Polling CNBC Indonesia

Atas Nama Rupiah, BI Kayaknya Ogah Turunkan Bunga

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 January 2021 11:47
rupiah
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Thomas White)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan belum mengubah suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Januari 2021. Start rupiah yang kurang mulus mengawali 2021 membuat MH Thamrin akan berpikir ulang menurunkan suku bunga acuan.

Gubernur Perry Warjiyo dan rekan dijadwalkan mengumumkan hasil RDG pada 21 Januari 2021. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 3,75%.

Institusi

BI7 Day Reverse Repo Rate (%)

Maybank Indonesia

3.75

Bank Danamon

3.5

Bank Permata

3.75

Mirae Asset

3.75

ING

3.75

Citi

3.75

Bank Mandiri

3.75

BCA

3.75

DBS

3.75

MEDIAN

3.75

Suku bunga acuan sudah berada di 3,75% sejak November tahun lalu. Sepanjang 2020, BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 125 basis poin (bps).

Kali ini, sepertinya alasan BI tidak menurunkan suku bunga adalah demi rupiah. Maklum, rupiah mengawali 2021 dengan tidak terlalu mulus. Sejak akhir 2020 hingga 19 Januari 2021, laju rupiah di hadapan dolar AS kurang mantap, melemah 0,07% secara point-to-point.

Untuk membuat rupiah mantap menguat, Indonesia butuh lebih banyak aliran modal asing. Salah satu cara untuk membuat investor asing berkenan mampir adalah dengan iming-iming cuan gede.

Untuk mempertahankan cuan tersebut, suku bunga harus menarik. Kalau suku bunga rendah, maka Indonesia bisa kehilangan 'keseksian' sehingga mengurangi minat investor asing untuk masuk.

"Rupiah meroket pada November 2020 dengan apresiasi 3,5% terhadap dolar AS. Kemudian pada Desember 2020 masih menguat 0,5%. Namun akhir-akhir ini rupiah terpapar tekanan jual. Oleh karena itu, kami memprkirakan BI akan bermain aman dengan mempertahankan suku bunga acuan selagi menunggu dampak vaksinasi anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19)," sebut Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset, dalam risetnya.

Ke depan, tantangan yang dihadapi rupiah tidak enteng. Setidaknya ada dua faktor yang bisa melahirkan tekanan terhadap mata uang Tanah Air.

Pertama adalah perkembangan pandemi virus corona. Di Indonesia, sepertinya serangan virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu semakin seram saja.

Per 19 Januari 2021, Kementerian Kesehatan melaporkan jumlah pasien positif corona mencapai 927.380 orang. Bertambah 10.365 orang (1,13%) dibandingkan sehari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir (6-19 Januari 2021), rata-rata pasien positif bertambah 10.559 orang per hari. Melonjak dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 7.245 orang per hari.

Lonjakan kasus baru membuat pemerintah memperketat pembatasan sosial dengan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada 11-25 Januari 2021. Kebijakan ini berlaku di sejumlah daerah Jawa-Bali.

PPKM mensyaratkan pekerja yang 'berkantor' di rumah (work from home) minimal 75%. Kegiatan belajar-mengajar pun masih dilakukan dari jarak jauh.

Restoran masih boleh menerima pelanggan untuk makan-minum di tempat, tetapi dibatasi maksimal 25% dari kapasitas. Pusat perbelanjaan masih boleh buka, tetapi wajib tutup pukul 19:00.

Rumah ibadah juga masih boleh membuka pintu bagi jamaah, tetapi paling banyak 50% dari kapasitas. Sementara tempat wisata yang dikelola pemerintah sama sekali belum boleh buka.

Sepekan pelaksanaan PPKM, kasus corona bukannya melandai malah kian menanjak. Jika tidak ada perbaikan, maka bukan tidak mungkin PPKM bakal diperpanjang.

"Saya memberikan pesan agar kita semua taat selama 14 hari supaya usai 14 hari kita bisa kembali lebih longgar. Kalau 14 hari tidak disiplin, maka bukan tidak mungkin PPKM akan ditambah," tegas Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat.

Sebagai catatan, ketika DKI Jakarta mengetatkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada pertengah September hingga medio Oktober 2020, dampaknya sangat terasa. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) anjlok, penjualan ritel jeblok, dan Purchasing Managers' Index (PMI) rontok. Dunia usaha dan rumah tangga sangat terpukul.

Apabila PPKM kemudian diperpanjang, maka prospek ekonomi Indonesia menjadi samar-samar, kebangkitan bisa tertunda. Ini tentu menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan Indonesia dan rupiah bisa tertekan.

Kedua, ada kecenderungan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS naik. Sejak akhir 2020, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik 18,17 bps dan sudah kembali ke atas 1%.

Kenaikan yield membuat surat utang pemerintah Negeri Adikuasa menjadi menarik. Investor pun akan kembali memburu instrumen tersebut dan keluar dari pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Arus modal asing bakal seret yang membuat risiko depresiasi rupiah meningkat.

"Koreksi rupiah dalam jangka pendek tidak bisa terhindarkan karena kenaikan yield obligasi pemerintah AS. Selain itu ada isu pasokan, karena pemerintah menaikkan nominal yang dimenangkan dalam lelang obligasi," kata Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahan Sekuritas, dalam risetnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular