Sentimen Pasar Pekan Depan

Awas 'Setan' Taper Tantrum Gentayangan! Gegara The Fed

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 June 2021 14:45
Dollar-Rupiah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup menguat pekan ini. Namun pekan depan, sepertinya pelaku pasar akan lebih bersikap hati-hati sembari menunggu kabar penting dari Amerika Serikat (AS).

Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,5% secara point-to-point. Meski penguatannya relatif terbatas, tetapi IHSG menjadi salah satu indeks saham terbaik di Asia.

Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat 0,71% dalam periode yang sama. Penguatan rupiah membawa mata uang Negeri Paman Sam berada di bawah Rp 14.200. Apresiasi 0,71% membuat rupiah secara sah dan meyakinkan jadi yang terbaik di Benua Kuning.

Di pasar obligasi pemerintah, harga Surat Berharga Negara (SBN) juga naik. Imbal hasil (yield) SBN seri acuan tenor 10 tahun turun tipis 0,6 basis poin (bps). Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik.

Halaman Selanjutnya--> 'Hantu' Taper Tantrum Semakin Dekat?

Pekan depan, terdapat sejumlah sentimen yang akan mempengaruhi pasar. Sentimen utama yang wajib dimonitor adalah rapat bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) pada 16-17 Juni 2021.

Pelaku pasar memperkirakan Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat masih akan mempertahankan suku bunga di 0-0,25%. Mengutip CME FedWatch, peluangnya adalah 96%.

fedSumber: CME FedWatch

Namun bukan suku bunga yang menjadi perhatian. Pelaku pasar ingin mencari petunjuk apakah The Fed punya rencana untuk mengurangi gelontoran likuiditas dalam bentuk pembelian surat berharga (quantitative easing). Saat ini quantitative easing bernilai US$ 120 miliar per bulan.

Saat the Fed mulai mengurangi quantitative easing, maka era pengetatan alias tapering off resmi dimulai. Dimulai dengan menurunkan jumlah pembelian aset, tapering akan berakhir kala suku bunga acuan dikerek ke atas. Ketika itu terjadi, maka kebijakan moneter sudah sah tidak lagi longgar.

Berdasarkan survei yang dilakukan Reuters terhadap 50 ekonom/analis, kemungkinan The Fed belum akan mengumumkan pengurangan quantitative easing bulan ini. Pengumuman sepertinya akan terjadi pada Agustus atau September 2021, tetapi quantitative easing baru benar-benar dilakukan pada awal 2022.

Sebanyak 26% responden memperkirakan pengumuman tapering akan terjadi paling cepat saat pertemuan tahunan di Jackson Hole pada 26-28 Agustus 2021, sementara 32% lainnya memperkirakan saat rapat bulanan September 2021. Sisa 42% responden memperkirakan pengumuman akan lebih lama dari itu.

Kemudian 31% respondem memperkirakan pengurangan quantitative easing akan berlangsung pada kuartal IV-2021 dan 58% 'meramal' bakal terjadi pada kuartal II-2022. Lalu 7% responden memperkirakan tapering baru dimulai pada kuartal III-2022 dan masing 2% memproyeksi akan terjadi pada kuartal IV-2022.

fedSumber: Reuters

Apapun itu, yang jelas kebijakan moneter AS tidak bisa selamanya ultra-longgar seperti sekarang. Apalagi ekonomi Negeri Stars and Stripes terus menunjukkan tanda-tanda kebangkitan setelah terpukul hebat oleh pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Pemulihan ekonomi akan menyebabkan tekanan inflasi, sehingga perlu direspons dengan pengetatan kebijakan moneter.

"Vaksinasi yang masif dan berbagai stimulus membuat permintaan tumbuh lebih cepat dari pasokan. Ini menyebabkan efek samping berupa inflasi. Meski The Fed berulang kali menegaskan bahwa tekanan inflasi ini hanya sementara, tetapi 'mantra' itu semakin lama semakin basi," tegas Sal Guateri, Ekonom Senior BMO Capital Markets, seperti dikutip dari Reuters.

Pengetatan kebijakan oleh The Fedakan sangat mempengaruhi pasar keuangan dan perekonomian dunia. Misalnya, begitu quantitative easing dikurangi maka pasokan likuiditas global tidak akan semelimpah sekarang. Akibatnya, aset-aset berisiko menjadi kurang diminati karena dengan likuiditas yang lebih terbatas tentu lebih baik bermain aman di instrumen safe haven. Istilah kerennya, flight to quality, terjadi perpindahan arus modal ke aset dengan kualitas lebih baik.

Belum lagi kalau suku bunga acuan sampai naik. Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mendongkrak imbalan investasi di aset-aset berbasis dolar AS, terutama instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Arus modal akan berkerumun di sekitar US Treasury Bonds sementara aset-aset berisiko di negara berkembang hanya kebagian remah-remah rengginang.

Halaman Selanjutnya --> Pantau Data Perdagangan dan Bunga Acuan

Dari dalam negeri, investor juga patut mencermati dua rilis data yaitu perdagangan internasional dan pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Mei 2021 pada 15 Juni 2021.

Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor akan tumbuh 55,945% dibandingkan Mei 2020 (year-on-year/yoy), sementara impor diperkirakan tumbuh lebih tinggi yaitu 66,23% yoy. Namun neraca perdagangan diperkirakan tetap bisa surplus, bahkan cukup besar yaitu US$ 2,13 miliar.

Sebagai perbandingan, konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan pertumbuhan ekspor di 57,49% yoy dan impor melesat 65%. Neraca perdagangan diproyeksikan surplus US$ 2,3 miliar.

Surplus neraca perdagangan yang terus tercipta menandakan pasokan devisa dari sisi perdagangan tetap memadai. Ini bisa menjadi modal untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

"Kami memperkirakan surplus neraca perdagangan yang tinggi kemungkinan masih akan bertahan hingga semester I-2021 karena kinerja ekspor yang solid seiring peningkatan permintaan dunia dan kenaikan harga komoditas. Pada semester II-2021, impor akan mulai bisa mengejar karena peningkatan permintaan domestik baik untuk konsumsi maupun kebutuhan investasi," sebut Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri.

Selain itu, ekspor yang tumbuh tinggi membawa harapan akan masa depan ekonomi yang cerah. Kemungkinan besar Indonesia sudah bisa keluar dari 'jurang' resesi ekonomi pada kuartal II-2021. Salah satu 'juru selamat' ekonomi Tanah Air adalah ekspor yang ciamik.

Kemudian pada 17 Juni 2021, BI akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG). Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan rekan tetap mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%.

"Penurunan suku bunga acuan mungkin sudah tidak menjadi pertimbangan BI. Dalam rapat terakhir, Gubernur Perry bahkan mulai membuka ruang untuk pengetatan kebijakan, meski horizonnya jangka panjang, mungkin tahun depan," kata Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Danareksa Sekuritas.

Apalagi aura tapering off The Fed semakin hari semakin terasa. Ini membuat posisi rupiah menjadi rentan digoyang seiring meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan dunia.

Menjaga stabilitas nilai tukar adalah mandat utama BI. Jika suku bunga turun, maka imbalan berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah akan turun sehingga kehilangan daya tarik. Ini akan membuat rupiah menjadi tertekan, sesuatu yang sangat tidak diinginkan oleh MH Thamrin.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular