Jangan Cemas Bu Sri Mulyani! AS Bangkit RI, Dapat Berkah Kok

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 June 2021 11:14
mata uang dolar rupiah dollar
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Data ekonomi terbaru dari Amerika Serkat (AS) terus dirilis. Data itu memberi konfirmasi bahwa Negeri Adikuasa sedang menikmati masa 'bulan madu'. Ekonomi terlihat pulih dengan cepat usai dihantam keras oleh pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Hingga saat ini, AS masih menjadi negara dengan jumlah pasien positif corona terbanyak di kolong langit. Per 3 Juni 2021, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pasien positif corona di Negeri Paman Sam mencapai 32.963.318 orang.

Akan tetapi, ada tendensi pandemi semakin terkendali. Penambahan pasien positif semakin berkurang.

Dalam 14 hari terakhir, rata-rata tambahan pasien positif corona adalah 20.445 orang per hari. Jauh berkurang ketimbang rerata 14 hari sebelumnya yaitu 33.780 orang setiap harinya. Terlihat kurva kasus positif di AS mulai melandai.

Laju infeksi virus corona yang melambat membuat pemerintah AS berani membuka 'keran' aktivitas masyarakat. Pada April 2021, Presiden Joseph 'Joe' Biden memperkenankan warga yang sudah divaksin anti-virus corona untuk beraktivitas di dalam dan luar ruangan tanpa harus mengenakan masker.

"Kita bisa semaju ini berkat Anda semua. Jika Anda sudah divaksin, silakan melakukan lebih banyak aktivitas baik itu di dalam maupun luar ruangan. Jadi bagi yang belum divaksin, terutama kaum muda atau yang merasa tidak membutuhkannya, ini adalah alasan yang tepat bagi Anda untuk divaksin," kata Biden, seperti dikutip dari Reuters.

Tidak hanya itu, sektor usaha yang selama pandemi tidak boleh beroperasi kini sudah bisa buka lagi. Restoran, hotel, sampai logistik mulai bersemi kembali. Sektor-sektor ini mulai kembali merekrut tenaga kerja.

Halaman Selanjutnya --> Bayangan Taper Tantrum Kian Nyata

ADP melaporkan, sektor swasta AS menciptakan 978.000 lapangan kerja baru selama Mei 2021. Ini adalah kenaikan tertinggi sejak Juni tahun lalu.

Realisasi itu lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yaitu terjadi penciptaan lapangan kerja sebanyak 654.000. Juga lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 650.000.

Malah kini ada tendensi dunia usaha mulai kesulitan mencari karyawan. Ini terlihat di laporan Beige Book yang diterbitkan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed). Beige Book berisi laporan anekdotal dari dunia usaha seputar kondisi ekonomi terkini.

Secara umum, dunia usaha di Negeri Stars and Stripes menilai ekonomi bergerak dalam laju yang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Penyebabnya adalah vaksinasi yang cepat serta pelonggaran pembatasan sosial (social restrictions).

"Dunia usaha di sektor perumahan kesulitan memenuhi permintaan permintaan, sementara di sektor manufaktur terjadi penundaan pengiriman karena keterbatasan kapasitas produksi. Dunia usaha mengaku semakin sulit untuk merekrut karyawan baru, terutama tenaga kerja dengan upah rendah, pengemudi truk, dan pekerja sektor perdagangan dengan kemampuan tinggi.

"Permintaan terhadap tenaga kerja meningkat sementara pasokan relatif terbatas. Ini menyebabkan upah tenaga kerja di berbagai sektor mengalami kenaikan. Untuk saat ini, dunia usaha masih bisa mempertahankan harga jual meski ada tekanan kenaikan biaya produksi.

"Ke depan dunia usaha memperkirakan akan terus terjadi kenaikan biaya produksi. Dunia usaha kemungkinan harus menaikkan harga jual dalam beberapa bulan ke depan," tulis laporan Beige Book edisi Juni 2021.

Sejak awal masa pandemi virus corona, The Fed telah memangkas suku bunga acuan hingga ke level terendah dalam sejarah, nyaris 0%. Tidak hanya itu, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat juga menggelontorkan likuiditas ke perekonomian dengan memborong surat berharga senilai US$ 120 miliar setiap bulannya.

Ini semua dilakukan untuk 'merangsang' ekonomi yang 'mati suri' gara-gara pandemi. The Fed akan terus menerapkan kebijakan ultra-longgar hingga ada tanda-tanda percepatan laju inflasi dan penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).

Kini, ekonomi AS tengah mengarah ke dua hal itu. Pasar tenaga kerja terus membaik, plus tekanan inflasi mulai muncul. Pelaku pasar membaca ini sebagai prasyarat bagi The Fed untuk melakukan pengetatan alias tapering off.

Mungkin suku bunga masih akan bertahan rendah dalam waktu lama. Namun dosis gelontoran likuiditas atau quantitative easing yang sepertinya bakal mulai dikurangi.

"Kami berencana untuk mempertahankan Federal Funds Rate tetap rendah untuk jangka waktu lama. Namun mungkin sudah saatnya untuk setidaknya berpikir mengenai pengurangan pembelian surat berharga yang sekarang bernilai US$ 120 miliar per bulan," ungkap Patrick Harker, Presiden The Fed cabang Philadelphia, juga dikutip dari Reuters.

Bayangan akan taper tantrum 2013-2015 pun muncul lagi. Kala itu, The Fed yang baru membuka wacana akan mengetatkan kebijakan moneter sudah membuat investor bereaksi. Arus modal berkerumun di pasar obligasi pemerintah AS, karena imbal hasil (yield) sangat sensitif terhadap suku bunga. Aset-aset lain kehilangan daya tarik sehingga harganya anjlok.

Aset di negara berkembang menjadi 'korban' paling parah dari taper tantrum 2013-2015. Dollar Index, yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia, melesat 13,57% secara point-to-point pada awal 2013 hingga akhir 2015. Akibatnya, rupiah melemah 47,37% dalam periode tersebut. Rupiah yang awalnya masih di bawah Rp 10.000/US$ terdepresiasi hingga ke atas Rp 14.000/US$.

kursSumber: Refinitiv

"Tahun depan, kami memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan bahwa The Fed akan mulai mengubah kebijakan moneternya. Mulai mengurangi intervensi likuiditas bahkan melakukan lakukan pengetatan dan kenaikan suku bunga," kata Perry Wajiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, belum lama ini.

"Inflasi di akan jadi penentu stance monetary policy tahun ini dan tahun depan," tambah Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, dalam rapat yang sama.

Halaman Selanjutnya --> Ekonomi AS Bangkit, Indonesia Bisa Dapat Berkah Lho!

Di satu sisi, kebangkitan ekonomi AS membawa konsekuensi pengetatan kebijakan oleh The Fed, yang bisa berdampak negatif terhadap Indonesia. Pasar keuangan akan bergejolak, sehingga membuat nilai tukar rupiah 'bergoyang'.

Namun di sisi lain, pemulihan ekonomi Negeri Adidaya juga akan berdampak positif bagi Indonesia. Sebab, AS adalah salah satu negara tujuan ekspor utama.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor non-migas Indonesia ke AS selama Januari-April 2021 bernilai US$ 7.63 miliar, melonjak 24,59% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Dengan jumlah tersebut, AS menduduki peringkat kedua negara tujuan ekspor utama Indonesia. Hanya kalah dari China di peringkat teratas dengan nilai ekpsor non-migas US$ 13,65 miliar.

tradeSumber: BPS

Ekonomi AS yang bersemi tentu akan meningkatkan permintaan dari negara lain, baik itu bahan baku/penolong, barang modal, hingga barang konsumsi. Permintaan produk-produk Indonesia pun kemungkinan akan naik. Saat ekspor Indonesia ke AS naik, maka kinerja ekspor secara keseluruhan akan terungkit mengingat porsi AS yang cukup besar.

Ekspor adalah salah satu 'mesin' utama penggerak pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi. Tahun lalu, ekspor menyumbang 17.17% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dan pada kuartal I-2021 kontribusinya adalah 19,18%.


Selain ekspor, kebangkitan ekonomi AS juga bisa membawa berkah buat Indonesia dalam bentuk penanaman modal alias investasi. Apalagi Presiden Biden punya wacana untuk menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan, sehingga dunia usaha di AS punya alasan untuk mengalihkan fasilitas produksi ke negara dengan tarif pajak yang lebih 'ramah'.

Sepanjang 2020, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat nilai Penanaman Modal Asing (PMA) dari AS adalah US$ 749,7 juta. AS menjadi negara terbesar ke-8 dalam hal nilai PMA.

Namun pada 2021, ada sinyal investasi dari AS bakal naik. Pada kuartal I saja, nilai PMA dari AS sudah mencpaai US$ 466,2 juta atau 62,2% dari total realisasi 2020. Masih ada tiga kuartal lagi, kemungkinan besar investasi dari AS bakal lebih tinggi dari tahun lalu.

Dalam pembentukan PDB nasional, peranan investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) lebih tinggi ketimbang ekspor. Pada 2020, PMTB menyumbang 31,73% dari total PDB dan pada kuartal I-2021 kontribusinya 31,98%. Jadi kalau PMTB tumbuh tinggi, dampaknya ke pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan signifikan.

So, kebangkitan ekonomi AS tidak melulu berakhir dengan cerita sedih. Ada bagian di mana Indonesia bisa ikut merasakan berkahnya yaitu potensi kenaikan ekspor dan investasi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular