Jangan Cemas Bu Sri Mulyani! AS Bangkit RI, Dapat Berkah Kok

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 June 2021 11:14
Dollar
Ilustrasi Dolar AS (REUTERS/Beawiharta)

ADP melaporkan, sektor swasta AS menciptakan 978.000 lapangan kerja baru selama Mei 2021. Ini adalah kenaikan tertinggi sejak Juni tahun lalu.

Realisasi itu lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yaitu terjadi penciptaan lapangan kerja sebanyak 654.000. Juga lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 650.000.

Malah kini ada tendensi dunia usaha mulai kesulitan mencari karyawan. Ini terlihat di laporan Beige Book yang diterbitkan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed). Beige Book berisi laporan anekdotal dari dunia usaha seputar kondisi ekonomi terkini.

Secara umum, dunia usaha di Negeri Stars and Stripes menilai ekonomi bergerak dalam laju yang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Penyebabnya adalah vaksinasi yang cepat serta pelonggaran pembatasan sosial (social restrictions).

"Dunia usaha di sektor perumahan kesulitan memenuhi permintaan permintaan, sementara di sektor manufaktur terjadi penundaan pengiriman karena keterbatasan kapasitas produksi. Dunia usaha mengaku semakin sulit untuk merekrut karyawan baru, terutama tenaga kerja dengan upah rendah, pengemudi truk, dan pekerja sektor perdagangan dengan kemampuan tinggi.

"Permintaan terhadap tenaga kerja meningkat sementara pasokan relatif terbatas. Ini menyebabkan upah tenaga kerja di berbagai sektor mengalami kenaikan. Untuk saat ini, dunia usaha masih bisa mempertahankan harga jual meski ada tekanan kenaikan biaya produksi.

"Ke depan dunia usaha memperkirakan akan terus terjadi kenaikan biaya produksi. Dunia usaha kemungkinan harus menaikkan harga jual dalam beberapa bulan ke depan," tulis laporan Beige Book edisi Juni 2021.

Sejak awal masa pandemi virus corona, The Fed telah memangkas suku bunga acuan hingga ke level terendah dalam sejarah, nyaris 0%. Tidak hanya itu, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat juga menggelontorkan likuiditas ke perekonomian dengan memborong surat berharga senilai US$ 120 miliar setiap bulannya.

Ini semua dilakukan untuk 'merangsang' ekonomi yang 'mati suri' gara-gara pandemi. The Fed akan terus menerapkan kebijakan ultra-longgar hingga ada tanda-tanda percepatan laju inflasi dan penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).

Kini, ekonomi AS tengah mengarah ke dua hal itu. Pasar tenaga kerja terus membaik, plus tekanan inflasi mulai muncul. Pelaku pasar membaca ini sebagai prasyarat bagi The Fed untuk melakukan pengetatan alias tapering off.

Mungkin suku bunga masih akan bertahan rendah dalam waktu lama. Namun dosis gelontoran likuiditas atau quantitative easing yang sepertinya bakal mulai dikurangi.

"Kami berencana untuk mempertahankan Federal Funds Rate tetap rendah untuk jangka waktu lama. Namun mungkin sudah saatnya untuk setidaknya berpikir mengenai pengurangan pembelian surat berharga yang sekarang bernilai US$ 120 miliar per bulan," ungkap Patrick Harker, Presiden The Fed cabang Philadelphia, juga dikutip dari Reuters.

Bayangan akan taper tantrum 2013-2015 pun muncul lagi. Kala itu, The Fed yang baru membuka wacana akan mengetatkan kebijakan moneter sudah membuat investor bereaksi. Arus modal berkerumun di pasar obligasi pemerintah AS, karena imbal hasil (yield) sangat sensitif terhadap suku bunga. Aset-aset lain kehilangan daya tarik sehingga harganya anjlok.

Aset di negara berkembang menjadi 'korban' paling parah dari taper tantrum 2013-2015. Dollar Index, yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia, melesat 13,57% secara point-to-point pada awal 2013 hingga akhir 2015. Akibatnya, rupiah melemah 47,37% dalam periode tersebut. Rupiah yang awalnya masih di bawah Rp 10.000/US$ terdepresiasi hingga ke atas Rp 14.000/US$.

kursSumber: Refinitiv

"Tahun depan, kami memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan bahwa The Fed akan mulai mengubah kebijakan moneternya. Mulai mengurangi intervensi likuiditas bahkan melakukan lakukan pengetatan dan kenaikan suku bunga," kata Perry Wajiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, belum lama ini.

"Inflasi di akan jadi penentu stance monetary policy tahun ini dan tahun depan," tambah Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, dalam rapat yang sama.

Halaman Selanjutnya --> Ekonomi AS Bangkit, Indonesia Bisa Dapat Berkah Lho!

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular