Ulasan Sepekan

Pertarungan Rupiah Lawan Dolar AS Berakhir Imbang

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
17 April 2021 13:00
Ilustrasi Dollar Rupiah
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepekan ini pertarungan rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) berakhir imbang (draw), setelah terkoreksi selama beberapa pekan. Kenaikan inflasi AS dan normalisasi imbal hasil (yield) US Treasury menjadi pembalik situasi.

Mata Uang Garuda bertengger di level 14.560 per dolar AS, atau menguat 0,27% secara harian pada Jumat (17/4/2021) kemarin. Namun secara mingguan, rupiah terhitung flat karena posisi tersebut sama seperti penutupan pada akhir pekan lalu.

Penguatan pada Jumat tersebut mengimpaskan koreksi dua hari pertama pekan ini. Rupiah memang mengawali pekan dengan sempoyongan. Terdepresiasi pada Senin sebesar 0,21%, rupiah kembali tergerus pada Selasa dan 2 hari kemudian bergerak menyamping di level 14.600.

Penguatan pada akhir pekan terjadi setelah Indeks dolar AS pada Jumat kemarin melemah 0,1% ke level 91,561 menjadi yang terendah sejak 18 Maret. Sepanjang pekan, indeks yang membandingkan nilai tukar greenback terhadap mata uang enam negara mitra dagang utamanya itu telah melemah 0,7%.

Depresiasi itu terjadi bersamaan dengan penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun kembali melemah menjadi 1,528% atau jauh lebih rendah dari posisi tertingginya tahun ini pada 1,776%.

Pemicunya, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menyatakan kesediaannya untuk membiarkan inflasi meninggi dalam beberapa waktu tanpa mengubah kebijakan akomodatif mereka, termasuk dalam hal pembelian aset di pasar dan suku bunga acuan mendekati 0%.

Sebelumnya, kenaikan imbal hasil tersebut membuat pasar cemas bahwa akan terjadi taper tantrum di mana bank sentral AS menghentikan pembelian surat utang di pasar sehingga dolar AS menguat karena pemodal menarik kembali dana yang diputar di negara berkembang yang berujung pada anjloknya kurs mata uang setempat.

Kenaikan imbal hasil itu sendiri dipicu proyeksi bahwa inflasi akan meningkat. Betul, Indeks Harga Konsumen (IHK) AS pada Maret memang tumbuh 2,6% secara tahunan (year-on-year/YoY), dibandingkan dengan posisi Februari (1,7%). Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari hasil survei Reuters sebesar 2,5% YoY.

Namun, The Fed dan pemerintah AS menyatakan bahwa inflasi AS itu wajar dan bersifat sesaat karena basis Maret 2020 memang rendah akibat pembatasan masyarakat (lockdown). Masyarakat juga mulai membelanjakan dana tunai yang diperoleh dari stimulus.

Oleh karenanya, mereka tak akan memperketat kebijakan moneter dan terus menggelontorkan dana US$ 120 miliar per bulan untuk membeli obligasi di pasar (quantitative easing/QE).

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masih Tertekan, Rupiah Bisa Sentuh Rp 14.800/USD di Q2-2021

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular