik aset-aset keuangan di Indonesia agar nilai tukar rupiah tetap terjaga. Oleh karena itu, mempertahankan suku bunga acuan (tidak ada penurunan) adalah opsi yang sangat rasional.

Selain itu, seperti sudah disinggung dalam riset Citi, BI (dan seluruh rakyat Indonesia) masih terus berharap perbankan berkenan untuk lebih menurunkan suku bunga secara agresif. Sejak awal tahun lalu, BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah turun 150 basis poin (bps), tetapi laju penurunan suku bunga kredit masih relatif lambat.

Padahal suku bunga simpanan sudah turun drastis. Sejak Januari 2020 hingga Februari 2021, suku bunga deposito tenor satu bulan (yang dijadikan acuan biaya dana) sudah turun 209 basis poin, jauh lebih dalam ketimbang pemotongan suku bunga acuan. Namun dalam periode yang sama, suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) hanya turun 91 bps.

Ibarat sepakbola, BI sudah menjadi Kevin De Bruyne. Gelandang Manchester City ini dikenal sebagai raja assist dengan operan-operan 'manis manja'.

Dengan operan matang berupa penurunan suku bunga acuan yang agresif, perbankan semestinya bisa menjadi penyerang sekelas Harry Kane (Tottenham Hotspur) yang kini memuncaki daftar top scorer Liga Primer Inggris. Demi mencetak 'gol' yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi, perbankan perlu lebih 'ganas' dalam menurunkan suku bunga kredit.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular